Shania tersudut dan takut. Ia tidak siap untuk melakukan hal tersebut, terutama bersama Alex. Namun, ciuman pertama yang ia simpan selama ini, harus ia relakan pada lelaki yang tak mencintainya itu.
"Alex, tolong ... aku belum siap," kata Shania, berusaha melepaskan diri dalam kuluman liar sang suami. Selain itu, bau alkohol begitu menyengat, membuat kepala Shania menjadi pusing. Alex melepaskan. Ia menatap Shania dengan mata tajam dan dingin. "Kau belum siap? Kita sudah menikah, Shania. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri." Alex kembali memaksa. Ia kemudian melepas gaun pengantin yang Shania kenakan hingga membuat gadis itu setengah telanjang. Seketika Alex berdiri mematung saat menatap keindahan tubuh istrinya itu. Sontak Shania menutup tubuhnya dengan kedua tangan. Tatapan sang suami membuatnya risih, tapi juga gugup. Namun, ketika Alex hendak kembali mendekat, tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di ponselnya. Ia melihat layar dan terkejut. "Apa ada yang penting?" tanya Victoria. Alex tidak menjawab. Ia keluar dari kamar, meninggalkan Shania sendirian. Shania merasa sakit hati dan kecewa. Ia tidak mengerti mengapa Alex berperilaku seperti itu. Ia pun menangis dan merenungkan nasibnya. 'Aku mencintaimu, Alex, tapi kenapa kamu begini,' bisik Shania pada dirinya sendiri. 'Mengapa kamu menikahiku kalau tidak mencintaiku? Ada alasan apa yang membuatmu tega menyakitiku seperti ini?' gumam Shania masih menangis. Beberapa saat kemudian Shania menyudahi tangisnya. Meski sakit hati karena ditinggalkan, tapi ia juga lega karena malam pertama mereka gagal. Hanya saja sekarang ia penasaran. "Kemana dia pergi?" tanya Shania pada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat tatapan terakhir Alex sebelum pergi. 'Apakah ada hubungan antara pesan di ponselnya dan kepergiannya? Siapa yang mengirim pesan itu?' Shania kemudian memutuskan untuk mencari tahu tentang orang yang sudah mengirim pesan kepada Alex. Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi sang suami. Tapi, sayangnya tidak dijawab. 'Siapa yang bisa membuatnya pergi begitu saja? Apakah ada seseorang yang begitu penting di dalam hidupnya yang bisa membuat Alex meninggalkan malam pertamanya?' Shania yang merasa lelah dan kecewa memutuskan untuk tidak memikirkan Alex lagi dan memilih untuk beristirahat. "Aku akan mencoba tidak peduli ke mana kamu pergi. Sudah cukup bagiku," katanya pada dirinya sendiri. Shania membaringkan diri di tempat tidur, menutup mata tanpa berganti pakaian. Gaun pengantin yang tadi dipaksa lepas, hanya ia naikkan lagi demi kembali menutupi tubuhnya yang hampir telanjang tadi. Beberapa jam kemudian, Shania terbangun karena suara pintu kamar yang dibuka. Ia melihat Alex berjalan masuk dengan langkah tidak stabil. Wajah dan matanya merah, bahkan napasnya berbau alkohol. "Alex, kamu kenapa?" tanya Shania, yang terbangun karena suara pintu dibuka. Alex tidak menjawab. Ia berjalan mendekati tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas Shania. Shania yang kaget, tampak tidak siap. Alhasil saat ini dirinya terkungkung dalam dekapan tangan Alex. "Kamu harus melakukan tugasmu sebagai istri," kata Alex dengan suara tidak jelas. Shania merasa takut dan tidak nyaman. "Alex, tidak sekarang. Kamu dalam keadaan mabuk." Alex memaksa mendekatkan wajahnya. Ia hampir mendaratkan bibirnya di bibir Shania kalau saja gadis itu tidak menghindar. "Aku ingin kamu melakukan tugasmu sekarang juga!" seru Alex marah. Shania berusaha melawan, tapi Alex terlalu kuat. Lelaki itu terus memaksa dan tidak peduli dengan perlawanan serta tangisan istrinya. Ia bahkan tidak menyadari apa yang dilakukannya karena mabuk berat. Dalam kesakitan dan ketakutan, Shania tetap mencoba melawan. Meski pada akhirnya ia merasakan mahkota berharga miliknya terlepas paksa. Mahkota itu jatuh. Simbol kehormatan dan kebahagiaannya telah hancur. Shania merasa sakit dan trauma. Ia tidak bisa melawan keinginan Alex yang sedang mabuk berat. Semua terasa gelap dan tidak terkontrol. Keesokan paginya Shania bangun dalam keadaan lemas. Perasaanya kosong dan sakit. Ia telah kehilangan sesuatu yang berharga dan tak bisa dikembalikan. Malam pertamanya telah hancur. Jauh dari harapan dan keinginannya sebagai seorang wanita. Ia bahkan tak bisa menghadapi sosok Alex yang saat ini masih tertidur dengan napas berat. Lelaki yang sudah merampas miliknya yang berharga meski halal dilakukan. Shania lalu memilih untuk bangkit dan berdiri. Ia harus mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang pahit. Sekali lagi ia melihat Alex yang masih tertidur, merasa benci dan sakit. Ia berjalan ke kamar mandi, mencoba membersihkan diri dari kenangan buruk semalam. Tak lama setelah Shania berada di dalam kamar mandi, Alex terbangun. Ia merasa pusing dan sakit kepala. Dirinya kemudian mencoba melihat sekeliling. Gaun pengantin Shania yang teronggok di atas lantai. Pakaian dalam milik keduanya yang bertebaran berantakan. Lalu, ia melihat sekeliling kasur, tampak seperti habis terjadi keributan di atasnya. Sprei yang kusut dan ada sesuatu terlihat tampak aneh di matanya. "Apa ini?" tanya Alex seraya mendekat dan memastikan bercak kotor berwarna merah. Seketika Alex teringat dengan kejadian semalam. Meski tidak terlalu jelas, tapi ia sadar telah melakukan sesuatu terhadap istrinya. 'Shania,' gumamnya seraya menarik rambutnya ke belakang. Seketika ia sadar telah mengambil sesuatu yang sangat berharga milik istrinya. Alex mendengar suara air mengalir dari arah kamar mandi. Ia kemudian bangun dan berjalan ke arah suara. "Shania!" panggilnya, membuka pintu. Alex melihat Shania berdiri di depan cermin. Wajahnya pucat dan matanya merah. Namun, Alex tak menunjukkan penyesalan atau belas kasihan. Ia malah tidak menunjukkan emosi sama sekali, begitu tak acuh. Alex memandang Shania dengan tenang. "Apa yang terjadi semalam adalah hal yang wajar. Kita sudah menikah," katanya dengan nada datar. Shania merasa terpukul. "Wajar? Kamu menyebutnya wajar? Kamu tidak peduli dengan perasaanku?" tanya Shania, suaranya bergetar. Shania menatap Alexander dengan mata penuh air mata. "Kamu tidak merasa bersalah? Kamu tidak peduli aku trauma?" tanyanya, suaranya tercekat. Alex mengangkat bahu. "Aku tidak melakukannya dengan sengaja. Aku mabuk." "Mabuk?" Shania terkejut. "Itu tidak menjadi alasan untuk memperlakukan aku seperti sampah!" Alex mendekati Shania, "Jangan berlebihan, Shania. Aku tahu kamu juga senang aku menyentuhmu bukan?" kata Alex suaranya sinis. Shania menatap Alex tak percaya. "Berlebihan katamu? Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Tapi, yang aku tidak mengerti kenapa kamu malah menikahi ku dan bukan Maura? Bahkan, kenapa sampai terjadi peristiwa semalam?" Shania tak mampu menahan rasa sedih dan sakit hatinya. Alex menghela napas. "Aku tidak ingin ribut. Kita harus terima kenyataan," katanya seolah sedang menghindari pertanyaan Shania padanya. "Kenyataan apa? Bahwa kamu telah merusak hidupku?" Shania menangis. Alex berbalik, meninggalkan Shania yang terguncang. Dia keluar dari kamar mandi, meninggalkan istrinya tak peduli. Shania terjatuh ke lantai, menangis tak terkira. Dia merasa kehilangan dirinya sendiri. "Mengapa ini harus terjadi padaku?" gumam Shania pada dirinya sendiri. Shania berjalan ke luar, mencari Alex yang tengah berdiri di balkon kamar. "Kamu tidak merasa bersalah?" tanya Shania, suaranya datar. Alex tidak menoleh. "Untuk apa? Lagipula kita sudah menikah." Shania merasa sakit. "Kamu tidak mengerti perasaanku." Alex berbalik, menatap Shania kesal. Keduanya saling memandang dengan perasaan sama-sama emosi. "Aku tidak ingin membicarakan ini lagi." Lalu, Alex berjalan menjauhi Shania. ***Suasana hening dan menenteramkan di satu pagi di kantor Alex tiba-tiba berubah bising. Suara teriakan dari seorang perempuan menggema hingga terdengar di kantor Alex. "Bagaimana bisa kalian melarangku masuk!" seru perempuan tersebut dengan mudah Alex kenali. 'Maura,' gumamnya.Brian yang tengah membacakan jadwal harian Alex berhenti berbicara karena mendengar suara Maura yang juga ia kenal. "Apakah aku harus meminta bantuan security untuk mengusirnya?" tanya Brian meminta pendapat Alex. Atasan sekaligus sahabatnya itu hanya merespon dengan tatapan yang tak dimengerti. "Apakah kamu mau menemuinya?" tanya Brian lagi enggan melakukan sesuatu sebab khawatir tidak sesuai keinginan Alex. "Biarkan dia masuk." Alex sudah memberi perintah, untuk itulah Brian segera izin keluar untuk mempersilakan Maura masuk. Pintu terbuka. Brian berdiri di ambang pintu dan melihat pemandangan buruk di pagi hari itu. "Pak Brian, maafkan kami. Kami tidak bisa menahannya." Salah seorang sekretaris Alex me
Alex ternyata belum tidur ketika Shania masuk kembali ke kamar. Rasa kesal yang masih hatinya rasakan, membuatnya malas melihat keberadaan lelaki itu di kamarnya. "Mereka sudah pulang?" tanya Alex. Ia yang terlihat tengah membaca buku milik Shania, menatap tersenyum. "Ehm, ya. Baru saja." Shania menjawab dingin. Hal itu jelas Alex sadari. Tapi, lelaki itu memilih untuk pura-pura tak tahu. "Istirahatlah kalau begitu." Alex beranjak bangun setelah meletakkan buku ke atas nakas. Shania tak menjawab. Ia berjalan menuju boks putranya, memperhatikan kondisi bayi itu yang ia tinggalkan cukup lama. "Tadi dia sempat menangis. Aku pikir haus, tapi ternyata popoknya basah." Alex tersenyum menjelaskan. Shania menengok tanpa kata. Ia lalu memeriksa bayinya sekali lagi sebelum pergi. Semua terlihat baik-baik saja. Shania pun lantas berbalik, melangkah menuju kamar mandi. Alex tak bicara lagi sampai Shania menghilang ke balik pintu kamar mandi. Sikap istrinya masih terlihat kesal atau mungki
Seketika area taman berubah hening, yang tadinya ramai dengan keseruan serta tawa teman-teman Shania, mendadak diam membisu sebab kehadiran Alex di tengah-tengah mereka. Fiersa dan beberapa temannya yang tidak tahu mengenai hubungan Alex dengan Shania, memandang takjub sekaligus tak mengerti. Mereka mengenal sosok Alex, tapi bagaimana bisa pengusaha itu ada di kediaman Shania. Hanya Ethan yang terlihat santai. Ini adalah kali kedua dirinya berjumpa dengan Alex di rumah Shania. Terlebih setelah ia tahu hubungan suami istri yang terjalin di antara mereka yang membuatnya lebih bisa bersikap tenang dan tidak terpengaruh sedikit pun atas kehadiran Alex yang tiba-tiba. "Aku permisi dulu." Setelah menyadari suasana yang mendadak canggung, Shania berinisiatif untuk meninggalkan tempat. Ia memilih untuk mengajak Alex supaya pergi meninggalkan keseruan teman-temannya. Rachel tampak mengangkat kedua bahunya, dan membiarkan Shania pergi bersama Alex. Setelahnya, ia kembali mengajak semua oran
Keluarga Harrison tengah melangsukan makan malam. Beberapa teman Shania, termasuk sahabatnya diundang oleh sang tuan rumah. Makan malam berlangsung penuh kehangatan dan keceriaan sebab salah satu anggotanya yang tak pernah berhenti untuk bercerita. Siapa lagi kalau bukan Rachel —sahabat Shania. Gadis itu datang bersama Ethan dan beberapa teman lainnya yang merupakan anak buah Ethan di kantor. Fiersa, teman Shania yang sudah tahu kalau temannya itu hamil, cukup kaget dan dibuat terkesima dengan fakta mencengangkan mengenai jati diri perempuan itu. Ia bahkan hampir tak bisa menelan makanan yang dihidangkan oleh para pelayan di rumah Shania saking shock-nya. "Apakah Bapak sudah tahu tentang fakta ini?" Fiersa sampai bertanya pada Ethan, sang atasan, saat pertama kali sampai di rumah Shania. "Ya, tidak mungkin aku tidak tahu," jawab Ethan tersenyum. "Sejak kejadian di rumah sakit, aku akhirnya mencari tahu.""Jadi, awalnya juga tidak tahu?"Ethan menggeleng. "Sama seperti yang lainnya
Alex kaget mendengar ucapan Maura. Dilihatnya ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh kekasihnya itu setelah mengatakan sesuatu yang merujuk pada sosok Shania. "Aku pergi dulu. Nanti kamu bisa hubungi aku lagi kalau sudah selesai istirahat." Pada akhirnya Alex memilih untuk meninggalkan apartemen. Berusaha sekali mengabaikan kalimat sindiran yang tadi Maura lontarkan. "Apa yang sudah perempuan itu lakukan padamu?" Maura hampir berteriak saat Alex sudah akan membuka pintu mobil. Beberapa orang yang hilir mudik di sekitar mereka, menengok karena penasaran. Termasuk petugas security yang tadi diminta Alex untuk membantu mengangkat koper dan barang milik Maura ke unit apartemen, diam di tempat sambil memperhatikan keributan yang selama ini tak pernah terjadi pada pasangan tersebut. "Aku sedang tidak mau berdebat, Maura. Jadi, lebih baik kamu istirahat sekarang. Jangan lupa makan dulu. Aku sudah pesankan makanan melalui pesanan online. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."Alex benar-benar
Suasana bandara tampak ramai dengan banyaknya orang di area kedatangan atau pun keberangkatan. Alex adalah salah satu dari banyaknya orang tersebut, menunggu kedatangan Maura dari luar negeri. Sebulan penuh wanita itu berada di benua biru untuk menyelesaikan sebuah proyek desain. Sebuah desain yang ia menangkan dalam sebuah lelang di adakan oleh salah satu perusahaan terkenal yang ada di sana. Alex sudah menunggu sekitar tiga puluh menit, namun tanda-tanda kemunculan wanita itu masih belum juga terlihat hingga sosok Brian muncul membawa makanan yang ia pesan. "Kenapa kamu tidak makan di restoran saja? Kenapa harus dibungkus seperti ini?""Tidak apa-apa. Aku lagi mau makan santai saja," ucap Alex seraya duduk di area tunggu. "Kamu tidak mau?" Alex mengangkat satu bungkusan satunya. Brian menggeleng. "Untukmu saja."Alex mengangkat bahunya cuek. Ia lanjut menikmati makanan yang sedang dikunyahnya. Suasana hatinya terasa lain. Sesuatu yang membahagiakan ia rasakan sebab perhatian Sha