Selama bertahun-tahun, dunia mengira Elina adalah anak yang bisu. Gadis kecil berambut gelap itu tumbuh dikelilingi bisik-bisik dan tatapan iba, seolah-olah suaranya telah dicuri sejak lahir.
Tapi Raka, ayahnya, tak pernah merasa perlu menjelaskan apa pun. Bukan karena malu, tapi karena tak semua hal pantas dijelaskan kepada dunia yang hanya mau mendengar, bukan memahami.
Padahal, Elina dulu berbicara lebih dulu dibanding anak-anak lain seusianya. Kata pertamanya bukan “mama” atau “papa,” tapi “bintang”—diucapkan sambil menunjuk langit malam dari jendela kamar.
Namun sejak diagnosis itu jatuh—autisme, sebuah kata yang tak ia mengerti namun perlahan membentuk tembok tak kasatmata di sekelilingnya—Elina memilih diam.
Kata-kata yang dulu keluar dengan mudah, menguap tanpa jejak. Ia menggantinya dengan tulisan, mencurahkan perasaannya lewat huruf-huruf kecil di buku harian, kertas bekas, atau layar tablet.
Bahkan pada Raka, ayah yang selalu mendampingi