Raka menangkap kegelisahan yang tersembunyi di balik raut wajah kedua bocah itu. Mata mereka, meski tak berani menatap langsung, jelas menyimpan kegugupan.
Ia tahu, barangkali sikapnya yang tegas tadi telah membungkus dirinya dalam bayang-bayang yang menakutkan di mata anak-anak itu.
Ia menarik napas perlahan, lalu menghela pelan seolah tengah mencoba menurunkan suhu dalam dirinya.
Wajahnya yang semula tegang mulai melunak. Garis rahangnya tak lagi setegas barusan, dan sorot matanya berusaha menjelma jadi lebih ramah.
Ia ingat, mereka memang bukan darah dagingnya—tapi mereka tetap anak-anak. Terlalu muda untuk dimarahi, terlalu polos untuk dimusuhi.
“Bagaimanapun juga, Elina yang datang sepagi ini pasti bikin kalian repot,” ucapnya sambil menatap mereka satu per satu, mencoba menata nada suaranya agar tak terdengar seperti perintah.
“Terima kasih, ya... udah mau nemenin dia main.”
Anggukan singkat dari Aidan dan Bayu jadi jawaban yang