Setelah dirawat dua hari akhirnya aku dibolehkan pulang. Aksen tentu setia merawatku. Sesekali kami salinh memandang. Semua perasaan bercampur berada di dekatnya.
Ternyata dicintai dengan tulus itu benar-benar sampai ke hati. Meski ada rasa takut yang terkadang mendera. Takut kehilangan yang kedua kalinya.
"Akhirnya sudah bisa pulang, ya," ucap Aksen yang sedang membereskan tempatku tidur. Nuraninya sebagai dokter tentu tak bisa dipungkiri.
"Ini karena suamiku yang hebat."
"Ini karena kamu yang berjuang, Sayang."
Arvian turut serta mendampingku yang akan pulang, dia setia menjagaku. Setidaknya perasaan lega Arvian sangat peduli denganku. Dilengkapi dengan Aksen yang begitu semangat melihatku pulang.
"Bund, Arvian langsung ke sekolah, ya, tadi izin terlambat," kata Arvian.
"Keren sekali kamu, Nak. Sampai izin telat segala."
"Sesekali memanfaatkan keadaan, Bund. Lagian itu sekolah milik ayah Brayen juga," sambungnya lagi. Jujur aku tidak suka, Arvian seperti anak yang semaunya. Meski ya