"Azoospermia?" tanyaku. Aksen hanya menunduk tidak berani menatapku. Aku juga tak menyangka Aksen melalukan pemeriksaan kesehatan sedetail ini. "Sayang ...."Mata Aksen memerah. Aku penasaran kenapa dia bisa berani melakukan kesehatan sejauh ini. Apa dulunya dia punya wanita idaman? Atau apa dia pernah coba-coba dulu."Apa abang pernah melakukan hubungan badan dengan wanita lain?" tanyaku blak-blakan. Sebagai dokter tentu hal ini tidak asing bagi kami."Demi Allah sayang, aku tidak pernah melakukan zina dengan wanita lain." Bulir air mata Aksen jatuh, aku menyesal bertanya yang menyakitkan hatinya."Ini bukan aib, Sayang. Kita dokter, kita pasti bisa melaluinya.""Aku malu karena tidak jujur padamu.""Tidak sayang, kita menikah bukan karena kita sempurna. Aku pun tidak sempurna sayang masih banyak kekurangan.""Aku juga lemah sayang," ucapnya lagi.Air mata Aksen keluar. Dia terlalu baik untuk wanita sepertiku yang banyak kekurangan. Namun, di muka bumi ini tak ada yang sempurna. "T
Aku memeluk Aksen, rasanya nyaman sekali berada dipelukannya. Dia menenangkanku yang mulai labil ini. Aksen memang lebih dewasa menangani masalah. Padahal usia kami bedanya tidak jauh, tapi caranya mengatasi masalah sangat bijak."Tenang sayang, semuanya pasti baik-baik saja," ucap Aksen yang terus membelaiku."Apa aku ibu yang tidak baik?""Bukan, Sayang. Biarkan Arvian bersama ayahnya. Sejauh kemanapun dia melangkah, dia pasti akan mencari ibunya."Ucapan Aksen membuatku benar-benar tenang. "Dia bersama ayahnya, seorang ayah yang sudah berjuang hingga putusan pengadilan berpihak padanya.""Kenapa abang seyakin itu, sementara aku tidak yakin.""Karena Brayen ayah yang baik, Sayang. Entah mengapa aku yakin dia mulai menyadari banyak hal.""Darimana abang tahu?""Kalau abang cerita, istriku marah gak?" "Gak, Bang.""Beneran, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bang. Janji." Aksen sepertinya mengetahui sesuatu."Ketika kamu di rumah sakit, ayahnya Arvian datang ...." Aksen menjeda ucapannya. Ak
Hari terus berganti, setiap kami mencoba. Aksen selalu gagal sebelum klimaks. Aksen bahkan mulai tertutup meski semua kebutuhan dan keinginanku dicukupinya. Jujur, aku sedikit frustasi melihat sikap Aksen seperti memiliki dua kepribadian ganda. "Bang aku izin bertemu dengan sahabatku, ya," ujarku padanya yang sedang sibuk dengan banyak laporan."Aku antar, ya, Sayang," balasnya. Dia memang seromantis itu."Aku diantar supir saja, Abang lanjutkan kerjaannya."Dia justru menarikku dalam pelukannya. Aku menyukai hal ini, hal yang tidak kudapatkan pada mantan suamiku dulu. Namun, tetap saja kebutuhan batinku memaksaku untuk meminta lebih dari ini."Apa kamu mulai bosan denganku, Sayang?" Aksen bertanya seperti mengetahui isi pikiranku."Bosan kenapa?""Kita belum seperti pasangan suami istri yang lainnya," jawabnya lagi."Sayang harus mengubah pola pikir, harus rileks agar Abang tidak stress." Dia seperti anak kecil yang menangis dipelukanku. "Thank you, Beb. Aku pasti berjuang untuk hu
"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku. Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat. Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju. "Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya." "Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?" Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan
"Daddy ngapain di kamar ini ...?" syukur akhirnya aku terselamatkan. Brayen nyelonong ke kamar persis seperti Daddy nya. Anak dan bapak kelakuannya sama saja. Si Reza jadi salah tingkah, emang enak."Ini Daddy mau cek saja. Agar tamu kita nyaman." Bingung kan mau jawab apa. Oke sip, aku dibilang tamu disini."Ayok ke kamar, Brayen ingin cerita." si bocah mengajak Reza untuk menemaninya tidur."Siap, komandan." Akhirnya dia keluar juga. Dan secepat kilat aku langsung kunci pintu jangan sampai kebablasan yang kedua kali. Sudah duda, punya anak, sok keren lagi itu orang. Besok adalah babak baru bagiku. Aku harus menyiapkan amunisi selama disini. Selain itu, sepertinya aku harus buat perjanjian dengan si Reza agar tidak semena-mena denganku. Meski berasal dari desa setidaknya aku harus punya strategi untuk mengalahkan musuh. Semangat, Nina!***Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Bangun tidur aku langsung salat tahajud dilanjutkan tilawah dan salat subuh. Setelah ini aku akan langsung m
Asa-ku seperti menari-nari. Ragaku seakan mati. Melakukan sesuatu yang tidak disenangi sungguh melelahkan. Kali ini aku tidak bertarung dengan hatiku saja. Namun, pikiran dan jiwaku ikut berjuang agar bisa keluar dari zona ini. (Nina Humaira)****Aroma rumah sakit menyeruak dihidungku. Ada Miss Dora yang menungguku. Cukup lama otakku berputar mengingat kejadian yang menimpaku. Aku baru sadar ternyata aku pingsan setelah memeluk ibunya Reza. Kuraba ternyata keningku yang diperban."Syukurlah akhirnya nona sadar juga," ucap miss Dora. Walaupun dia terlihat kaku, tapi dia cukup perhatian. Aku taksir umurnya miss Dora seumuran ibuku. Walau bagaimana pun dia memiliki jiwa keibuan."Lain kali dengar ucapanku nona. Jangan terlalu percaya diri jika dinasehati," sambungnya. Kali ini aku menarik nafas, bukan merasa bersalah. Hanya disalahkan rasanya menyesakkan sekali. Apa salahnya mencoba mengulurkan tangan berbuat baik meski aku sadar itu bisa berakibat fatal karena nyawaku taruhannya."Nyon
Dia melotot dan mendekat."Jangan terlalu pede jadi orang. Nih kertas fansmu, jan nghayal aku cemburu melihat kertas tidak jelas ini." Astagfirullah, benar-benar nguji iman ini orang."Terima kasih tuan Reza. Pastikan kamu tidak terlihat cemburu. Cemburu itu berat, tuan." Aku langsung keluar tanpa permisi. Syukurlah, ini kertas kembali lagi. Mana belum sempat kusimpan nomornya dokter Gunawan. Miss Dora langsung mengejarku. Benar-benar bersama si Reza membuat tekanan darah semakin tinggi."Apa hubungan kalian sebenarnya?" tanya Miss Dora."Seperti halnya miss yang menjaga privasi tuannya. Saya pun demikian. Kalau penasaran tanya sama tuannya," ucapku sambil senyam senyum. Kali aja si Reza mau membuka diri. Dia santai jalan disamping kami seperti biasa dia selalu terlihat pamer.Si Reza berjalan dengan asistennya. Persis seperti adegan di drama korea yang pemeran pangeran dijaga oleh pengawal. Sok cool sekali ini orang. Mau sekeren apa pun nyatanya dia hanya mampu memberi mas kawin sep