“Ka-kamu masih hidup?” Bibir Bude merekah dengan lebarnya.
Beliau berjalan perlahan ke arah lelaki yang ia anggap Pak Hasan itu. Jujur saja saat ini beliau merasa sangat senang dan sekaligus haru. Karena melihat adik laki-lakinya yang sekarang ini bisa berdiri tegap membelakangi dirinya padahal baru beberapa menit yang lalu telah dinyatakan meninggal oleh suaminya sendiri.
“Pasti tadi suami Mba salah kan, Hasan. Alhamdulillah banget kamu nggak jadi korban pocong itu.” Kedua sudut mata Bude mulai berair karena beliau merasa sangat terharu.
Namun, seperkian detik kemudian saat Bude sudah hampir sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu. Beliau kembali mencium aroma busuk yang menyeruak rongga hidungnya hingga membuat Bude tak sanggup lagi untuk menahannya.
Huekkk...
Dengan cepat Bude langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi sembari menutup mulutnya. Bau busuk itu benar-benar membuat isi perut Bude keluar semua hingga membuat kepala beliau sangat pusing. Aroma busuk bercampur gosong itu berhasil mengaduk-aduk perut Bude.
Setelah dirasa semua isi perutnya sudah keluar dan tubuh Bude melemas beliau segera membersihkan kamar mandi yang kotor itu. Kemudian, dengan langkah gontai akibat pusing yang tengah melanda kepalanya beliau kembali keluar dari dalam kamar mandi itu.
Namun, seketika itu juga napasnya tercekat. Tubuhnya menengang kaku saat melihat sosok laki-laki yang beliau kira adik laki-lakinya itu kini tengah menghadap ke arahnya dengan wajah hitam legam dan mata merah menyalanya.
“Mbak Yu! Tulung aku, Mbak!!!” pekik sosok seperti Pak Hasan itu yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapan Bude.
Napas Bude semakin tersengal-sengal, pandangannya buram dan akhirnya beliau pun jatuh tersungkur di kamar mandi.
“Ibu masih ngapain di belakang, Bu Lastri? Kok dari tadi nggak balik-balik ke sini?” tanya Bima setelah menengguk habis segelas kopinya.
“Oh iya, ya. Tadi kayanya masuk kamar mandi, mungkin mau buang hajat. Tapi, udah mau satu jam gini kok nggak ke sini-sini,” balas Bu Lastri.
Beliau hendak bangkit dari duduknya untuk memeriksa Bude, namun Bima sudah lebih dulu bangkit sembari berkata, “biar saya aja, Bu.”
“Oh iya silahkan, Nak.”
Begitu sampai di dapur Bima tidak langsung melihat tubuh Bude yang sudah terkapar di kamar mandi. Namun, ia melihat lantai keramik dapur yang kotor dan basah. Dari titik depan kompor sampai pintu belakang.
“Itu apa sih?” Bima berjalan mendekat sembari mengernyitkan dahinya. Ia sedikit mengendus bau dari lantai kotor itu seraya memicingkan mata sebelahnya, “lumpur?”
“Kenapa ada lumpur di sini?” Bima berjokok memperhatikan lumpur itu dan saat tak sengaja kepalanya sedikit menoleh ke kanan ia sangat terkejut karena melihat Bude yang tengah tak sadarkan diri di dalam kamar mandi.
“IBU!” pekik Bima dan langsung bergegas menghampiri Bude.
Pakde, Pak Budi dan Bu Lastri yang mendengar suara Bima itu pun saling berpandangan beberapa detik. Mereka tampak keheranan hingga akhirnya Pakde pun langsung bangkit dan berjalan ke arah dapur.
Belum juga sampai di dapur Pakde sudah melihat Bima yang tengah mengendong tubuh Bude dengan pakaian yang basah.
“Astagfirullah! Ngopo, Lee?” Dengan cepat Pakde pun langsung membantu Bima untuk membawa tubuh Bude ke ruang keluarga.
“Nggak tau, Pak. Tadi waktu Bima ngecek ke dapur Ibu udah pingsan di kamar mandi. Mana di daput kotor sama lumpur lagi,” balas Bima setelah merebahkan tubuh Bude di atas sofa. Kemudian ia mengarahkan pandangannya pada Bu lastri, “itu tadi lumpur apa ya, Bu? Baunya nggak enak banget.”
Mendapat pertanyaan itu Bu Lastri justru mengernyitkan dahinya heran, “lumpur? Tadi waktu saya bikin kopi nggak ada lumpur kok.”
“Tapi sekarang ada, Bu. Di depan kompor sampe ke arah pintu belakang. Kaya keseret gitu lumpurnya, jadi memanjang,” jelas Bima.
“Udah-udah nggak usah dibahas persoalan lumpurnya. Kalau memang mau dibersihkan besok aja. Sekarang kita kumpul semua di sini dan jangan ada yang ke mana-mana lagi!” seru Pakde sembari sesekali mengedarkan pandangannya.
Sedangkan di tengah keributan-keributan itu Arkan masih tetap terdiam memandang jenazah Bapak seolah tak mendengarnya. Lain halnya dengan Susan, begitu mendengar suara Bima yang memekik tadi yang langsung keluar dari dalam kamar. Bahkan saat ini ia sudah berada di samping Bude sembari mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan telapak kaki beliau.
“Aduh... aku jadi bingung mau jagain yang mana. Itu di dalem Bulek juga belum siuman, eh sekarang Ibu justru pingsan juga. Mending ini Ibu dibawa ke kamar aja, Bim. Kasian juga itu Bulek nggak ada yang jagain,” sahut Susan resah.
Bagaimana ia tidak resah, malam ini adalah malam paling mencengkam sepanjang hidupnya. Di tambah lagi jam seolah berputar dengan sangat lambat. Padahal ia sudah sangat ingin matahari segera terbit dan melewati malam yang sama sekali tak mengenakan ini.
“Mba Susan ke dalem aja sama Bulek nggak papa. Sekalian Mba Susan istirahat kalau bisa! Biar Ibu di sini aja, kasian juga kalau gotong ke sana-sini, Mba,” balas Bima sembari memijat lembut kepala Bude.
Suasana malam ini benar-benar campur aduk. Takut, cemas, khawatir dan sedih karena kehilangan salah satu anggota keluarga bercampur menjadi satu.
“Gimana mau istirahat to, Bim. Keadaannya aja sama sekali nggak mendukung. Mau nutup mata aja Mba takut,” keluh Susan, lalu menghela napas lesu.
“Insya’allah nggak ada apa-apa lagi, Mba. Mba Susan masuk lagi aja ke kamar sama Mba Sarah, ya,” imbuh Bu Lastri sembari tersenyum ramah.
“Hmm, ya udah iya, Bu. Semoga nggak ada yang aneh-aneh lagi,” ucap Susan, lalu segera bangkit dan kembali masuk ke dalam kamar.
Pakde memperhatikan langkah anak perempuannya itu, namun saat Susan berjalan melawati pintu menuju ke dapur raut wajah beliau seketika berubah. Dengan cepat beliau langsung berjalan ke arah sana dan menutup pintunya sembari menghembuskan napas kasar.
“Ya Allah! Lindungi lah kamu,” gumamnya lirih.
“Ada apa, Pak?” tanya Pak Budi heran.
Pakde tak langsung menjawabnya. Kedua bola matanya bergerak ke sana ke mari seperti orang yang tengah gelisah. Kemudian, beliau mengunci pintu itu. Mencabut kuncinya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
“Kita harus apa ini? Di dalem rumah pun kayanya tetap nggak aman!” ucap Bapak yang membuat Arkan yang awalnya masih terdiam mematung menatap jenazah Bapaknya itu pun langsung menolehkan kepalanya.
“Kenapa, Pakde? Apa pocong sialan itu dateng lagi?”
“Hust, Arkan! Jangan ngomong sembarangan!” sentak Bima sembari menatap Arkan dengan tajam.
“Udah jangan pada ribut! Jangan ada yang bersuara lagi! Ayo baca doa!” seloroh Bapak dan langsung duduk di sebelah Arkan. Beliau memejamkan kedua matanya sembari membaca ayat kursi.
Sedangkan Bu Lastri yang tiba-tiba rasa takut menyelimuti dirinya langsung berpindah tempat duduk menjadi di sebelah suaminya. Suara semilir angin di luar rumah nampak begitu kencang hingga membuat tirai-tirai jendela bergerak-gerak karena angin masuk dari fentilasi udara.