Berminggu-minggu beberapa desa tampak seperti desa mati setelah malam tiba. Hal itu disebabkan karena banyaknya orang meninggal yang ditemukan pada pagi harinya dalam keadaan telungkup. Menurut kabar yang berbedar, mereka meninggal setelah bertemu pocong berwajah hancur dengan kedua bola mata merah besarnya. Kedatangan pocong tersebut juga selalu disertai dengan bunyi gemerincing andong, padahal di desa mereka sama sekali tidak ada yang mempunyainya. Jelas saja itu adalah andong gaib yang tengah ditunggangi oleh pocong penjemput nyawa. Hingga suatu malam, tepatnya pukul 20.10. Arkan yang baru saja pulang mengerjakan tugas di rumah temannya itu dibuat terkejut dan ketakutan bukan main karena kedua retinanya baru saja melihat pocong yang terlihat begitu jelas di dalam rumah kosong yang berada di tak jauh dari rumahnya. Lalu, bagaimana dengan nasib Arkan? Apakah ia akan menjadi korban selanjutnya yang akan dijemput menggunakan andong seperti korban-korban sebelumnya? Cerita seperti ini ada banyak sudut pandang, karena memang sebuah pocong andong yang sempat menggeparkan itu memang benar-benar pernah terjadi pada saat lumpur lapindo meluap hingga membuat beberap desa tenggelam.
View More“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas.
Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.”
Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.”
“Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.”
“Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.”
“Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motornya.
Di sepanjang perjalanan benar-benar tidak orang yang berlalu lalang, bahkan beberapa pos ronda yang Arkan lewati pun sepi tak ada satu orang pun yang berjaga. Apalagi rumah-rumah warga sekitar juga sudah tutup semua, padahal hari-hari sebelumnya ada saja beberapa orang yang duduk-duduk di teras rumah atau pun sekedar nongkrong di warung.
Akan tetapi, malam ini benar-benar sepi. Warung pun juga tidak ada yang buka. Sebenarnya Arkan memang tak percaya dengan rumor-rumor yang tengah beredar di desa sebelah, makanya ia masih saja berani keluar di malam hari seperti ini tanpa harus takut walau sang ibu sudah memperingatinya.
“Kenapa sih semua bisa percaya gitu aja sama rumor nggak jelas ini, namanya orang meninggal yang pasti udah takdir. Mana ada pocong andong pocong andong penjemput jiwa. Zaman udah modern gini juga masih aja percaya hal yang nggak logis,” gumam Arkan lirih sembari memperhatikan sekelilingnya.
Sebenarnya sedari keluar dari rumah Zaidan ia sudah merasakan bahwa suhu dingin malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Dingin malam ini seolah mampu menusuk tulang dan bahkan membuat bulu-bulunya berdiri.
“Hm, tumben dingin banget,” gumamnya lagi saat sudah sampai di depan rumahnya.
Arkan yang hendak turun dari motornya itu seketika terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar. Mendadak saat itu juga sekujur tubuhnya meremang dan tak ada satu bagian yang dapat digerakan. Jangankan menutup mulutnya, mengedipkan kedua matanya saja ia tak mampu.
Bagaimana tidak, kini kedua retinanya tengah beradu pandang dengan sosok pocong bermata merah menyala dan wajah yang berdarah-darah. Pocong itu berdiri tepat di teras rumah kosong yang sudah berminggu-minggu ini kosong karena pemiliknya memilih pindah akibat udara di desa mereka sudah tercemar dengan gas setelah semburan panas lumpur lapindo yang telah menenggelamkan beberapa desa-desa sebelah.
“Arkan!!!” teriak Bu Sarah sembari mengguncang bahu anaknya itu.
“Hah?” Lelaki itu langsung terperanjat dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Kini pandangannya sudah beralih pada Bu sarah yang tengah menatapnya dengan heran.
“Dibilang jangan pulang malem bandel kamu ini. Udah sampe rumah juga bukannya langsung masuk malah ngelamun, cepet masuk sana!” seloroh Bu Sarah dan tanpa pikir panjang lagi Arkan segera memasukkan motornya.
Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, ia masih teringat jelas dengan sosok pocong yang tadi ia lihat. Ini adalah pengalaman pertamanya melihat hal semacam itu, hal yang tak pernah ia duga-duga kalau keberadaan sosok seperti itu memang benar adanya.
“Sial banget malem ini, padahal biasanya juga nggak ada apa-apa,” gumam Arkan sembari menuangkan air ke dalam gelas, ia memegangnya dengan erat sembari terus berpikir dengan apa yang baru saja menimpanya.
“Apa itu pocong yang dimaksud sama warga, ya?” batinnya gundah, jelas saja saat ini ia benar-benar takut jika rumor yang tengah beredar itu memang benar-benar nyata. Siapa saja yang melihat pocong andong itu pasti akan meninggal, “kalau emang bener, terus nasibku gimana?” keluhnya dalam hati dengan perasaan cemas, was-was dan sangat takut.
Tak bisa ia pungkiri, melihat hal semacam itu bahkan sampai beradu pandang sampai beberapa menit lamanya itu mampu membuat sekujur tubuhnya melemas. Arkan saja baru menyadari bahkan kini ia merasa lesu dan tak bertenaga. Apa lagi ini adalah pengalaman pertamanya dan berharap kalau kejadian paling sial yang pernah terjadi kepadanya hari ini cukup sekali saja ia alami.
Bugh!
“Sshhh... Ibu, apa-apaan sih?” ringis Arkan mengusap-usap dadanya yang baru saja dipukul lumayan keras oleh Bu Sarah.
“Dibilang jangan ngelamun! Kamu bisa nggak sih Ibu bilangin, Arkan?!” Bu Sarah menatap Arkan dengan tajam, “kalau Ibu ngelarang itu berarti ya nggak baik dan itu demi kebaikan kamu. Emangnya kamu mau kesambet?”
Arkan langsung mengerdikkan kedua bahunya, “his, ya nggak maul ah, Bu. Ibu ini malah doain yang enggak-enggak buat anaknya,” balasnya kesal.
“Ya lagian kamu ngapain coba dari tadi ngelamun kaya gitu, apalagi tadi di depan rumah. Udah lah malem-malem, pake segala acara ngelamun. Kan emang bener bisa aja kesambet, Arkan. Bukannya doain, tapi Ibu itu ngasih tau,” papar Bu Sarah, lalu menarik lengah Arkan dan membawanya duduk di ruang keluarga.
“Pokoknya Ibu nggak mau tau, ya. Ini terakhir kalinya Ibu liat kamu pulang malem, nggak ada lagi pulang sebelum mahgrib. Desa kita ini lagi nggak aman, Ibu itu khawatir, Arkan. Takut banget kalau sampai kamu itu kenapa-kenapa.” Kali ini Bu Sarah berbicara dengan intonasi yang lebih rendah sembari menatap Arkan dengan lekat.
Kalau biasanya anak laki-laki berusia 18 tahun itu akan acuh tak acuh kali ini ia benar-benar mendengarkan dan memperhatikan Ibunya. Karena, baru beberapa menit yang lalu saja ia sudah ditampar dengan kejadian yang mampu juga membuatnya merasakan apa itu arti takut akan hal-hal mistis seperti itu.
“Iya, Arkan. Kalaupun kamu nggak percaya sama rumor-rumor itu seenggaknya nurut aja sama Ibu buat nggak pulang malem. Paling nggak sampai semuanya mereda,” sahut Bapak yang baru saja keluar dari dalam kamar.
Arkan melipat kedua bibirnya ke dalam, mendongakkan kepalanya menatap Bapaknya sebentar. Lalu, pandangannya pun kini jatuh ke bawah. Dengan suara pelan Arkan berkata, “Arkan percaya kok, Pak.” Ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Bu Sarah dengan dada yang bergerak naik turun lagi dengan cepat karena rasa takut itu kembali menyeruak.
“Tadi Arkan liat pocong di teras rumah kosong itu. Arkan jadi takut kalau bakalan dijemput juga kaya cerita-cerita warga.”
“His, kamu ini. Kan Ibu juga udah ngengetin kamu berkali-kali, kamu nggak nurut sih,” seloroh Bu Sarah, “udah sekarang kamu ambil wudhu terus solat isya. Abis itu kita ngaji bareng dan semoga nggak akan ada apa-apa.”
-Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments