Eric duduk di kursi berlapis kulit yang terasa dingin di bawah telapak tangannya. Meja besar di depannya memisahkan pria itu dari Sean, orang yang selama ini menguasai kendali atas hidupnya dalam berbagai cara. Sorot mata Sean yang tajam menyapu wajah Eric, membuat suasana terasa lebih tegang daripada seharusnya.
“Apa yang ingin kau katakan? Kau punya waktu sepuluh menit.” Sean mengalihkan pandangan dari arlojinya ke wajah Eric. “Penerbanganku pukul 1.45 siang ini.”
Eric membasahi bibir, terlihat sedikit ragu dan gelisah. Namun, dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
“Ini tentang warisan ayahku,” jawab Eric.
“Kenapa kau tiba-tiba ingin membahas warisan itu?” tanya Sean dengan ekspresi tenang.
Eric menarik napas panjang, berusaha mengatur pikirannya. “Karena aku merasa ini sudah waktunya. Aku ingin memastikan aku menjalani hidupku sesuai keinginan ayahku. Aku ingin melamar kekasihku.”
Sean menyandarkan tubuhnya di kursi, mengamati Eric seperti seorang jaksa yang menilai terdakwa. “Wa