“Ngapain, sih, Kakak pake nyusul-nyusul segala?!” Citra uring-uringan ketika mobil baru saja bergerak.
“Udah mau maghrib.” Mirza menyahuti dengan tenang, tahu adiknya akan kembali mengoceh.
“Terus apa urusannya?” Citra masih saja tampak sewot.
“Temen kamu lagi kurang sehat, Cit.” Mirza enggan menyebut nama, khawatir keceplosan menyebut Gaby yang akan menjadi bahan segudang pertanyaan.
“Iya itu gara-gara Kakak!” Citra makin mencak-mencak, bahkan urat di lehernya begitu tegang ketika menekankan kalimatnya. “Kakak bukan cuma ngehancurin perasaan Zia, tapi masa depannya juga! Sumpah, aku malu punya kakak kayak Kak Mirza!”
“Kakak gak kabur, dan Kakak mau tanggung jawab.” Mirza tetap terlihat santai, padahal hatinya gemas ingin menjelaskan semua.
“Awas aja Kakak berani nyakitin temen aku lagi kalo udah nikah! Aku gak mau ngakuin Kak Mirza sebagai kakak!” ancam Citra tak main-main.
“Besok pagi kita ke Cilegon buat nemuin keluarga kamu,” kata Mirza pada Fazia, terdengar lembut dan hang