Sebatas Teman Ranjang

Sebatas Teman Ranjang

last updateLast Updated : 2025-05-01
By:  X ChaLvinOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
3Chapters
14views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Dalam perjalanan hidup yang penuh tekanan, Fazia Azara terpaksa menjual masa depannya demi masa depan yang lain. Sementara itu, Mirza Kalandra Rajasa, pria yang sedang terluka akibat patah hati, menemukan pelipur lara dalam kehadiran Fazia. Di lain waktu, takdir membawa mereka bertemu kembali di tempat yang tak seharusnya. Tatapan yang dulu hangat kini penuh salah paham, dan perasaan yang pernah tumbuh kini tercabik oleh prasangka. Ketika ego, masa lalu, dan kenyataan berbenturan, bisakah dua insan yang saling menyakiti menemukan arti cinta? Atau mereka akan tenggelam dalam luka yang mereka ciptakan sendiri?

View More

Chapter 1

Part 1: Bad Choice

“Duh, gimana, dong? Mana Hasan udah OTW mau ke sini! Gue jadi gak bisa ke mana-mana!” Kalina terdengar mengeluh pada seseorang yang sedang dihubunginya. “Masa lo gak bisa paksain, sih? Bantuin gue kali ini, kek.”

“Masalahnya itu satu minggu, Lin. Kalo cuma semalem mah gue bisa.” Dona memberi alasan sebelum akhirnya memberi saran, “Lo cancel aja, sih.”

“Mana bisa! Lo tau sendiri si botak bakal maki gue habis-habisan! Apalagi dia udah nerima duitnya!” Kalina berteriak frustasi.

“Ya, abis gimana? Lagian rencananya mendadak banget. Job gue udah full, Lin.” Dona tetap tak bisa membantu apa-apa. “Kenapa juga si Hasan datang tiba-tiba gitu? Cowok lo aneh! Gak tau jadwal!”

“Gue lagi berantem sama dia, terus dia mau ke sini.” Kalina lanjut menceritakan masalahnya.

Fazia Azara, gadis yang baru saja lulus SMA itu tak sengaja menguping obrolan sang majikan. Kalina memang seorang janda satu anak yang dikenal sebagai PSK, tapi Fazia tidak peduli karena pekerjaannya hanya sebatas antar jemput anak Kalina ke sekolah setiap hari.

Sepertinya Fazia tahu Kalina dilema karena apa. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja sebuah ide konyol yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya terlintas begitu saja. Hanya satu yang dia inginkan saat ini, yaitu mencari uang untuk melarikan diri dari rumah dan keluarganya yang berantakan.

“Butuh bantuan, Mbak? Mungkin aku bisa bantu.” Fazia menawarkan diri dalam keadaan kalut.

“Emang lo ngerti yang gue bahas barusan?” Kalina menatapnya curiga bercampur was-was.

Fazia mengangguk pelan, padahal hati kecilnya merasa tak yakin. Kalina yang menganggap gadis itu bersungguh-sungguh pun segera mengatur rencana. Saat itu juga, Fazia diberikan banyak arahan dan nasehat agar menggantikan dirinya menjadi teman ranjang untuk seorang pria selama satu minggu.

Bodoh! Mungkin semua orang akan mengatai Fazia dengan kalimat itu atas keputusannya yang gegabah dan tergesa-gesa. Namun, dia benar-benar tidak ingin pulang ke rumah. Untuk apa? Hanya akan mendengar bujukan ibunya dan mendapat makian atau bahkan pukulan dari sang ayah.

***

Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Fazia tiba di tempat tujuan, sebuah villa yang terletak di pesisian pantai pedalaman Kota Cilegon. Entah mengapa gadis itu merasa gugup, niat yang tadi sudah bulat kini terasa ambruk. Bisakah waktu diputar kembali? Dia tidak ingin berada di tempat yang sangat asing itu.

Penampilan Fazia kini sudah persis seorang PSK. Tak hanya pakaiannya yang sangat terbuka, tapi wajahnya pun dirias sedemikian rupa. Belum apa-apa, dia sudah merasa menjadi wanita paling hina. Namun ketika mengingat keluarganya yang tidak harmonis, tekadnya kembali sekuat baja.

Tidak seperti dugaan Fazia, ternyata pria yang menyewa Kalina masih sangatlah muda, bukan pria tua bangka dengan perut buncit dan mata jelalatan. Pertama kali bertemu, wajah pria itu terlihat seperti pria baik-baik, sopan, ramah, tidak ada gelagat bajingan sama sekali. Jujur saja, Fazia terpana pada pandangan pertama.

“Mirza.” Pria tampan itu tiba-tiba mengulurkan tangannya usai mempersilakan Fazia untuk masuk.

“Gaby.” Fazia turut memperkenalkan diri menggunakan nama samaran.

“Berapa usia kamu?” Mirza menelisik Fazia dari atas sampai bawah dengan tatapan biasa saja.

“18, Pak.” Fazia memaksakan senyumnya.

“18?” Mirza mengernyit tak percaya, penampilan gadis berambut sedada itu terlihat seperti sudah dewasa.

“Kenapa, Pak?” Fazia ikut memperhatikan penampilannya dengan perasaan tak nyaman.

“Kayaknya kamu masih amatir.” Mirza menatap remeh, padahal dia merasa tak tega. “Saya mau ganti.”

“Aku gak amatir, kok.” Fazia menyangkal dengan percaya diri.

“Saya tetap mau ganti.” Mirza tak peduli, segera mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang.

“Aku lagi butuh uang, Pak.” Fazia tak malu menampilkan wajahnya yang memelas.

Mirza terdiam beberapa saat, berusaha menimang keputusannya. “Jangan panggil pak. Saya bukan atasan kamu dan saya masih muda.” Ia akhirnya mengiyakan.

“Om?” Fazia menawarkan panggilan lain.

“Emang saya kelihatan udah om-om?” Mirza tentu tak terima atas panggilan itu.

“Nggak, sih.” Fazia menggeleng dengan cepat, khawatir Mirza tersinggung. “Daddy, gimana?”

“Daddy?” Mirza terkekeh geli.

“Apa yang lucu? Kalo manggil mas, 'kan, malah kayak orang pacaran.” Fazia membatin kesal. “Terus panggil apa? Tuan? Mister?” tawarnya.

“Ehem.” Mirza segera menetralkan ekspresinya. “Panggil kakak aja biar lebih enak didenger.”

“Oke.” Fazia manggut-manggut tanda mengerti.

“Waktunya makan malam. Kebetulan saya juga udah lapar.” Mirza lalu berjalan ke ruangan lain.

Fazia sempat terdiam bingung, akan tetapi dia bergegas menyusul ke mana Mirza pergi. Melihat pria itu sudah duduk di hadapan meja makan dengan beberapa hidangan di atasnya, ia pun berinisiatif untuk melakukan sesuatu semata-mata memulai 'pekerjaannya'.

“Mau makan apa aja?” Fazia sigap membalikan piring yang sudah tertata rapi di atas meja.

“Siapa yang minta kamu layani saya di meja makan?” Mirza menatap bingung, baru tahu tugas seorang PSK melayani makannya juga. “Duduk. Ikut makan. Jangan sampai kamu sakit di sini.”

Fazia merasa konyol sendiri akibat nasehat dari Kalina, 'layani pria itu seperti raja'. Tak heran, dia yang tak terbiasa pun bersikap aneh dan berlebihan. Tanpa penolakan, Fazia duduk di hadapan Mirza untuk ikut makan. Suasana saat itu mendadak hening, keduanya malah sibuk dengan pikiran masing-masing.

Mirza sebenarnya risih atas kehadiran Fazia. Sudah satu bulan dia mengasingkan diri di tempat itu, merenungkan banyak hal terutama cintanya yang berakhir menyakitkan. Jangankan bermain wanita, mengenal minuman keras saja baru kali ini, itu pun karena dia sedang patah hati.

Tanpa persetujuan, teman sekaligus pemilik villa tersebut—Gustaf, mengirimkan seorang wanita untuk menemani kesendiriannya. Baiklah, tak apa, sepertinya melakukan hal baru dan bersenang-senang bisa sedikit mengobati luka hatinya. Namun, jujur saja Mirza ragu mengetahui usia Fazia yang belum dewasa, seumuran adiknya.

“Orang tua kamu tau kamu kerja kayak gini?” Mirza berusaha mencari topik pembicaraan.

“Gak tau, Kak.” Fazia menggeleng malas.

“Selain buat kebutuhan sehari-hari, ada lagi alasan kamu kerja gini?” Mirza ingin tahu alasan seorang wanita menjadi PSK. “Misalnya buat beli tas branded, HP, mobil, atau bahkan apartemen?”

“Aku punya alasan sendiri yang gak bisa diceritain ke orang lain.” Fazia menolak menjelaskan. Terlalu rumit, tak yakin Mirza akan mengerti.

“Sejak kapan kamu terjerumus ke dunia hitam? Juga, mau sampai kapan? Gak mungkin kamu kerja gini terus, 'kan?” Mirza sungguh menyayangkan 'pekerjaan' Fazia saat ini. “Masa depan kamu masih panjang, jadi harus ada kemauan buat jadi lebih baik kedepannya.”

“Aku mau kuliah, cari kerjaan yang halal, dan mungkin juga cari calon suami.” Fazia hanya asal menjawab, tak tertarik untuk membahasnya.

“Jangan buru-buru nikah, apalagi usia kamu masih belasan tahun.” Mirza memberi saran sebagai orang dewasa, tepatnya kakak. “Punya pacar?”

“Enggak ada, Kak.” Fazia menjawab jujur.

“Bagus.” Mirza mengangguk senang. “Fokus sama pendidikan, kejar cita-cita selagi bisa.”

“Kakak sendiri punya pacar?” Fazia memutar pertanyaan, sekadar basa-basi tidak penting.

“Kalo saya punya pacar, gak mungkin saya biarin cewek lain deket-deket saya kayak sekarang ini.” Mirza tersenyum tipis sembari menggeleng.

Fazia semakin terpesona, sungguh. Tak hanya tampan dari segi rupa, sikap Mirza juga sangat dewasa. Jawaban pria itu menandakan sebuah kesetiaan, matanya terdapat ketulusan, suaranya penuh kelembutan, kalimatnya pun sangat meyakinkan. Sulit dipungkiri bahwa sosok Mirza adalah impiannya.

Tunggu, hentikan! Fazia langsung teringat pada alasannya berada di sana, yaitu menjadi seorang pemuas nafsu! Artinya pria itu sudah sering memanggil seorang PSK, tidak seperti wajahnya yang terlihat pria baik-baik dan santun. Ah, semua pria sama saja, Fazia jadi sulit membedakan golongan mereka!

Usai makan malam, Mirza membawa Fazia ke ruang TV. Meski terasa aneh karena pria itu tidak membawanya ke kamar, Fazia tetap diserang rasa panik ketika lampu dimatikan. Gelapnya ruangan itu sedikit memudar saat TV dinyalakan. Mungkin Mirza ingin menonton sebuah film sebelum 'ritual'?

Ternyata Mirza duduk di lantai beralas karpet setelah menyalakan PlayStation 5, lalu tak lama dari itu tulisan Call Of Duty pun menghiasi layar TV. Hey, apa maksudnya ini? Fazia duduk di sofa sendirian dengan jarak yang cukup jauh. Dia merasa menjadi orang linglung yang tersesat di suatu tempat.

Tidak ada yang Fazia lakukan selain menonton gameplay tanpa minat, sedangkan Mirza tampak asyik sendiri, tak mempedulikan gadis yang duduk di belakangnya. Sebenarnya suasana sangat sunyi, justru berisik oleh suara tembakan-tembakan dan interaksi dari dalam game bergenre first person shooter itu.

“Kamu ngantuk?” Mirza menoleh sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke layar TV.

“Enggak, Kak.” Fazia pura-pura tidak jenuh.

“Kalo ngantuk tidur aja di kamar. Saya gak minta kamu begadang buat temenin main game,” kata Mirza seakan ada atau tidaknya Fazia tidaklah berarti.

“Itunya kapan?” Fazia membatin. Bukan tak sabar, dia hanya penasaran.

“Mau minum?” Mirza menoleh lagi hanya untuk menawarkan.

“Aku gak haus.” Fazia menggeleng cepat.

“Maksudnya ... minuman keras.” Mirza merasa heran, Fazia terkesan polos atau hanya pura-pura polos?

“Oh ....” Fazia baru ingat istilah minum, yaitu mabuk-mabukan. “Nanti aja, Kak. Santai.”

“Ganti baju kamu kalo ngerasa gak nyaman,” pinta Mirza yang kali ini mulai fokus pada game.

“Aku gak bawa baju banyak. Udah gitu yang dibawa ya yang gini-gini.” Fazia jadi bingung.

“Pake baju saya aja kalo mau. Bebas mau pilih yang mana.” Mirza pikir itu lebih baik dibanding setelan kurang bahan yang dipakai Fazia sekarang ini.

“Oke.” Fazia mengangguk tanpa bantahan.

“Satu lagi.” Mirza berhasil menghentikan pergerakan gadis itu. “Hapus make up kamu.”

“Iya, Kak.” Fazia berlalu dari pandangan.

Entah apa yang salah dari penampilan Fazia, kelihatannya Mirza tidak tertarik sedikit pun. Tidak masalah, gadis itu justru merasa senang bisa terlepas dari penampilan yang bukan style-nya sama sekali. Semua pakaian yang dibawanya milik Kalina, tidak ada satu pun pakaian yang tertutup dan sopan.

Selesai berganti pakaian dan menghapus make up, Fazia kembali ke ruang TV dengan penampilan baru. Namun, hal itu tidak mengganggu fokus Mirza pada game! Fazia semakin bingung, apa yang harus dia lakukan? Jangankan memulai lebih dulu, dia bahkan belum pernah berpacaran.

Cukup lama menonton gameplay yang dimainkan Mirza tanpa perbincangan apa-apa, Fazia tak bisa menahan rasa kantuk hingga dia tertidur dengan posisi asal. Otaknya sudah tidak mau berpikir konsekuensi akibat tidur di dekat pria asing, jiwanya juga terkesan pasrah.

Seakan memiliki alarm pada tubuhnya, Fazia terbangun di jam enam pagi karena sudah terbiasa. Tubuhnya terasa pegal sekali, mungkin karena tidur di sofa dan pergerakannya terbatas untuk berganti posisi. Tunggu, di mana ini? Tempat itu sangat asing dan ... siapa yang telah menyelimuti tubuhnya?

Reflek, Fazia bangkit dari baringnya. Seketika itu juga dia mendapati Mirza tertidur di karpet dengan kondisi TV dan game console yang masih menyala. Sepertinya pria itu juga ketiduran? Juga, sepertinya tidak terjadi apa-apa karena pakaian Fazia masih sama seperti semalam.

Membayangkan Mirza menyelimuti tubuhnya, Fazia tak bisa menghentikan perasaan yang mendadak bergemuruh dalam hati. Pria itu sangat perhatian, bukan? Sebenarnya apa niat Mirza memanggil seorang PSK tapi tidak dia sentuh sedikit pun? Fazia tak mengerti sama sekali.

Sedang asyik memandangi wajah Mirza yang terlihat damai tanpa ekspresi, Fazia dikejutkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba masuk tanpa menekan bell ataupun mengetuk pintu lebih dulu. Sontak saja gadis itu terdiam kaku, sama seperti wanita yang baru saja datang.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
3 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status