Cari
Pustaka
Beranda / Rumah Tangga / Setelah Kamu Pilih Dia / Arsen dan Payung Biru

Arsen dan Payung Biru

Penulis: Lina Astriani
2025-06-18 12:23:24

Langit masih menggantung mendung, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung turun. Jakarta telah mulai merangkai hujan sejak pagi, tapi belum satu pun tetesnya jatuh ke tanah. Angin dingin yang menyelinap di antara dedaunan membawa aroma kenangan yang belum luruh. Sudah sebulan sejak Dinda pergi.

Arsen duduk sendirian di bangku taman yang pernah menjadi saksi awal pertemuan mereka. Tangannya menggenggam sebuah payung kecil berwarna biru—yang sudah robek di beberapa sisinya. Payung itu masih menyisakan embun tipis dari sisa hujan semalam. Benda sederhana itu seakan menjadi jembatan yang memaksa kenangan datang tak diundang.

Sejenak, dunia di sekelilingnya meredup. Ingatan itu menyeruak kembali, hidup di balik tatapan kosongnya.

“Setiap malam, sejelek apa pun harinya, kita harus pulang. Pulang ke sini. Ke aku, ke kamu. Deal?”

“Deal.”

Tawa Dinda menggema dalam memori, jernih seperti denting gelas kaca. Aroma kopi instan dan denting hujan di atap halte menjadi latar dari janji yang dulu mereka buat bersama.

Arsen kembali menunduk, menggenggam payung itu erat. Retakan di permukaan plastiknya kini dibasahi air matanya sendiri. Satu helaan napas panjang meluncur dari bibirnya yang gemetar.

“Aku telah mengkhianati semua itu,” lirihnya, nyaris tak terdengar.

Ia merogoh sakunya dan menyalakan layar ponsel. Satu pesan terus muncul sebagai notifikasi terakhir—pesan dari seseorang yang kini membuat sesaknya bertambah.

“Aku minta maaf.”

Nama pengirimnya terpampang jelas: Alya.

Alya—nama itu seperti racun. Arsen tahu, jauh di balik drama yang telah terjadi, Alya masih menunggunya. Menunggu agar Arsen berpaling sepenuhnya. Tapi hatinya sudah hancur. Tidak bisa lagi menampung cinta lain, apalagi cinta yang lahir dari pengkhianatan.

Satu tegukan kopi dingin dari termos kecil menuruni tenggorokannya. Rasanya hambar. Begitu juga dengan hidupnya kini.

“Din… aku kehilanganmu.”

Dengan tangan yang masih bergetar, ia membuka aplikasi catatan di ponselnya. Jari-jarinya mengetik perlahan.

Dinda, jika kau membaca ini, ketahuilah aku selalu menyesal. Janji itu bukan cuma kata di bibir, tapi janji jiwa. Dan aku telah mengkhianatinya…

Namun sebelum kalimat berikutnya terbentuk, jari-jarinya terhenti. Ada jeda. Waktu terasa beku.

Akhirnya ia menutup aplikasi itu tanpa menyimpan. Surat itu hanya satu halaman, tapi baginya terasa seperti menulis seluruh dosa dalam satu tarikan napas.

Payung biru itu akhirnya dilempar ke atas rerumputan basah. Ia berdiri, membiarkan hujan gerimis mulai menyentuh rambut dan jaketnya.

“Maaf…” gumamnya pelan, lalu melangkah meninggalkan taman. Jalan setapak itu pernah menjadi jalur pulang mereka—kini hanya miliknya sendiri.

Dinda di Kos Lama

Sekitar sembilan puluh menit dari Jakarta, di sebuah kota kecil yang tak terlalu dikenal, Dinda kini menetap di kamar kos sederhana. Sudah sebulan sejak ia memutuskan untuk pindah, mencari ulang siapa dirinya sebenarnya. Hidupnya berubah drastis—dari istri seorang pria mapan menjadi wanita yang merajut ulang hidupnya dari awal.

Rutinitas barunya teratur: pagi hari olahraga ringan, siang bekerja di sebuah agensi desain lokal, sore menghabiskan waktu membaca atau berjalan ke taman terdekat, dan malam hari menulis diary sebelum tidur lebih awal. Tidak ada lagi perdebatan, tidak ada lagi luka yang harus ditambal setiap malam.

Hari ini Jumat, matahari tak muncul, hanya awan mendung yang menggantung rendah. Gerimis tipis mulai turun ketika Dinda melangkah ke taman yang tak jauh dari kosnya. Ia membawa sebuah payung kecil berwarna merah—payung baru, simbol kehidupan baru yang sedang ia susun.

Bangku kayu di sudut taman kosong. Ia duduk, membuka tas, lalu menarik buku diary dari dalam. Helaan napas panjang ia hembuskan, sebelum mulai menulis di halaman kosong.

Ini bukan tentang membencimu, Arsen. Tapi tentang mencintai diri sendiri dengan tulus. Setiap harinya aku tumbuh lebih kuat. Perlahan-lahan aku jatuh cinta kembali pada diri yang dulu nyaris hilang…

Dinda menutup matanya sejenak, membiarkan hujan menyatu dengan pikirannya. Saat itulah langkah kaki terdengar menghampiri. Seorang pria muda berkacamata membawa termos kopi dan tabung gambar silinder. Ia duduk di bangku tak jauh darinya.

“Maaf, saya tidak mengganggu, kan?” suaranya lembut, agak serak tapi terdengar sopan.

Dinda membuka mata dan mengangkat kepala. “Sedikit… ini ruang pribadi.”

Pria itu tersenyum kecil. “Maaf… saya cuma lihat kamu sedang menulis. Saya fotografer amatir, suka dokumentasi orang-orang di tempat tenang. Nama saya Rayhan.”

Ada nada jujur di suaranya yang membuat Dinda tidak langsung merasa risih. Ia mengangguk pelan. “Dinda.”

“Senang kenal, Dinda. Cuaca mendung memang cocok untuk menulis,” Rayhan berkata sambil membuka termos dan menuang kopi ke dalam cangkir kecil dari stainless. Ia lalu mengeluarkan sepotong biskuit dan meletakkannya di atas tisu kecil, mendorongnya ke arah Dinda.

Ia menolak dengan isyarat tangan, lalu berkata, “Saya cuma menulis target hidup. Supaya lebih jelas saja.”

Rayhan tersenyum. “Bagus. Kadang saya juga begitu. Nulis ‘to-do list’ biar nggak hanyut sama waktu.”

Dinda tertawa pelan, tanpa sadar.

“Kamu suka foto?” tanyanya.

“Iya. Dan kamu desain, kan?”

Dinda mengangguk. “Baru mulai lepas dari masa lalu.”

“Wajar,” jawab Rayhan ringan. “Semua orang punya masa lalu. Yang penting, kita terus hidup.”

Kalimat itu begitu sederhana, tapi bagai menyentuh ruang yang lama tak dijamah dalam hati Dinda. Tidak menghakimi, tidak menasihati. Hanya sekadar menemani.

Mereka duduk dalam diam. Gerimis turun seperti musik latar dari momen yang anehnya terasa tenang. Dinda menutup diary-nya, memasukkan pena ke dalam tas, lalu menerima kopi hangat dari Rayhan.

“Aku nggak tahu bisa jatuh cinta lagi atau tidak,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.

Rayhan menatapnya. “Jangan takut jatuh cinta lagi. Dan jangan takut bahagia.”

Dinda menatap cangkir kopi itu, lalu berbisik pelan, “Terima kasih, Ray.”

Mereka mengobrol kecil tentang kota ini, tentang kopi kesukaan, tentang desain dan foto. Tidak ada yang memaksa untuk tahu lebih dalam. Tapi setiap kalimat yang lahir malam itu seperti memberikan ruang bagi Dinda untuk bernapas sedikit lebih lega.

Menjelang waktu pulang, Rayhan menawarkan untuk mengantarnya sampai ke kos. Dinda menolak dengan sopan, lalu beranjak. Namun sebelum benar-benar menjauh, ia menoleh sejenak, menemukan Rayhan masih duduk di bangku, memandangnya dengan tatapan lembut.

Seperti berharap, pertemuan ini bukanlah kebetulan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi