Hujan belum juga reda sejak sore tadi. Langit Jakarta masih menggantung kelabu, seakan ikut meratapi kegamangan hati yang remuk di antara kilau lampu kota. Setiap tetesnya yang jatuh seperti menggenapi perasaan yang tak pernah benar-benar utuh.
Di sudut sebuah kafe kecil di pojokan, Arsen duduk mematung. Tubuhnya bersandar lemah di kursi kayu yang dingin, sementara jari-jarinya menggenggam erat cangkir kopi hitam yang sudah lama kehilangan panas. Di tangan lainnya, sebuah cincin pernikahan ia putar-putar tanpa henti. Sebuah kebiasaan gugup yang entah sejak kapan jadi pelariannya dari kenyataan. Ponselnya bergetar. Layar menyala. Alya “Aku di depan kafe. Jangan bikin aku nunggu lagi.” Arsen menutup mata. Menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah di dadanya. Ia tahu, malam ini tak bisa dihindari. Semua yang selama ini ia simpan, semua kebohongan, semua ketidakberanian—semuanya harus ditumpahkan. Kini, tak ada lagi tempat bersembunyi. ⸻ Alya masuk dengan langkah cepat. Rambutnya sedikit basah karena gerimis, namun sorot matanya tetap tajam menatap Arsen yang masih duduk terpaku. Sepatu hak pendeknya mengetuk lantai, menyiratkan ketidaksabaran yang nyaris meledak. Tanpa menyapa, ia langsung duduk di hadapan Arsen. “Alya…” gumam Arsen lirih. “Berapa kali gue harus bilang, Sen? Jangan bikin gue nunggu kayak orang bodoh!” Nada suaranya meninggi. Beberapa pasang mata di kafe menoleh, tapi Alya tak peduli. Arsen menunduk, meremas cincin itu lebih erat. “Gue… gue nggak mau nyakitin Lo.” Alya tertawa sinis. “Terlambat, Sen. Lo udah nyakitin gue sejak pertama kali lo bawa gue masuk ke hidup lo, tapi hati lo masih di perempuan itu.” “Gue pikir gue bisa lupain dia,” ucap Arsen, nyaris berbisik. “Gue pikir waktu bisa bantu. Tapi ternyata…” “Ternyata apa?” potong Alya tajam. “Ternyata lo masih berharap dia balik?” Arsen tak menjawab. Matanya kosong. Suara hujan di luar menjadi satu-satunya yang mengisi keheningan di antara mereka. Alya mengusap wajahnya. Bahunya bergetar pelan. “Gue sayang lo, Sen. Tapi gue bukan bayangan. Gue bukan selingan. Gue manusia.” “Alya, maaf…” “Maaf?” Alya berdiri perlahan. “Gue cuma mau satu hal malam ini. Kepastian.” Arsen menatapnya. “Gue nggak bisa janji apa-apa.” “Berarti gue udah dapet jawabannya.” Suaranya pelan, tapi penuh luka. Dia mengambil tasnya, melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. Mata mereka bertemu dalam satu detik yang panjang dan sunyi. “Kalau besok lo masih cari dia, jangan pernah cari gue lagi.” Lalu ia pergi. Langkahnya menghilang di balik kaca yang basah oleh hujan. Arsen tak beranjak. Tangannya gemetar saat meletakkan cincin di atas meja, seolah baru menyadari: dia sudah kehilangan segalanya. Ponselnya bergetar lagi. Pesan masuk. Nama pengirim: Dinda. “Sen, jangan cari aku lagi. Biar aku belajar hidup tanpa kamu. Biar luka ini aku yang tanggung. Jangan ganggu aku. – Dinda.” Arsen membaca ulang pesan itu. Berkali-kali. Hingga kata-katanya menyatu jadi luka yang menyesakkan dada. Ia menutup ponsel, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Din…” Suara itu tak lebih dari bisikan putus asa. Di luar, hujan masih deras. Sama derasnya dengan penyesalan yang tak tahu harus lari ke mana. ⸻ Di sebuah kamar kos sederhana di pinggiran kota, Dinda duduk diam. Rambutnya masih setengah basah, tubuhnya dibungkus sweater abu-abu yang sudah mulai longgar. Di meja kecil di depannya, secangkir teh hangat menguap perlahan, berdampingan dengan buku diary yang terbuka di halaman kosong. Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kipas tua yang berdecit di langit-langit, dan sesekali suara motor melintas di luar. Dinda menatap halaman putih itu lama, sebelum akhirnya mulai menulis. “Hari ke-34 tanpa Arsen. Masih ada jejak yang suka muncul tiba-tiba. Payung biru di pojok kamar. Suara hujan yang seperti panggilan. Kopi hitam yang sudah tak pernah kubuat lagi. Tapi aku sadar, semua itu bukan lagi milikku.” Tangannya berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan. “Aku belajar satu hal penting yaitu mencintai seseorang tak selalu berarti harus memiliki. Terkadang, mencintai justru berarti membiarkan dia pergi. Karena bertahan hanya akan membuat luka semakin dalam.” Ia menutup buku itu. Matanya berkaca-kaca, tapi tak satu pun air mata jatuh. Ia sudah melewati malam-malam terburuk. Kini, luka itu hanya tinggal basah, belum benar-benar sembuh. Ponselnya bergetar. Rayhan. “Dinda, besok kalau sempat, aku traktir makan siang ya? Sekedar ngobrol, nggak lebih.” Dinda membaca pesan itu. Bibirnya membentuk senyum kecil. Sejak pertama kali bertemu Rayhan di taman, pria itu memang selalu tahu caranya datang tanpa memaksa. Tidak seperti Arsen yang dulu datang dan pergi sesuka hati. “Oke. Jam berapa?” Ia mengetik balasan cepat, lalu meletakkan ponsel di samping bantal. Malam semakin larut. Hujan tak juga reda. Tapi kali ini, Dinda memeluk dirinya sendiri lebih erat. Bukan untuk menangis. Tapi untuk menjaga hatinya tetap hangat, tetap hidup. Bukan untuk menggantikan Arsen. Tapi untuk membuka ruang baru yang lebih sehat. Lebih tenang. Lebih waras. “Pelan-pelan, Din…” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kamu berhak bahagia. Kali ini… bukan karena dia.”Hari-hari setelah arisan pertama berjalan begitu indah bagi Dinda. Ponselnya kini ramai notifikasi dari grup WhatsApp ibu-ibu komplek. Setiap hari ada saja obrolan—mulai dari resep sederhana, tips belanja hemat, sampai sekadar membagikan foto anak-anak mereka.Dinda merasa lebih hidup. Ia tak lagi merasa asing di lingkungan baru. Bahkan beberapa kali ia diajak mampir ke rumah tetangga, sekadar minum teh sambil mengobrol.Namun, tak semua berjalan semulus itu.Suatu sore, ketika Dinda sedang menyapu halaman, ia mendengar dua ibu yang lewat di depan rumahnya bercakap dengan suara agak pelan tapi cukup jelas terdengar.“Eh, itu Bu Dinda ya? Baru juga pindah, udah langsung deket banget sama Bu Wati sama Bu Ratna,” ucap salah satunya.“Iya, aku juga lihat. Cepet banget akrabnya. Jangan-jangan ada maunya,” timpal yang lain.Dinda terdiam, sapunya berhenti bergerak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tak menyangka akan mendengar komentar seperti itu.Malamnya, saat Rayhan pulang, Dinda menc
Hari Minggu tiba, matahari pagi bersinar cerah. Sejak pagi, Dinda sudah bersiap dengan mengenakan gamis sederhana warna biru muda dan jilbab polos yang membuat wajahnya terlihat segar. Tangannya sempat gemetar saat menata hijabnya di depan cermin.“Han, aku grogi banget,” ucapnya sambil menatap Rayhan yang sedang menggendong bayi mereka.Rayhan tersenyum menenangkan. “Kenapa grogi? Kan cuma arisan. Santai aja, Din. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.”“Tapi ini pertama kali aku kumpul sama ibu-ibu komplek. Aku takut salah ngomong atau malah nggak nyambung,” jawab Dinda pelan.Rayhan mendekat, menepuk pelan bahu istrinya. “Kamu kan orangnya ramah. Aku yakin mereka bakal suka sama kamu. Lagian, Bu Ratna juga pasti nemenin.”Dinda menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Iya, semoga aja.”Tepat pukul sembilan, Bu Ratna datang menjemput. Ia tersenyum hangat saat melihat Dinda sudah siap. “Wah, cantik sekali, Bu Dinda. Ayok, jangan malu-malu. Semua ibu-ibu pasti senang kenal dengan tetang
Pagi berikutnya, aroma masakan sederhana dari dapur tetangga mulai tercium. Suara ayam berkokok dan anak-anak berlarian membuat suasana perumahan terasa hidup. Dinda membuka pintu depan rumah, membiarkan udara segar masuk sambil menatap lingkungan sekitar.Di halaman sebelah, Bu Ratna sedang menyapu. Begitu melihat Dinda, ia melambaikan tangan. “Pagi, Bu Dinda! Sudah agak rapi rumahnya?”Dinda tersenyum hangat. “Alhamdulillah, Bu. Kemarin seharian beres-beres sama suami. Capek, tapi senang.”Tak lama kemudian, Bu Ratna menghampiri sambil membawa sepiring kue tradisional. “Ini saya bawain onde-onde sama risoles. Biar ada camilan pagi. Anggap aja ucapan selamat datang.”Dinda terharu menerima itu. “Ya Allah, terima kasih banyak, Bu. Jadi malu saya, baru pindah sudah dikasih begini.”“Ah, nggak usah sungkan. Di sini kita semua saling bantu. Kalau ada apa-apa, tinggal ketok rumah saya aja,” jawab Bu Ratna dengan ramah.Rayhan yang baru keluar rumah ikut menyapa. “Wah, terima kasih banyak,
Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kecil rumah dinas, menyebarkan kehangatan ke seluruh ruangan. Dinda sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai dengan bayi yang masih setengah tertidur dalam gendongannya. Senyum lembut menghiasi wajahnya, meski tubuh terasa lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Rayhan keluar dari kamar dengan rambut masih berantakan. “Selamat pagi, Din,” ucapnya sambil menguap lebar. “Gimana tidurnya semalam? Nyaman nggak?”Dinda terkekeh. “Nyaman sih nggak, Han. Tapi aku bahagia. Rumah ini mungkin kecil dan sederhana, tapi rasanya hangat.”Rayhan menatap sekeliling rumah, lalu tersenyum tipis. “Hari ini kita mulai petualangan baru, ya. Bersih-bersih dulu biar makin nyaman.”Setelah sarapan sederhana dengan gorengan pemberian Bu Ratna dan secangkir teh hangat, mereka mulai mengeluarkan barang-barang dari kardus. Dinda mengatur perlengkapan bayi di pojok kamar, sementara Rayhan sibuk menyapu halaman belakang yang penuh rumput liar.Sesekali, Rayhan mengint
Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dinas sederhana di kawasan perumahan karyawan. Tidak besar, tapi cukup untuk memulai kehidupan baru. Cat temboknya berwarna putih pucat, dengan pagar kecil di depan yang masih kokoh meski terlihat agak tua.Dinda turun dari mobil sambil menggendong bayi. Ia menatap rumah itu lama, berusaha menanamkan perasaan bahwa inilah tempat yang akan menjadi saksi perjalanan mereka ke depan.“Gimana, Din?” tanya Rayhan sambil membuka bagasi. “Memang nggak mewah, tapi menurutku nyaman. Kita bisa pelan-pelan bikin lebih bagus.”Dinda tersenyum tipis. “Aku suka, Han. Yang penting kita bareng-bareng.”Mereka mulai menurunkan barang-barang. Meski tidak banyak, tetap saja membuat halaman depan tampak penuh. Rayhan mengangkat koper besar, sementara Dinda mengatur kardus berisi perlengkapan bayi.Seorang ibu tetangga yang rumahnya berdampingan datang menghampiri. “Baru pindah ya? Selamat datang, saya Bu Ratna.”Dinda membalas dengan ramah. “Iya, Bu. Ka
Pagi itu udara terasa berbeda. Lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati yang penuh perpisahan. Ayam jantan baru saja berkokok ketika Dinda terbangun lebih awal. Ia memandangi bayi kecilnya yang masih terlelap, lalu menundukkan kepala, mencium keningnya dengan penuh cinta.Rayhan sudah sibuk di luar, memasukkan koper dan kardus ke dalam mobil yang akan membawa mereka menuju Surabaya. Suara pintu mobil dibuka-tutup terdengar berulang kali, menandakan betapa banyaknya barang yang harus dibawa.“Han, ini termos sama kotak susu jangan lupa,” ujar Dinda sambil keluar rumah dengan tangan penuh bawaan kecil.Rayhan menerima dan menaruhnya di kursi belakang. “Udah siap semua, tinggal kamu sama dedeknya aja yang belum masuk mobil.”Saat itu, beberapa tetangga kembali berdatangan. Meski sudah pamitan semalam, mereka masih ingin mengantar sampai di depan rumah. Ada yang membawa sarapan sederhana—nasi bungkus, roti, hingga air minum—untuk bekal di perjalanan.“Biar nggak ribet di ja