Home / Rumah Tangga / Setelah Kamu Pilih Dia / Pilihan yang Menyesakkan

Share

Pilihan yang Menyesakkan

Author: Lina Astriani
last update Huling Na-update: 2025-06-18 12:28:26

Hujan belum juga reda sejak sore tadi. Langit Jakarta masih menggantung kelabu, seakan ikut meratapi kegamangan hati yang remuk di antara kilau lampu kota. Setiap tetesnya yang jatuh seperti menggenapi perasaan yang tak pernah benar-benar utuh.

Di sudut sebuah kafe kecil di pojokan, Arsen duduk mematung. Tubuhnya bersandar lemah di kursi kayu yang dingin, sementara jari-jarinya menggenggam erat cangkir kopi hitam yang sudah lama kehilangan panas. Di tangan lainnya, sebuah cincin pernikahan ia putar-putar tanpa henti. Sebuah kebiasaan gugup yang entah sejak kapan jadi pelariannya dari kenyataan.

Ponselnya bergetar. Layar menyala.

Alya

“Aku di depan kafe. Jangan bikin aku nunggu lagi.”

Arsen menutup mata. Menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah di dadanya. Ia tahu, malam ini tak bisa dihindari. Semua yang selama ini ia simpan, semua kebohongan, semua ketidakberanian—semuanya harus ditumpahkan. Kini, tak ada lagi tempat bersembunyi.

Alya masuk dengan langkah cepat. Rambutnya sedikit basah karena gerimis, namun sorot matanya tetap tajam menatap Arsen yang masih duduk terpaku. Sepatu hak pendeknya mengetuk lantai, menyiratkan ketidaksabaran yang nyaris meledak.

Tanpa menyapa, ia langsung duduk di hadapan Arsen.

“Alya…” gumam Arsen lirih.

“Berapa kali gue harus bilang, Sen? Jangan bikin gue nunggu kayak orang bodoh!” Nada suaranya meninggi. Beberapa pasang mata di kafe menoleh, tapi Alya tak peduli.

Arsen menunduk, meremas cincin itu lebih erat.

“Gue… gue nggak mau nyakitin Lo.”

Alya tertawa sinis. “Terlambat, Sen. Lo udah nyakitin gue sejak pertama kali lo bawa gue masuk ke hidup lo, tapi hati lo masih di perempuan itu.”

“Gue pikir gue bisa lupain dia,” ucap Arsen, nyaris berbisik. “Gue pikir waktu bisa bantu. Tapi ternyata…”

“Ternyata apa?” potong Alya tajam. “Ternyata lo masih berharap dia balik?”

Arsen tak menjawab. Matanya kosong. Suara hujan di luar menjadi satu-satunya yang mengisi keheningan di antara mereka.

Alya mengusap wajahnya. Bahunya bergetar pelan. “Gue sayang lo, Sen. Tapi gue bukan bayangan. Gue bukan selingan. Gue manusia.”

“Alya, maaf…”

“Maaf?” Alya berdiri perlahan. “Gue cuma mau satu hal malam ini. Kepastian.”

Arsen menatapnya. “Gue nggak bisa janji apa-apa.”

“Berarti gue udah dapet jawabannya.” Suaranya pelan, tapi penuh luka.

Dia mengambil tasnya, melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. Mata mereka bertemu dalam satu detik yang panjang dan sunyi.

“Kalau besok lo masih cari dia, jangan pernah cari gue lagi.”

Lalu ia pergi.

Langkahnya menghilang di balik kaca yang basah oleh hujan. Arsen tak beranjak. Tangannya gemetar saat meletakkan cincin di atas meja, seolah baru menyadari: dia sudah kehilangan segalanya.

Ponselnya bergetar lagi.

Pesan masuk. Nama pengirim: Dinda.

“Sen, jangan cari aku lagi. Biar aku belajar hidup tanpa kamu. Biar luka ini aku yang tanggung. Jangan ganggu aku. – Dinda.”

Arsen membaca ulang pesan itu. Berkali-kali. Hingga kata-katanya menyatu jadi luka yang menyesakkan dada. Ia menutup ponsel, menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Din…”

Suara itu tak lebih dari bisikan putus asa. Di luar, hujan masih deras. Sama derasnya dengan penyesalan yang tak tahu harus lari ke mana.

Di sebuah kamar kos sederhana di pinggiran kota, Dinda duduk diam. Rambutnya masih setengah basah, tubuhnya dibungkus sweater abu-abu yang sudah mulai longgar. Di meja kecil di depannya, secangkir teh hangat menguap perlahan, berdampingan dengan buku diary yang terbuka di halaman kosong.

Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kipas tua yang berdecit di langit-langit, dan sesekali suara motor melintas di luar.

Dinda menatap halaman putih itu lama, sebelum akhirnya mulai menulis.

“Hari ke-34 tanpa Arsen.

Masih ada jejak yang suka muncul tiba-tiba. Payung biru di pojok kamar. Suara hujan yang seperti panggilan. Kopi hitam yang sudah tak pernah kubuat lagi. Tapi aku sadar, semua itu bukan lagi milikku.”

Tangannya berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan.

“Aku belajar satu hal penting yaitu mencintai seseorang tak selalu berarti harus memiliki. Terkadang, mencintai justru berarti membiarkan dia pergi. Karena bertahan hanya akan membuat luka semakin dalam.”

Ia menutup buku itu. Matanya berkaca-kaca, tapi tak satu pun air mata jatuh. Ia sudah melewati malam-malam terburuk. Kini, luka itu hanya tinggal basah, belum benar-benar sembuh.

Ponselnya bergetar.

Rayhan.

“Dinda, besok kalau sempat, aku traktir makan siang ya? Sekedar ngobrol, nggak lebih.”

Dinda membaca pesan itu. Bibirnya membentuk senyum kecil. Sejak pertama kali bertemu Rayhan di taman, pria itu memang selalu tahu caranya datang tanpa memaksa. Tidak seperti Arsen yang dulu datang dan pergi sesuka hati.

“Oke. Jam berapa?”

Ia mengetik balasan cepat, lalu meletakkan ponsel di samping bantal.

Malam semakin larut. Hujan tak juga reda. Tapi kali ini, Dinda memeluk dirinya sendiri lebih erat. Bukan untuk menangis. Tapi untuk menjaga hatinya tetap hangat, tetap hidup.

Bukan untuk menggantikan Arsen. Tapi untuk membuka ruang baru yang lebih sehat. Lebih tenang. Lebih waras.

“Pelan-pelan, Din…” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kamu berhak bahagia. Kali ini… bukan karena dia.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Rumah di Pinggir Sungai

    Udara pagi di pinggir kota itu dingin dan basah. Kabut masih menggantung di antara pepohonan, menutupi sebagian pandangan. Dinda berdiri di tepi jalan tanah yang dulu sering ia lalui bertahun-tahun silam. Jalan itu menuju ke sebuah rumah kecil di pinggir sungai — tempat semua kisahnya bersama Reyza bermula… dan juga berakhir.Mobil berhenti tak jauh dari sana. Arsen keluar lebih dulu, membuka pintu untuk Dinda.“Kamu yakin mau lihat ini lagi?” tanyanya lembut.Dinda mengangguk pelan. “Aku harus, Sen. Aku harus tahu kenapa dia lakuin semua ini. Aku nggak bisa terus dikejar ketakutan.”Rayhan berdiri di samping mereka, matanya menyapu area sekitar. “Tempat ini udah kayak ditelan waktu,” gumamnya. Dinding rumah sudah kusam, atap sebagian roboh, dan halaman penuh daun kering. Sungai di belakang rumah mengalir pelan, tapi suara gemericiknya seolah menyimpan kenangan yang menyakitkan.Mereka berjalan perlahan mendekat. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki menyimpan jejak

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Puncak di Balik Kabut

    Kabut tebal menggantung di antara pepohonan saat mobil yang dikendarai Arsen menembus jalanan menanjak menuju kawasan Puncak. Udara terasa lembap dan dingin, membuat Dinda menggigil meski sudah mengenakan jaket tebal. Di kursi belakang, Rayhan duduk dengan pandangan waspada, matanya terus memerhatikan sisi jalan yang sepi.Tak ada satu pun dari mereka yang berbicara selama perjalanan. Hanya suara mesin mobil dan deru angin malam yang memecah kesunyian.“Udah hampir sampai,” ucap Arsen pelan, menatap layar GPS di dasbor. “Menurut koordinat dari polisi, sinyal terakhir Reyza terdeteksi di sekitar villa tua yang udah lama ditinggalin.”Dinda menatap keluar jendela. Kabut semakin pekat, menutupi sebagian besar pemandangan. Jalan di depan tampak sepi dan menyeramkan.“Villa tua?” gumamnya. “Kamu yakin tempatnya masih aman?”“Belum tentu,” jawab Rayhan cepat. “Tapi kita harus lihat sendiri sebelum nyimpulin apa pun.”Mobil berhenti di depan pagar besi berkarat yang separuh tertutup tanaman

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Jejak yang Tersisa

    Sudah seminggu berlalu sejak Dinda membakar surat dan kalung itu.Hari-hari berjalan lebih tenang.Tak ada lagi bayangan di jendela, tak ada suara langkah yang menguntit malam hari, dan tak ada mimpi buruk yang membuatnya terbangun sambil menangis.Dinda mulai kembali bekerja di butik tempat ia dulu berhenti karena trauma. Arsen selalu mengantar setiap pagi, memastikan ia benar-benar merasa aman.Rayhan, yang kini tinggal tak jauh dari mereka, sering mampir untuk makan malam. Suasananya pelan-pelan kembali seperti dulu—normal, bahkan nyaris bahagia.Namun, di balik semua ketenangan itu, ada sesuatu yang masih menggantung di hati mereka bertiga.Sebuah pertanyaan yang belum sempat dijawab: apakah benar Reyza sudah pergi untuk selamanya?Sore itu, Arsen baru saja pulang dari luar kota karena urusan pekerjaan. Ia membuka pintu rumah dengan senyum lelah.Namun begitu masuk, ia mendapati Dinda duduk di meja ruang tamu sambil memandangi sebuah amplop cokelat besar.“Din?” panggil Arsen pela

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Surat dari Bayangan

    Pagi itu, udara terasa lebih ringan. Matahari menembus tirai jendela kamar, memantulkan cahaya lembut ke wajah Dinda yang baru saja terbangun.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bisa tidur tanpa mimpi buruk. Tak ada bayangan di jendela. Tak ada suara langkah di luar rumah.Hanya ketenangan… yang terasa aneh tapi menenangkan.Ia menoleh ke sisi tempat tidur. Arsen sudah tidak ada di sana, tapi aroma kopi dan roti panggang samar tercium dari dapur.Senyum tipis muncul di bibir Dinda.Mungkin begini rasanya memulai hari tanpa ketakutan.Ia berdiri, berjalan perlahan ke ruang tamu. Di atas meja, ada nampan berisi sarapan sederhana dan secarik kertas kecil bertuliskan tulisan tangan Arsen:“Pergi sebentar ke kantor polisi. Jangan keluar rumah. Aku balik sebelum jam sepuluh. Sarapan yang bener ya, Din.”Dinda menggeleng sambil tersenyum. “Selalu aja kayak gini,” gumamnya kecil, lalu duduk dan mulai makan.Namun senyum itu perlahan memudar ketika matanya menangkap sesuatu di dep

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Janji di Bawah Hujan

    Langit sore itu kelabu. Awan menggantung berat di atas langit kota, seperti menahan hujan yang siap turun kapan saja.Dinda berdiri di balkon kamar, menatap jauh ke arah jalan yang basah oleh gerimis tipis. Udara dingin menusuk kulit, tapi tidak seberapa dibanding rasa beku yang mengikat hatinya.Sudah dua hari sejak malam itu—sejak kebenaran tentang Reyza terbongkar.Dan sejak saat itu pula, Dinda merasa rumah ini bukan lagi tempat yang aman.Setiap sudutnya mengingatkan pada kebohongan, setiap bayangan seolah berbisik tentang masa lalu yang menolak pergi.Suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.“Din,” suara itu lembut namun ragu.Arsen.Dinda menoleh pelan. “Masuk aja.”Pintu terbuka, dan pria itu melangkah masuk. Wajahnya lelah, rambutnya berantakan, tapi sorot matanya tetap teduh seperti biasa—meski ada sesuatu yang disembunyikan di balik keteduhan itu.“Kamu belum makan apa-apa dari pagi,” katanya sambil mendekat.“Aku nggak lapar.”“Kamu nggak bisa terus begini.”Dinda

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Identitas yang Terungkap

    Pagi itu terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir. Langit masih kelabu, udara lembab, dan aroma hujan semalam masih menggantung di sekitar halaman rumah.Dinda duduk di ruang tamu, kedua tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah dingin. Tatapannya kosong menembus jendela, tapi pikirannya entah di mana.Arsen berdiri tak jauh darinya, masih mengenakan jaket hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Wajahnya keras, tapi sorot matanya menyimpan kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan.Sementara itu, Rayhan muncul dari arah dapur, membawa dua gelas air putih. Ia berjalan tenang, seolah tak terjadi apa-apa malam tadi.Namun setiap langkahnya terasa asing bagi Dinda—terlalu tenang, terlalu terkendali, seperti seseorang yang sedang berakting jadi dirinya sendiri.“Aku buatkan sarapan,” katanya sambil meletakkan gelas di meja. “Kamu belum makan sejak kemarin.”Dinda hanya mengangguk. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia masih mencoba mencerna kebenaran pahit yang Arsen ungkap sema

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status