Home / Rumah Tangga / Setelah Kamu Pilih Dia / Luka yang Masih Basah

Share

Luka yang Masih Basah

Author: Lina Astriani
last update Huling Na-update: 2025-06-18 11:58:54

Langit Jakarta masih mendung. Hujan semalam belum benar-benar mengering dari aspal, menyisakan genangan kecil di sepanjang jalanan kota. Udara pagi itu lembap dan dingin, membawa aroma tanah basah yang tajam—seperti mengingatkan seseorang pada kenangan yang belum juga usai.

Arsen terbangun dengan kepala berat. Bekas alkohol malam itu membuat tubuhnya terasa lemas dan otaknya berkabut. Ia mengerjapkan mata, menoleh perlahan ke sisi ranjangnya, seolah berharap melihat sosok Dinda tertidur di sana—membelakanginya, seperti biasa. Tapi bantal di sisi kiri kosong. Dingin. Selimutnya pun masih rapi, seakan tak pernah dipakai.

Ia tidak ada. Bahkan jejak kepergiannya pun terlalu sunyi untuk dirasakan.

Arsen terduduk pelan, menatap sekeliling apartemen yang terasa begitu asing pagi itu. Tak ada suara panci dari dapur, tak ada aroma kopi hitam khas Dinda yang biasa menyambutnya. Tak ada keluhan kecil tentang kaus kotor yang berserakan. Yang ada hanya denting detik dari jam dinding, menggema dalam keheningan yang menusuk.

Pandangan matanya akhirnya berhenti pada meja makan. Di sana, sebuah cangkir kopi hitam berdiri sendiri, uapnya sudah lama hilang, warnanya hitam pekat seperti suasana hatinya. Di sebelahnya, tergeletak sebuah amplop putih terbuka. Jantung Arsen langsung mencelos.

Dengan langkah pelan, ia mendekat, meraih kertas di dalam amplop itu. Ia sudah bisa menebak isinya bahkan sebelum membaca, tapi tetap saja matanya menyusuri baris demi baris tulisan tangan Dinda yang rapi, seperti ritual menyakiti diri sendiri.

Surat permohonan cerai.

Arsen memejamkan mata sesaat. Tapi saat matanya kembali terbuka, ia menatap satu kalimat di bagian akhir surat itu. Tulisan kecil, sederhana, tapi menghujam tanpa ampun.

“Terima kasih pernah memilih aku, meski akhirnya kamu memilih dia.”

Tangan Arsen meremas lembar itu tanpa sadar. Matanya panas. Jantungnya berdetak tak karuan. Mulutnya kering.

“Dinda…” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya. Mencari nama itu di daftar kontak, menekan tombol panggil. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tak satu pun diangkat.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama lain muncul di layar: Alya.

Arsen mematung sejenak. Perutnya terasa mual. Nama itu, sekali lagi, membawa beban lebih dari yang bisa ia tanggung. Dengan setengah hati, ia mengangkat panggilan.

Suara di seberang terdengar ketus. Alya bertanya keberadaannya, mengatakan sudah menunggu di kafe sejak tadi. Arsen mengusap wajahnya dengan lelah, menjawab bahwa ia tak bisa datang. Suaranya serak.

Alya langsung tahu arah percakapan itu. Ia menyebut nama Dinda, menuduh Arsen masih terjebak dalam hubungan yang belum selesai. Suaranya meninggi. Ia mengungkit komitmen yang tak pernah utuh. Dan seperti biasa, Arsen tak menjawab. Ia terlalu lelah untuk melawan, terlalu hancur untuk membela siapa pun.

“Gue cari Dinda dulu,” ucap Arsen akhirnya, pelan.

Alya tertawa pahit. “Dia tahu, Sen. Cewek kayak Dinda… nggak bakal ninggalin lo kalau bukan karena benar-benar lelah.”

Kata-kata itu terasa seperti belati.

Tanpa membalas lagi, Arsen memutuskan panggilan. Ia mengambil jaket, meraih kunci mobil, lalu keluar apartemen. Hujan tipis mulai turun kembali. Langit masih kelabu. Tapi kali ini, gerimis seolah mengantar kepergian seseorang yang baru menyadari betapa kosong hidupnya tanpa perempuan yang ia sia-siakan.

Di sebuah taman kecil di ujung perumahan pinggiran kota, Dinda duduk sendirian. Tangannya menggenggam payung biru robek yang kini telah pudar warnanya. Kainnya berlubang kecil di sana-sini, pinggirannya keriting dan lusuh. Payung itu saksi bisu atas begitu banyak hal—kebahagiaan sederhana, janji-janji hujan, dan cinta yang perlahan berubah menjadi luka.

Matanya masih sembap. Tapi bibirnya mengukir senyum tipis saat melihat anak kecil berlarian mengejar balon. Genangan air di depannya memantulkan langit yang mendung.

Ponselnya bergetar.

Nama Arsen muncul di layar.

Ia hanya menatapnya sejenak. Jari telunjuknya bergerak pelan, menyentuh ikon merah. Panggilan itu diputus. Satu helaan napas keluar dari mulutnya.

“Maaf, Sen… kali ini bukan aku yang nunggu.”

Langkah pelan terdengar mendekat. Seorang ibu paruh baya duduk di bangku sebelah, membawa kantong plastik belanja. Perempuan itu melirik Dinda dan tersenyum hangat, lalu berkata perlahan bahwa wajah seperti Dinda adalah wajah orang yang sedang patah hati.

Dinda tersenyum kecil, hanya mengangguk.

Perempuan itu melanjutkan dengan suara lembut, seperti hujan tipis di musim penghujan. Ia berkata, tak ada gunanya memaksa seseorang untuk tetap tinggal. Yang ingin pergi, akan pergi. Yang mencintai, akan bertahan. Kalimatnya sederhana, tapi justru itu yang paling menampar.

“Ibu ngerti dari mata kamu… kamu bukan orang yang gampang nyerah. Tapi kalau kamu terus nunggu yang nggak mau pulang, kamu capek sendiri, Nak.”

Dinda terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia hanya menatap jauh, ke arah genangan yang semakin lebar di depannya. Lalu perlahan menjawab, bahwa mungkin memang waktunya berhenti.

Ibu itu tersenyum, menepuk pelan bahu Dinda, lalu pamit pergi. “Hidup nggak nungguin kita sedih kok,” katanya sebelum berlalu.

Dinda menatap payung biru robek di pangkuannya. Dan seperti angin yang menyeret ingatan, kenangan itu datang berlarian—

Janji-janji manis yang diucapkan Arsen, malam-malam hujan di balkon kontrakan, kopi instan dan tawa kecil, pelukan hangat di bawah payung yang sama. Semua itu kini terasa seperti mimpi buruk yang nyaris indah.

Suara langkah tergesa mendekat.

“Dinda!”

Suara itu.

Dinda membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi tubuhnya tetap tenang. Arsen datang tergopoh-gopoh, wajahnya kusut dan basah oleh gerimis. Napasnya memburu.

“Jangan pergi kayak gini,” katanya lirih, hampir memohon.

Dinda berdiri perlahan. Ia tidak menoleh. Tangannya meraih koper kecil di sampingnya. Suaranya tenang saat berbicara, tanpa emosi berlebih.

Ia tidak pergi karena membenci, tapi karena lelah. Lelah berpura-pura baik-baik saja. Lelah menahan luka yang terus dibiarkan terbuka.

Arsen mencoba mendekat, memohon satu kesempatan lagi. Tapi Dinda hanya menatapnya, kali ini dengan mata yang jernih—bukan karena tak lagi mencintai, tapi karena sudah mencintai dirinya sendiri lebih dari sebelumnya.

“Aku sudah kasih terlalu banyak kesempatan. Sampai akhirnya aku kehilangan diriku sendiri.”

Kata-kata itu menampar Arsen keras. Ia terdiam, tak bisa menjawab. Tubuhnya gemetar. Air mata perlahan mengalir di pipinya, tak terbendung lagi.

Dinda meletakkan payung biru robek itu di bangku taman. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik, berjalan menjauh.

Hujan turun lebih deras.

Arsen meraih payung itu, menggenggamnya seperti seseorang yang mencoba memeluk masa lalu. Tangisnya pecah. Suara isaknya tenggelam dalam suara hujan.

“Maaf, Din…”

Tapi yang tersisa hanya suara air yang menetes dari langit.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Kehangatan yang Mulai Terganggu

    Hari-hari setelah arisan pertama berjalan begitu indah bagi Dinda. Ponselnya kini ramai notifikasi dari grup WhatsApp ibu-ibu komplek. Setiap hari ada saja obrolan—mulai dari resep sederhana, tips belanja hemat, sampai sekadar membagikan foto anak-anak mereka.Dinda merasa lebih hidup. Ia tak lagi merasa asing di lingkungan baru. Bahkan beberapa kali ia diajak mampir ke rumah tetangga, sekadar minum teh sambil mengobrol.Namun, tak semua berjalan semulus itu.Suatu sore, ketika Dinda sedang menyapu halaman, ia mendengar dua ibu yang lewat di depan rumahnya bercakap dengan suara agak pelan tapi cukup jelas terdengar.“Eh, itu Bu Dinda ya? Baru juga pindah, udah langsung deket banget sama Bu Wati sama Bu Ratna,” ucap salah satunya.“Iya, aku juga lihat. Cepet banget akrabnya. Jangan-jangan ada maunya,” timpal yang lain.Dinda terdiam, sapunya berhenti bergerak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tak menyangka akan mendengar komentar seperti itu.Malamnya, saat Rayhan pulang, Dinda menc

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Arisan Pertama Dinda

    Hari Minggu tiba, matahari pagi bersinar cerah. Sejak pagi, Dinda sudah bersiap dengan mengenakan gamis sederhana warna biru muda dan jilbab polos yang membuat wajahnya terlihat segar. Tangannya sempat gemetar saat menata hijabnya di depan cermin.“Han, aku grogi banget,” ucapnya sambil menatap Rayhan yang sedang menggendong bayi mereka.Rayhan tersenyum menenangkan. “Kenapa grogi? Kan cuma arisan. Santai aja, Din. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.”“Tapi ini pertama kali aku kumpul sama ibu-ibu komplek. Aku takut salah ngomong atau malah nggak nyambung,” jawab Dinda pelan.Rayhan mendekat, menepuk pelan bahu istrinya. “Kamu kan orangnya ramah. Aku yakin mereka bakal suka sama kamu. Lagian, Bu Ratna juga pasti nemenin.”Dinda menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Iya, semoga aja.”Tepat pukul sembilan, Bu Ratna datang menjemput. Ia tersenyum hangat saat melihat Dinda sudah siap. “Wah, cantik sekali, Bu Dinda. Ayok, jangan malu-malu. Semua ibu-ibu pasti senang kenal dengan tetang

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Kehangatan Tetangga Baru

    Pagi berikutnya, aroma masakan sederhana dari dapur tetangga mulai tercium. Suara ayam berkokok dan anak-anak berlarian membuat suasana perumahan terasa hidup. Dinda membuka pintu depan rumah, membiarkan udara segar masuk sambil menatap lingkungan sekitar.Di halaman sebelah, Bu Ratna sedang menyapu. Begitu melihat Dinda, ia melambaikan tangan. “Pagi, Bu Dinda! Sudah agak rapi rumahnya?”Dinda tersenyum hangat. “Alhamdulillah, Bu. Kemarin seharian beres-beres sama suami. Capek, tapi senang.”Tak lama kemudian, Bu Ratna menghampiri sambil membawa sepiring kue tradisional. “Ini saya bawain onde-onde sama risoles. Biar ada camilan pagi. Anggap aja ucapan selamat datang.”Dinda terharu menerima itu. “Ya Allah, terima kasih banyak, Bu. Jadi malu saya, baru pindah sudah dikasih begini.”“Ah, nggak usah sungkan. Di sini kita semua saling bantu. Kalau ada apa-apa, tinggal ketok rumah saya aja,” jawab Bu Ratna dengan ramah.Rayhan yang baru keluar rumah ikut menyapa. “Wah, terima kasih banyak,

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Awal Hari di Rumah Baru

    Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kecil rumah dinas, menyebarkan kehangatan ke seluruh ruangan. Dinda sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai dengan bayi yang masih setengah tertidur dalam gendongannya. Senyum lembut menghiasi wajahnya, meski tubuh terasa lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Rayhan keluar dari kamar dengan rambut masih berantakan. “Selamat pagi, Din,” ucapnya sambil menguap lebar. “Gimana tidurnya semalam? Nyaman nggak?”Dinda terkekeh. “Nyaman sih nggak, Han. Tapi aku bahagia. Rumah ini mungkin kecil dan sederhana, tapi rasanya hangat.”Rayhan menatap sekeliling rumah, lalu tersenyum tipis. “Hari ini kita mulai petualangan baru, ya. Bersih-bersih dulu biar makin nyaman.”Setelah sarapan sederhana dengan gorengan pemberian Bu Ratna dan secangkir teh hangat, mereka mulai mengeluarkan barang-barang dari kardus. Dinda mengatur perlengkapan bayi di pojok kamar, sementara Rayhan sibuk menyapu halaman belakang yang penuh rumput liar.Sesekali, Rayhan mengint

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Menapakkan Kaki di Kota Baru

    Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dinas sederhana di kawasan perumahan karyawan. Tidak besar, tapi cukup untuk memulai kehidupan baru. Cat temboknya berwarna putih pucat, dengan pagar kecil di depan yang masih kokoh meski terlihat agak tua.Dinda turun dari mobil sambil menggendong bayi. Ia menatap rumah itu lama, berusaha menanamkan perasaan bahwa inilah tempat yang akan menjadi saksi perjalanan mereka ke depan.“Gimana, Din?” tanya Rayhan sambil membuka bagasi. “Memang nggak mewah, tapi menurutku nyaman. Kita bisa pelan-pelan bikin lebih bagus.”Dinda tersenyum tipis. “Aku suka, Han. Yang penting kita bareng-bareng.”Mereka mulai menurunkan barang-barang. Meski tidak banyak, tetap saja membuat halaman depan tampak penuh. Rayhan mengangkat koper besar, sementara Dinda mengatur kardus berisi perlengkapan bayi.Seorang ibu tetangga yang rumahnya berdampingan datang menghampiri. “Baru pindah ya? Selamat datang, saya Bu Ratna.”Dinda membalas dengan ramah. “Iya, Bu. Ka

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Perjalanan Menuju Surabaya

    Pagi itu udara terasa berbeda. Lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati yang penuh perpisahan. Ayam jantan baru saja berkokok ketika Dinda terbangun lebih awal. Ia memandangi bayi kecilnya yang masih terlelap, lalu menundukkan kepala, mencium keningnya dengan penuh cinta.Rayhan sudah sibuk di luar, memasukkan koper dan kardus ke dalam mobil yang akan membawa mereka menuju Surabaya. Suara pintu mobil dibuka-tutup terdengar berulang kali, menandakan betapa banyaknya barang yang harus dibawa.“Han, ini termos sama kotak susu jangan lupa,” ujar Dinda sambil keluar rumah dengan tangan penuh bawaan kecil.Rayhan menerima dan menaruhnya di kursi belakang. “Udah siap semua, tinggal kamu sama dedeknya aja yang belum masuk mobil.”Saat itu, beberapa tetangga kembali berdatangan. Meski sudah pamitan semalam, mereka masih ingin mengantar sampai di depan rumah. Ada yang membawa sarapan sederhana—nasi bungkus, roti, hingga air minum—untuk bekal di perjalanan.“Biar nggak ribet di ja

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status