Langkah Baru yang Ragu
Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat Dinda melangkah ke kantor. Wajahnya terlihat tenang, tapi langkahnya masih membawa jejak kehati-hatian. Setiap orang yang menyapanya ia balas dengan senyuman tipis, dengan sopan.
Di dalam lift, ia sempat menatap pantulan wajahnya di dinding logam. Ada kantung mata yang belum sempat tertutupi concealer, dan ada sorot sendu yang belum benar-benar pergi.
Tapi di balik itu, ada satu hal yang berbeda: ia tak lagi sembunyi dari dirinya sendiri.
Hari itu, Dinda mulai mengerjakan proposal baru yang diberikan oleh atasannya. Tangannya bergerak lambat di atas keyboard, tapi otaknya berusaha tetap fokus. Satu demi satu, rutinitas mulai dijalani kembali. Setidaknya, hari ini ia tak ingin hanya duduk di pantry, diam, dan menangisi masa lalu yang sudah tak bisa dijangkau.
Saat makan siang, Rayhan datang menghampiri meja kerjanya.
“Din, makan bareng, yuk?”
Dinda menoleh, sedikit tersenyum. “Kantin aja, ya? Aku lagi ngg