Perpisahan Tanpa Ucapan
Dinda masih duduk mematung di pojok pantry kantor. Cangkir kopi di tangannya sudah tak lagi hangat, tapi tak ada niat untuk menyesapnya. Di luar kaca jendela kecil, matahari bersinar terik menyorot gedung-gedung tinggi Jakarta, tapi tak satu pun dari itu bisa menghangatkan dada yang sedang kosong.
Pikirannya masih tertahan di lorong rumah sakit beberapa malam lalu. Bau disinfektan, lampu redup, dan suara mesin monitor yang monoton… semuanya masih membekas seperti ukiran di dinding kenangan.
Saat itu, ia berpikir perpisahan sudah usai. Bahwa dengan mengucapkan “selamat tinggal”, semuanya akan lebih mudah. Tapi ternyata tidak. Tidak saat kabar duka datang, tiba-tiba dan mengguncang tanpa aba-aba.
Langkah kaki perlahan mendekat, membawa suara familiar yang terasa seperti penyeimbang di tengah badai.
“Din…” suara Rayhan lembut, nyaris seperti bisikan.
Dinda hanya menoleh sekilas. Tak ada kata, hanya lirih gerakan kepala. Rayhan duduk di kursi seberangnya tanpa bany