Bus malam melaju perlahan di atas aspal yang licin, meninggalkan jejak cahaya dan suara roda yang mendesis oleh air hujan. Dinda menatap kosong ke luar jendela. Butiran air mengalir membentuk pola tak tentu di kaca, seolah menggambarkan pikirannya yang sama-sama kusut dan tak jelas arah.
Ponselnya masih tergenggam di tangan, layar menyala memunculkan satu notifikasi:
“Kondisi pasien atas nama Arsen Wibowo masih kritis. Mohon keluarga segera hadir untuk keputusan medis lanjutan.”
Tangannya gemetar. Pesan itu seperti tamparan lain yang datang di antara gelombang rasa yang belum juga reda. Dinda memejamkan mata, mencoba menahan napas panjang yang beratnya tak bisa diukur.
Benar nggak sih aku ke sini? Apa aku nggak terlalu bodoh datang buat seseorang yang dulu pergi tanpa menoleh?
Namun suara lain di dalam hatinya tak membiarkan ia lari.
“Dia pernah jadi rumahmu, Din. Dan rumah yang hancur pun kadang tetap perlu kau tengok… untuk benar-benar bisa pergi.”
Ia menunduk, menatap jemarinya yan