Pagi itu, Dinda terbangun lebih awal dari biasanya.
Sinar matahari menembus celah tirai tipis kamarnya, jatuh lembut di sisi ranjang. Tapi alih-alih menenangkan, cahaya pagi itu justru membawa kegelisahan yang mengendap sejak semalam. Matanya terbuka, tapi pikirannya masih tertinggal entah di mana — mungkin di masa lalu, mungkin di titik yang belum berani ia hadapi.
Dengan enggan, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Beberapa notifikasi tak penting ia abaikan, sampai matanya menangkap satu pesan yang membuat dadanya langsung sesak.
Intan.
“Din, maaf aku baru kabarin. Aku ketemu Arsen kemarin di Semarang. Kondisinya… nggak baik. Dia drop parah. Dia minta maaf sama kamu. Dia bilang nggak tahu harus hidup kayak apa tanpa kamu.”
Tangannya reflek gemetar. Nama itu kembali datang — seperti tamu tak diundang yang menolak pergi meski sudah diminta berkali-kali.
Padahal baru tadi malam ia berusaha menata diri. Ia menulis jurnal, berniat membuka hati untuk Rayhan, dan meyakinkan diri