Aku tahu, Aslan bukan tipe lelaki yang mudah menyerah. Sekali ia gagal, ia akan mencari jalan lain, meski harus menabrak batas yang kusebut privasi. Ia bukan pria yang paham arti mundur. Justru, semakin aku menutup pintu, semakin keras ia mengetuk.
Langit di luar jendela pesawat berwarna kelam. Malam sudah merayap sempurna. Di balik kaca kecil itu, hanya kelap-kelip samar lampu sayap yang menemani perjalanan panjang kami menuju Paris. Detik berjalan lambat. Suasana kabin yang sunyi seperti mengurungku dalam perang batin yang tak berujung.
Di antara ribuan pertanyaan yang menyesaki kepalaku, ada satu yang berbisik paling lantang di dalam hati:
Apa istri Aslan tidak ikut dengannya? Apakah dia tidak cemburu? Tidak marah?
Karena saat aku melintasi bilik kursinya tadi, aku tidak melihat bayangan wanita itu. Tidak ada tanda-tanda perempuan yang selama ini kudengar telah menjadi pendamping hidupnya. Kosong. Hanya dia dan kesunyian yang menggantung di bangku sebelahnya.
Baru saja aku hendak me