Cari
Pustaka
Beranda / Romansa / TERJERAT CINTA BOS DUDA / Mie Instan Mahal

Mie Instan Mahal

Penulis: Ai Ueo
2025-02-07 14:12:03

"Siapa?" tanya temanku.

"Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam.

"Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.

Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.

Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya.

"Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.

Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya.

"Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil.

"Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli.

"Tadi pacar kamu? Harusnya kamu tidak mengajak anakku untuk berkencan, dia masih kecil dan polos. Apa jadinya nanti kalau dia ikut-ikutan pacaran gara-gara kamu!" ujar pak Yogi.

"Pak...." Belum sempat aku berucap, pak Yogi sudah memotongnya.

"Lagian kamu harusnya cari pacar yang dewasa, kulihat lelaki tadi masih terlalu muda untuk menikah. Bagaimana kalau nanti kalian ada masalah dan tidak bisa menyelesaikan karena sama-sama emosi dan tidak ada yang mengalah?"

"Bapak lagi patah hati?" tebakku, karena dari tadi pak Yogi tidak berhenti mengomel.

"Hah! maksudnya gimana?"

"Bapak dari tadi marah-marah terus, padahal saya nggak merasa punya salah sama bapak. Lagian itu tadi temen semasa saya sekolah, pak. Dia juga sudah punya istri dan anak, nggak mungkin saya pacaran sama dia," jelasku.

Entah mengapa, aku melihat raut pak Yogi berubah cerah. Dasar bos nggak jelas.

"Kenapa nggak jelasin dari tadi?" Terdengar nada suara pak Yogi merendah.

"Dari tadi bapak potong terus pas saya mau jelasin. Kalau lagi marah sama orang lain mending selesein deh, pak, jangan marah-marah sama orang lain!" sungutku. Emang dia kira cuma bos yang bisa marah.

"Kamu tau kenapa ada perempuan yang tidak peka?"

"Hah," apa maksudnya? Keluar lagi pertanyaan nggak jelas dari pak duda ini.

"Kenapa ada perempuan yang nggak peka di dunia ini, padahal biasanya lelaki yang selalu disalahkan karena tidak peka."

"Ada dua alasan. Yang pertama karena sudah sering disakiti, akhirnya dia memilih menutup hati dari orang lain. Yang kedua, mungkin memang sikap dia begitu. Sebenarnya banyak kok perempuan yang tidak peka, tapi memang umumnya laki-laki yang nggak peka. Kenapa pak? Wanita yang bapak suka nggak peka?"

"Kamu! Kamu yang nggak peka, kenapa?"

"Kok saya?" Nggak peka soal apa? Marah kok bersambung. Dasar aneh!

"Sudahlah. Kamu masuk aja, saya pusing," usir pak Yogi.

Aku memilih masuk ke kamar, malas meladeni orang yang sedang emosi. Lebih baik istirahat di depan kipas dan melihat-lihat postingan di aplikasi hijau dan biru.

Tidak sadar aku sudah tertidur, saat bangun kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Perut sudah mulai keroncongan ingin diisi. Gegas aku ke dapur untuk membuat mi rebus, di beri sawi dan cabe rawit pasti lebih enak.

Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga mi kuah dan jus tomat sudah siap di santap, makan di depan mungkin lebih mantap sambil melihat ke depan, siapa tahu ada cowok ganteng lewat.

Baru saja membuka pintu aku sudah dikejutkan dengan penampakan yang mengenaskan. Di kursi depan kamarku terdapat sesosok lelaki yang tengah tertidur pulas, posisinya masih duduk di kursi dengan lengan menutupi mata. Aku kira sudah pulang.

Karena sudah terlanjur keluar, aku memutuskan menaruh mangkuk mi dan segelas jus tomat dengan pelan agar orang yang tengah tertidur itu tidak bangun.

"Enak makannya?"

Hampir aku tersedak saat mendengar ucapan pak Yogi, beliau masih menutup matanya, tapi kenapa bisa tahu kalau aku sedang makan?

"Bapak kok tau kalau saya lagi makan?" Aku kira akan aman, padahal tinggal setengah lagi habis.

"Baunya nusuk hidung."

"Aku kira bapak sudah pulang, ngapain masih di sini. Ini sudah siang loh, pak. Nggak baik main ke rumah orang jam segini, yang punya rumah mau tidur siang," jelasku pada tamu yang tidak tahu waktu ini.

"Kamu aja udah bangun tidur." Pak Yogi membuka tangan yang menutupi wajahnya, ia lalu menegakkan tubuhnya.

"Pak, itu mi saya. Lagian itu tinggal setengah," ujarku, tidak rela rasanya mi yang tinggal setengah diambil pak bos.

"Bikin lagi, bikin dua sekalian. Masak kamu makan sendiri, tamu nggak ditawarin."

Aku menghela nafas kasar. "Mi di laci tinggal lima, itu stok sampai akhir bulan. Saya harus berhemat, pak. Gajian masih lima hari lagi. Kalau nanti saya kelaparan, bapak mau tanggung jawab?" Kesal rasanya menghadapi tamu yang tidak tahu diri.

"Tadi pagi aku kasih uang lima ratus ribu masak bikinin mi satu aja masih bikin kamu kelaparan? Nih aku kasih lagi, sana bikinin mi yang kayak gini," pak Yogi menyerahkan uang lima puluh ribu.

Senyumku terbit, dengan gembira aku masuk ke dalam kamar untuk membuatkan mi kuah spesial untuk pak bos seharga lima puluh ribu. Kalau ada yang bilang aku matre, biarlah. Uang lima ratus ribu yang kuterima tadi pagi akan kuberikan pada ibuku untuk menambah dagangan di warungnya, karena terakhir pulang bulan lalu kulihat warung ibu semakin sedikit barang yang dijual. Bisa jadi ibu kekurangan modal karena masih harus membiayai adikku yang paling kecil.

Dengan penuh percaya diri kubawa mi buatanku pada pak bos. Rasanya pasti sangat enak karena kubuat dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Bagaimana tidak, di mana lagi aku bisa menjual mi kuah seharga lima puluh ribu untuk satu porsi?

"Enak nggak nih?" Pak Yogi mengaduk mi yang baru kuserahkan padanya.

"Pastilah, coba aja." Aku duduk kembali untuk menikmati jus tomat yang sudah mulai hilang esnya.

"Enak juga, kamu bakat masak kayaknya."

Ucapan pak Yogi membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa, hampir saja jus dalam mulutku tersembur keluar.

"Kenapa ketawa? Apanya yang lucu."

"Itu mi instan, pak. Anak kecil juga bisa bikin kayak gitu dan rasanya pasti sama," jelasku di sela tawa yang masih berderai. Saking kayanya, mungkin pak bos belum pernah memakan mi instan.

"Sudah cocok jadi istri kayaknya," ujarnya.

"Papi. Lagi makan apa?" Belum sempat aku menjawab ucapan pak Yogi, Arya sudah datang menghampiri kami.

"Mi instan buatan mbak Linda."

"Mau, Pi. Boleh kan? Kayaknya enak banget," pinta Arya.

Senyumku tidak bisa ditahan. Semoga saja boleh, karena aku sudah terbayang untuk mendapat lima puluh ribu lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi