Di dalam sel yang sunyi, hanya ada suara detak jam dinding tua yang menggema di lorong. Elisha duduk di sudut ranjang sempitnya, punggungnya bersandar pada dinding dingin yang mulai retak. Cahaya lampu redup di luar sel menyinari sebagian wajahnya, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang semakin jelas.
Di pangkuannya, sebuah buku catatan lusuh terbuka. Tangannya yang kurus memegang pena dengan erat, menuliskan kata-kata dengan penuh emosi. Sudah berbulan-bulan—atau mungkin bertahun-tahun—ia mengisi halaman-halaman itu dengan harapan dan impian yang terus ia pertahankan dalam hatinya.
Namun, dari semua hal yang ia tulis, hanya satu hal yang paling memenuhi pikirannya.
Qila.
Putri kecilnya.
Elisha menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak keluar dari dadanya. Ia menuliskan namanya berkali-kali di halaman itu, seolah dengan begitu, ia bisa membawa Qila lebih dekat ke dalam dekapannya.
"Aku ingin melihat Qila. Aku ingin memeluknya. Aku ingin mendengar suaranya memanggi