Empat Tahun Berlalu …
Bintang mengumpat pelan di kala melihat antrean busway sangat padat. Sialnya dia bangun terlambat, sehingga ketika tiba di halte sudah menyaksikan banyak sekali lautan manusia. Tampak embusan napas kasar lolos di bibir wanita cantik itu. Bintang tak memiliki pilihan lain, dia terpaksa menggunakan taksi. Hari ini adalah hari pertama bintang bekerja. Dia tak ingin sampai terlambat di kantor. Mendapatkan pekerjaan di Jakarta bukan hal yang mudah. Menganggur cukup lama, akhirnya Bintang bisa diterima di sebuah perusahaan ternama. “Bintang Dilara, Anda tahu jam berapa ini?!” seorang wanita cantik bernama Lina, yang merupakan HRD Manager memberikan teguran cukup keras pada Bintang yang baru saja tiba di kantor. Bintang sedikit panik. “I-iya, Bu Lina. Saya Bintang Dilara. M-maaf saya terlambat.” Bintang sudah naik taksi, tapi sialnya jalanan di kota Jakarta tetap macet. Hal tersebut yang membuat Bintang tiba di kantornya terlambat. Letak kantor di Jakarta Selatan, sudah tak lagi terkejut jika dipadati oleh banyaknya orang. Lina berdecak tak suka. “Kamu terlambat sepuluh menit! Ini adalah hari pertamamu, tapi kamu malah menunjukkan kamu tidak tertib!” Bintang menundukkan kepalanya, merasa bersalah. Wanita cantik itu tak menampik bahwa memang tindakannya sangat salah. Hari pertama bekerja harusnya, dia datang tepat waktu. Akan tetapi, karena kecerobohannya membuatnya datang terlambat. “Maafkan saya, Bu. Saya janji ke depannya, saya tidak akan terlambat,” ucap Bintang penuh sesal. Lina mengembuskan napas kasar. “Hari ini anak Pak Galih kembali dari New York. Anak Pak Galih yang akan memegang kendali Gunaraya Group. Harusnya kamu menjadi sekretaris Pak Galih, tapi karena anaknya yang memegang kendali, jadi kamu yang menjadi sekretaris anak Pak Galih. Hari ini kamu saya maafkan, tapi lain kali saya nggak akan maafin kamu. Saya nggak suka orang-orang yang nggak bisa hargain waktu. Satu lagi, anak Pak Galih terkenal nggak suka sama orang lambat atau nggak patuh. Jadi, tolong kalau kamu benar-benar mau bekerja di sini, jangan pernah membuat masalah.” Bintang mengangguk patuh. “Baik, Bu. Terima kasih banyak.” “Ikut saya. Saya akan antar kamu ke meja kerja kamu,” ucap Lina dingin, meminta Bintang untuk ikut dengannya. Bintang kembali mengangguk patuh, lalu melangkah sedikit terburu-buru mengikuti Lina. Sesekali, dia melihat ke sekeliling—menatap betapa besarnya Gunaraya Group. Sungguh, Bintang sangat bersyukur bisa bekerja di perusahaan besar. Menganggur lama, tapi akhirnya dia mendapatkan sebuah keajaiban yang tak terhingga. “Kursi meja kerja kamu ada di depan ruangan Pak Galih. Tapi, mulai hari ini anak Pak Galih yang akan gantiin beliau. Sekitar lima belas menit lagi, kita semua wajib ke lobi nyambut anak Pak Galih. Kamu paham?” Lina mengatakan kalimat tegas. “Baik, Bu. Saya paham. Terima kasih,” jawab Bintang sopan. “Di atas meja, ada beberapa pekerjaan sekretaris lama Pak Galih. Kamu periksa dan pelajari dengan baik. Saya harus kembali ke ruangan saya,” ucap Lina dingin. “Baik, Bu,” jawab Bintang lagi patuh. Lina membalikkan badannya, dan langsung melangkah meninggalkan Bintang. Embusan napas lega lolos di bibir Bintang. Paling tidak, dia sudah tak bersama dengan Lina lagi. HRD memang terkenal sangat galak dan tegas. “Kursi kerja yang nyaman.” Bintang duduk di kursi kerjanya, mulai mempelajari pekerjaan dari sekretaris lama. Tampak raut wajahnya sangat serius melihat berkas yang ada di hadapannya. Saat Bintang sedang fokus mempelajari berkas yang ada di tangannya, tatapannya tak sengaja melihat jam pasir yang ada di sisi kiri. Dia mengambil jam pasir itu, dan mulai terdiam di kala mengingat seseorang yang menyukai jam pasir. “Sekretaris lama Pak Galih ternyata menyukai jam pasir,” gumam Bintang pelan, seraya melukiskan senyumannya, di kala mengingat sosok yang dia rindukan. Sosok itu hanya dikenang, dan tidak akan pernah dia ingin temui lagi. “Come on, Bintang. Kamu ini pikirin apa sih?” gumam Bintang lagi yang langsung menepis pikirannya. Detik selanjutnya, dia kembali fokus mempelajari berkas yang ada di tangannya. “Bintang … kamu Bintang, kan?” seorang wanita cantik berambut hitam, melangkah menghampiri. Bintang mendongak ke atas, menatap wanita berambut hitam itu. “Ya, saya Bintang. Maaf, kamu?” Wanita cantik itu mengulurkan tangannya ke hadapan Bintang. “Jangan formal. Aku Wilona, bagian keuangan di Gunaraya Group.” Bintang menyambut uluran tangan Wilona. “Hai, Wilona. Aku Bintang. Senang berkenalan denganmu.” “Aku juga senang berkenalan denganmu, Bintang.” Wilona tersenyum hangat, seraya melirik arloji yang ada di pergelangan tangannya. “Bintang, aku rasa sudah waktunya kita ke lobi. Kita harus menyambut anak Pak Galih.” Bintang mengangguk, lalu meletakan berkas di tangannya ke atas meja, dan melangkah bersama dengan Wilona menuju lift. Mereka turun ke lobi untuk menyambut anak dari bos besar di Gunaraya Group. Karyawan Gunaraya Group sudah penuh di lobi. Bintang berdiri di samping Wilona. Tampak banyak karyawan yang gugup. Pun sebenarnya Bintang jauh lebih gugup, karena dia yang akan menjadi sekretaris dari anak bos besar Gunaraya Group. “Bintang, berapa usiamu?” tanya Wilona ingin tahu. “24 tahun. Kamu berapa?” balas Bintang bertanya. “Aku 25 tahun. Aku dengar anak Pak Galih usianya sama denganku.” “Masih muda.” “Iya, Bintang. Masih muda. Dia lulusan master degree di universitas ternama di New York.” Bintang manggut-manggut. “Anak orang kaya, jadi wajar saja kalau lulusan luar negeri. Aku yang hanya sarjana saja sudah sangat bersyukur.” Wilona sedikit terkekeh. “Trust me, aku lulus sarjana dengan nilai yang nggak terlalu memuaskan, tapi Nasibku beruntung bisa masuk perusahaan besar.” Bintang tersenyum lembut. “Artinya kamu memiliki kecerdasan berbeda, di luar bidang akademikmu, Wilona.” Wilona juga tersenyum. “Kamu benar, Bintang. Aku yakin kamu juga pasti sangat istimewa, sampai bisa diterima sebagai sekretaris anak Pak Galih.” “Lebih tepatnya, aku sudah banyak mengalami kesulitan, jadi Tuhan pasti akan memberikanku hadiah indah,” jawab Bintang hangat. Wilona hendak bertanya, tapi tatapan semua orang di sana tertuju pada sosok pria berpostur tinggi, tegap, gagah, dan tampan masuk ke dalam lobi. Aura wajah arogan terpancar pada sosok pria tampan yang baru saja datang. Semua orang di sana menundukkan kepala, dan hanya Bintang yang mendongak menatap sosok pria tampan yang baru saja tiba. Namun, seketika tubuh Bintang membeku di kala wajah pria itu semakin terlihat jelas. Tubuh Bintang nyaris ambruk, seperti bumi berhenti pada porosnya, wanita itu tak sanggup lagi untuk berdiri. Berkali-kali dia menggelengkan kepalanya tegas, meyakinkan bahwa apa yang dia lihat ini adalah salah. Akan tetapi, meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, tak mungkin Bintang melupakan wajah yang selalu ingin dia pandang setiap detik. “B-Bara?”