“Jika mencintaimu terlalu berat, maka melepaskanmu adalah pilihan terbaik.” Bara hanya mencintai Bintang, begitupun sebaliknya Bintang hanya mencintai Bara. Namun, sayangnya kisah cinta mereka tak sesederhana itu. Ada jurang yang menghalangi dua insan yang saling mencintai. Mereka bagaikan dua samudera yang tak akan mungkin bisa dipersatukan. Bintang menyerah, dan Bara memperjuangkan. Seakan cinta tak setara, tapi faktanya cinta mereka sangat besar. Hanya saja banyak orang di sekeliling mereka yang berusaha memisahkan. Badai selalu menerpa, membuat cinta mereka goyah. Kisah ini harusnya sudah usai bagi Bintang, tapi tidak bagi Bara.
View MoreBara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah
“Mama!” Bima yang ada digendongan Galih memekik terkejut melihat Bara berhasil keluar dari gudang seraya menggendong Bintang. Bocah laki-laki itu gembira, tetapi seketika kegembirannya lenyap melihat ibunya bersimbah darah. “Mama, kenapa?” Tangis Bima pecah melihat Bintang tak sadarkan diri. Apalagi banyak darah di tubuh Bintang, membuat bocah laki-laki itu dilanda ketakutan hebat. Bara semakin dekat, dan petugas medis segera membantu Bintang berbaring di brankar. Pun detik itu Galih yang menggendong Bima, mendekat menghampiri Bintang. “Pak, kita harus bawa pasien ke rumah sakit. Luka yang diderita pasien cukup berat,” kata sang petugas medis pada Bara. “Mama! Mama bangun!” Bima meraung meminta Bintang untuk segera membuka mata. “Bima, mamamu baik-baik saja,” ucap Galih menenangkan cucunya. Bima menangis keras. “Mama nggak buka mata. Mama sakit. Mama banyak keluarin darah. Bima nggak mau kehilangan Mama.” Bara meneteskan air mata melihat Bima menangis. Pria itu benar-benar mera
“Mama! Mama! Papa! Papa! Bima takut,” teriak Bima menangis di kala api memenuhi ruangan di mana bocah laki-laki itu. Dia menangis kencang, dan membuat Nadia yang masih berada di sana tertawa melihatnya menangis. “Kematian akan segera datang menjemputmu, Anak Sialan!” Nadia menyeringai di sela-sela tawanya. Dia melirik sekilas api semakin membesar, membuat dirinya puas, karena rencananya sebentar lagi akan berhasil. Bima menyeka air mata dan terbatuk. “Nenek lampir! Wanita jahat! Papa dan Mama akan datang jemput Bima! Lihat saja!” Nadia terus tertawa sinis. “Kamu sebentar lagi akan mati, Bodoh! Papamu ataupun Mamamu nggak akan bisa nyelametin kamu!” “Selama aku masih hidup di dunia ini, tidak akan pernah aku biarkan siapa pun melukai cucuku!” gelegar Galih memasuki ruangan yang sudah terbakar. Asap mengepul membuatnya cukup sesak, tapi dia menguatkan diri demi menyelamatkan cucunya. Nadia mengalihkan pandangannya, terkejut melihat Galih. “O-om Galih?” “Grandpa! Grandpa datang pas
Bintang terbatuk-batuk di kala asap yang timbul dari api semakin menyeruak. Napasnya mulai terengah-engah menunjukkan dirinya hampir kehabisan napas. Dia mencoba sekuat mungkin untuk berontak, tetapi Della semakin menjambaknya dengan keras. “Kamu harus mati, Bintang! Aku nggak akan biarin Bara dapetin wanita rendah seperti kamu!” seru Della menggebu-gebu. Kemarahan di dalam diri wanita paruh baya itu, membuatnya menahan asap yang mulai masuk ke tenggorokan. Dia ingin menyiksa Bintang sebelum tubuh Bintang hangus terbakar. Bintang terus terbatuk-batuk di kala asap semakin menusuknya. “K-kamu pikir Bara hanya akan diam saja? Kamu salah besar! Bara akan datang menyelamatkanku dan Bima. A-aku tahu kejahatan nggak akan pernah menang!” jawabnya susah payah. Della tampak emosi mendengar jawaban dari Bintang. Detik itu juga, wanita paruh baya itu menyeret Bintang keluar dari ruangan, membawa Bintang ke pinggir tangga. Posisi ruangan Bintang berada di lantai dua, membuat ide muncul di kepal
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi semakin melanda dirinya di kala Bintang tak menjawab panggilan teleponnya. Berkali-kali dia mencoba menghubungi Bintang, tapi hasilnya nihil. Wanita itu tak kunjung menjawab, dan entah ke mana. Padahal dijam seperti ini Bintang masih ada di kantor. Bara memutuskan menghubungi Lina. Tidak ada jalan lain selain meminta Lina untuk menemui Bintang. Dia masih dalam perjalanan, membutuhkan waktu untuk bertemu dengan Bintang. Sementara pikirannya benar-benar sedang kacau. “Selamat sore, Pak Bara,” sapa Lina lebih dulu dari seberang sana. “Lina, tolong kamu lihat Bintang di mejanya. Saya ingin bicara sama Bintang, tapi dia tidak menjawab telepon saya!” jawab Bara tegas, dan menekankan. “B-baik, Pak. Saya akan ke meja Bintang,” balas Lina gugup, dan terdengar berjalan cepat, sesuai perintah Bintang. Beberapa menit berlalu … “Pak, Bintang tidak ada di meja kerjanya,” lapor Lina dari seberang sana. Kening Bara mengerut dalam. “Tidak ad
Bara melangkah keluar meninggalkan restoran, dan menuju halaman parkir. Pria tampan itu baru saja bertemu dengan teman lamanya. Tepat di kala dirinya sudah di dekat mobilnya, dia segera masuk ke dalam mobil, dan bemaksud menghidupkan mesin mobil. Namun, belum sampai dia menghidupkan mesin mobil, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel masuk. Bara mengalihkan pandangannya, menatap ke layar tertera nomor Andi. Keningnya mengerut melihat asistennya menghubunginya. Padahal asistennya itu tahu jadwalnya, dan dia juga akan segera kembali ke kantor, tapi jika asistennya sudah menghubunginya, maka pasti ada hal penting yang ingin asistennya itu katakan. Detik itu, tanpa menunda dia menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. “Ada apa, Andi?” tanya Bara kala panggilan terhubung. “Pak! Kita ada masalah!” seru Andi panik dari seberang sana. Bara tampak bingung. “Masalah apa yang kamu maksud, Andi?” “Pak, saya baru saja mendapatkan laporan sopir yang menjemput Bima dicelakai orang,” jawa
Bintang berkutat di MacBook, fokus pada laporan yang sedang dia buat. Wanita cantik itu ingin cepat dalam menyelesaikan laporannya. Itu yang membuatnya fokus, dan tak memikirkan apa pun. Meski dia bekerja di perusahaan milik Bara, tetap saja dia harus bertanggung jawab. “Ah, lelah sekali,” gumam Bintang seraya merenggangkan kedua tangannya. Bintang melirik jam yang ada di atas nakas, menatap waktu menunjukkan pukul dua siang. Dia yakin putranya sudah pulang, karena sebelum Bara pergi pria itu mengatakan akan meminta sopir untuk menjemput Bima. “Aku telepon Mbok Inem saja,” gumam Bintang lagi di kala memiliki ide untuk menghubungi pelayannya. Detik itu juga, dia meraih ponselnya yang ada di atas meja, dan bermaksud mencari nomor Mbok Inem di kontak ponselnya, tetapi belum juga dia menemukan nomor Mbok Inem, dia mendapatkan panggilan telepon dari nomor yang tak dikenal. Bintang mengerutkan keningnya, menatap bingung nomor telepon yang tak dikenal menghubunginya. Dia memutuskan menol
Bintang tampak sibuk memeriksa laporan yang akan dia berikan pada Bara. Wanta cantik itu bermaksud ingin menyelesaikan laporan tadi pagi, tetapi karena mengantar Bima membuatnya jadi sedikit terlambat dalam menyelesaikan laporan. Namun, dia tak menyesal akan hal itu. Sebab baginya kebahagiaan Bima adalah yang utama. “Bintang,” panggil Wilona seraya melangkah terburu-buru, menghampiri Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya, menatap Wilona yang menghampirinya sambil membawa tas. “Kamu mau ke mana, Wilona?” tanyanya penasaran ingin tahu. Wilona mendesah panjang, tampak sedih. “Bintang, hari ini aku izin pulang cepat. Ada keluarga dari papaku yang meninggal. Aku duluan, ya?” Bintang terkejut. “Ya Tuhan! Aku turut berduka, Wilona.” Wilona tersenyum. “Makasih, Bintang. Aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan, Wilona. Salamkan untuk keluargamu,” kata Bintang yang turut prihatin. Wilona mengangguk, dan tetap tersenyum. “Terima kasih. Salamkan aku untuk Bima. Tadi, rencananya aku ingin
“Papa datang! Yeay, Papa datang!” Bima melompat-lompat riang gembira melihat Bara datang. Tampak jelas bocah laki-laki itu menunjukkan kebahagiaannya. Detik itu juga, dia langsung menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan Bara. Bara tersenyum, mendapatkan pelukan dari putra kecilnya. Pria tampan itu tidak hanya tersenyum biasa, tetapi juga menatap hangat putra kecilnya yang begitu terlihat menantikan kedatangannya. “Bagaimana harimu, Boy?” tanya Bara yang kini sudah menggendong Bima. Pria itu menghujani putranya dengan kecupan bertubi-tubi—akibat gemas pada putra kecilnya itu. Bima terkikik geli di kala mendapatkan kecupan bertubi-tubi dari Bara. “Bima baik, Papa. Tadi baru aja Bima cerita ke Mbok Inem, kalau Bima kangen sekali sama Mama dan Papa. Sekarang Bima lihat Mama pulang sama Papa. Bima senang sekali.” Bara membelai rambut Bima, memeluk putranya dengan penuh kasih sayang. “Bima suka kalau Papa ke sini setiap hari?” tanyanya hangat. Bima menatap Bara dengan riang. “Bima maun
“Aku mau putus.” Kata-kata yang lolos di bibir gadis cantik bernama Bintang, membuat Bara yang duduk di hadapannya sontak terkejut. Tampak aura wajah Bara menunjukkan emosi yang tak bisa tertahan. Sorot menajam yang tercipta di mata Bara, tak membuat Bintang takut sedikit pun. “Aku lagi nggak suka becanda, Bi. Jangan ngomong hal-hal konyol,” jawab Bara menekankan, tak suka diajak bercanda oleh kekasihnya itu. Bintang bangkit berdiri. “Aku nggak bercanda, Bara. Aku udah bosen sama kamu. Aku mau kita putus.” Bintang hendak pergi, tapi Bara menahan lengan Bintang. “Nggak usah main-main bisa nggak sih? Aku lagi capek!” Bintang menepis kasar tangan Bara, berusaha kuat menahan air mata yang nyaris tumpah. “Aku udah bosen sama kamu. Kamu nggak lebih baik dari Mario. Aku capek sama kamu yang selalu naik motor. Sementara Mario punya mobil bagus. Aku capek sama kamu diajak makan di pinggir jalan, sedangkan Mario selalu bawa aku ke restoran mahal. Aku capek sama kamu yang kasih kado boneka,...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments