"Cantik... Apa kamu masih ingat di mana rumahmu?"
Aku bertanya lirih pada Qiara, suara mesin mobil menjadi latar belakang percakapan kami. Matahari sore mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang menyinari wajahnya yang terlihat begitu ceria.Bayangan Agus kembali menghantui pikiranku. Mengetahui alamat rumahnya akan memudahkan untukku membuat perhitungan. Dan mungkin, Qiara bisa mengingat jalan menuju rumahnya."Lumah??" Qiara menatapku bingung."Iya. Rumah Ayahmu, Cantik. Rumah Ayah Agus," jelasku lebih detail, supaya dia paham maksudku."Oh, di jalan Cempaka Putih, Om. Tapi... Qiala nggak mau ke sana! Qiala nggak mau ketemu Ayah Agus. Qiala benci sama Ayah!" Qiara menggeleng keras. Panik tergambar jelas di wajahnya, air mata mengancam untuk jatuh. Penolakannya bukan sekadar menolak, melainkan sebuah penolakan yang dipenuhi rasa benci yang dalam."Kita nggak ke sana kok," kataku, suaraku lebih lembut lagi. Aku mengusa