Senin 08:30
Pagi ini seharusnya berjalan biasa. Kirana sudah tiba di kantor jam delapan kurang lima, seperti biasa. Dengan kopi hitam tanpa gula di tangan, blazer rapih, dan rambut digerai sebahu. Dia tipe perempuan yang tak pernah datang terlambat, bahkan saat hujan badai. Tapi hari ini… mood-nya rusak. Bukan karena tumpukan pekerjaan. Tapi karena HR baru saja mengirim email—mengabarkan bahwa ia akan kedatangan asisten manajer baru. Kirana menghela napas panjang. Kenapa baru dikabarin sekarang sih? Apalagi yang dia tahu anak baru ini adalah anak komisaris perusahaan. Tentu saja Kirana keberatan jika ada timnya yang malah hanya menjadi beban bagi divisi. Ia baru saja akan mengangkat cangkir kopinya saat pintu ruangannya diketuk. Tok tok tok. "Permisi bu Manager " ucap Ares “Masuk,” sahutnya singkat, sambil tetap menatap layar laptop. Pintu terbuka pelan. Dan saat suara itu terdengar, Kirana langsung menoleh. “Pagi, Bu Manager. Saya Ares Mahadewa, asisten manajer yang katanya ditugaskan bantuin Mbak. Eh, I mean... Bu Kirana.” Kirana menatapnya. Dalam. Lama. Pria itu berdiri santai di ambang pintu, dengan kemeja putih yang digulung hingga siku, dasi longgar, rambut acak-acakan yang entah kenapa justru tampak stylish, dan... senyum sarkastik. Senyum orang yang tahu dia ganteng dan bangga karenanya.Semakin banyak poin minusnya dimata Kirana. Kirana meletakkan kopinya dengan pelan. “Silakan duduk,” ucapnya datar. Ares masuk, duduk tanpa canggung, bahkan bersandar santai di kursi seolah itu bukan ruang kerja atasan. Tatapannya tajam, tapi matanya penuh rasa penasaran. “Jadi... saya ini bakal di bawah koordinasi langsung Mbak Kirana, ya?”Mulai Ares. Ares tidak mungkin hanya duduk diam saja menunggu bos baru bicara Kirana menyipitkan mata. “Di kantor ini, kita pakai sapaan formal. Mbak bukan panggilan yang pantas untuk atasan.” Ares mengangguk kecil, bibirnya tersenyum miring. Dalam hati ku kira bisa langsung diperlakukan friendly “Noted, Bu Manager,” katanya, nada suaranya terdengar menggoda. Oke. Cowok ini nyebelin. Ganteng, tapi nyebelin. “Apa latar belakangmu?” tanya Kirana tanpa basa-basi. “Pernah kerja di ArkanaTech cabang Bali selama setahun, sebelum itu sempat magang di luar negeri,” jawab Ares santai. “Jurusan gue—eh, saya—Business Strategy.” Kirana sambil melihat CV Ares yang cukup baik, dimana dia lulus dengan nilai cumlaude. “Kenapa pindah ke Jakarta?” tanya Kirana lagi, masih dengan nada datar. “Bosan. Jakarta lebih ramai. Banyak... hiburan,” jawabnya sambil menatap Kirana lama. Tatapan yang membuat Kirana ingin melempar map ke mukanya. “Kalau kamu datang ke sini untuk cari hiburan, kamu salah tempat,” balas Kirana ketus. Ares tertawa pelan. “Tenang aja, Bu. Saya tahu batas. Di kantor saya kerja. Di luar... ya saya manusia.” Kirana diam. Ada sesuatu dari pria ini yang bikin dia... terganggu. Kalau dilihat sekilas seperti orang yang tidak punya sopan santun Entah caranya bicara, cara duduknya, atau caranya menatap seolah dia bisa membaca pikiran orang. “Kalau kamu mau serius kerja, ikuti ritme tim ini. Nggak ada tempat buat gaya sok-santai,” ujar Kirana, tegas. “Saya nggak suka tim yang kerjanya setengah hati.” Ares menatapnya lama. Lalu angkat tangan, seolah menyerah. “Siap, Bu. Saya ikut aturan mainnya.” Kirana memutar bola matanya diam-diam. Ini baru hari pertama. Dan dia sudah merasa... hari-harinya bakal lebih panjang dari biasanya.