Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan.
'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya 180 hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang kujadikan peluang.Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku, aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi.Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada seorang hamba, maka ada dua kemungkinan, yang pertama mungkin Tuhan ingin menghapus dosa-dosanya dan yang kedua adalah untuk mengangkat derajatnya. Ya, satu hal yang ku yakini, Tuhan pasti memberikan hikmah terbaik atas semua pelajaran hidup yang ia berikan dan keyakinan ini yang ku pegang hingga saat ini.'Kania, bersemangatlah, jika memang kamu telah menghadapi jalan buntu dalam perjalanan panjang mu, maka hadapi saja!' ucap ku di dalam hati sembari menyemangati diriku sendiri.Aku berjalan mengambil ponsel ku kembali, mencoba mencari tahu, mungkin saja Arya telah menjawab pertanyaan yang ku ajukan kepadanya. Tapi tidak ada balasan apapun dari Arya, lelaki itu hanya membaca pesan ku saja tanpa membalas atau bereaksi apa-apa.Untuk sesaat, terbayang olehku tentang hal yang dikatakan oleh mama ku, kalau Arya bukanlah lelaki yang baik karena ia hanya ingin memanfaatkan ku saja. Tapi, bagaimanapun juga, hati dan pikiran ku kembali bergejolak, mencari tahu sendiri tentang sesuatu yang tidak kuketahui. Ya, mungkin saja perasaan itu membuat seseorang menjadi lupa kalau yang dilakukan itu sangat salah.'Arya, kamu sebenarnya kemana? Kenapa kamu menghilang dan tidak mengangkat panggilan dariku?" ucap ku di dalam hati dengan sejuta tanda tanya di dalam hatiku.Aku juga berusaha menghubungi Arya beberapa kali, tapi semuanya sia-sia, ia bukannya mengangkat teleponku tetapi malah menolaknya, hingga hati ini mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.Bosan dengan perlakuan Arya kepadaku, kini pikiran ku tiba-tiba saja ingin membaca pesan singkat ustadz Fahri kepadaku.[Assalamualaikum, Kania, apa saya bisa berbicara dengan kamu?]Rasanya aku tidak ingin membalas pesan lelaki itu, karena aku terlalu muak jika menyangkut apapun tentang dirinya, selain itu aku tidak ingin berbicara dengan siapapun sekarang.'Apa aku harus kabur saja dari rumah ini?'Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu tanpa berpikir panjang. Ya, bagaimanapun juga aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang sangat aku cintai, tapi apa yang harus aku lakukan sekarang, jika aku kabur dari rumah maka aku akan menjadi anak durhaka dan yang kedua, aku akan membuat kedua orang tuaku malu dilingkungan karena anak gadis mereka kabur sebelum hari pernikahannya.Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana malunya keluargaku atas sikapku yang sama sekali tidak dewasa. Tapi, semakin aku memikirkan, semakin aku ingin lari dari masalah ini.Aku meraih ponsel ku kembali, mencoba menghubungi Arya, ingin bercerita dan berbagi banyak hal kepadanya terutama tentang dilema hati yang sedang ku hadapi saat ini. Namun, entah mengapa lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku, ia seperti hilang tertelan bumi, tanpa kabar berita apapun kepadaku, bahkan ia tidak menjawab pertanyaan dariku tentang kesediannya menemani hari-hari ku yang tersisa sebagai seorang gadis sebelum akhirnya takdir menuntun ku menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ku cintai.'Apa yang harus aku lakukan sekarang, Tuhan?'Aku mengacak-acak rambut ku dengan kedua tanganku karena aku terlalu pusing memikirkan semua persoalan hidup yang tengah ku jalani. Kepala ini terasa teramat sangat berat sekali seolah ada beban berat yang saat ini sedang kutanggung, tidak hanya itu saja, saat ini seolah banyak jarum-jarum yang menusuk kepalaku ini sehingga aku merasa tidak sanggup lagi untuk menanggungnya.Aku seperti orang gila yang tidak tahu arah dan tujuan, tidak tahu akan melakukan apapun sekarang karena semua yang terjadi dalam hidupku ini sudah tidak bisa lagi ku elakkan, semua diluar kendali ku sebagai manusia. namun, satu hal yang ku yakini kalau Tuhan tidak mungkin mempermainkan takdir hidupku, Tuhan tidak mungkin membuatku dan keluargaku malu, Tuhan juga tidak mungkin menghancurkan semua impian-impian ku.Allahuakbar, AllahuakbarSuara azan subuh menggema dan menyadarkanku, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Ternyata malam berganti pagi, sementara aku sedetik pun tidak bisa memejamkan mataku, aku hanya berbicara sendiri dan melakukan pergelutan dengan batinku sendiri, aku berperang dan mencari penyelesaian atas masalah yang tengah kuhadapi, namun bukan penyelesaian yang kudapatkan tapi rasa pusing yang teramat sangat. Kepalaku semakin sakit, mataku memerah dan terbelalak, hitam seperti mata panda dengan tubuh yang terasa teramat sangat lemah sekali karena aku belum makan apapun sejak dari kemarin siang.Dalam keadaan seperti mayat hidup itu, aku bangkit dari pembaringan ku, melaksanakan salat subuh dan bersiap untuk berangkat bekerja, aku ingin segera pergi dari rumah ini karena aku tidak ingin melihat wajah kedua orang tuaku.Rasa kecewa yang teramat sangat membuatku memusuhi kedua orang tuaku, bahkan durhakanya aku sampai tidak ingin berbicara sedikitpun dengan orang tuaku. Aku seperti berada di dalam penjara di dalam rumahku sendiri jadi aku ingin cepat-cepat keluar dari rumahku karena ketidaknyamanan tidak lagi kutemukan, aku juga merasakan dimana tidak ada seorang pun yang berpihak dan mendukung ku."Nia, kamu mau berangkat ke kantor, Nak?" sapa mama Anita yang sama sekali tidak ku hiraukan."Nia, kamu tidak sarapan dulu, Sayang," ungkap papa Gunawan yang juga tidak kalah perhatian kepadaku.Aku mengambil motor kesayanganku dan menaiki sepeda motorku tanpa melihat dan menoleh sedikitpun kepada kedua orang tuaku. Bersikap sombong dan durhaka kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan segenap hatinya. Kini aku hanya melajukan kendaraanku dengan kecepatan tinggi, aku tidak peduli lagi dengan keselamatanku di jalan, bahkan aku rela jika sekarang Tuhan mengambil nyawaku karena aku tidak sanggup lagi menjalani hidup yang sudah tidak lagi menjadi milikku.Pip ..., pip ..., pip ....Klason mobil berbunyi sangat keras hingga membuatku terkejut.Bruk ...Aku terjatuh dari sepeda motorku dengan seluruh tubuh yang terhempas ke aspal."Aw, sakit!"Aku merasa seluruh tubuhku kesakitan ketika terhempas ke aspal, sehingga rasanya terlalu sulit untuk bangkit dan berdiri. Beruntung jalan raya sepi sehingga aku bisa bernafas lega karena tidak harus terburu-buru bangkit."Kania, kamu tidak apa-apa?" Aku mendengar sosok yang sangat kukenal datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah tampannya."Arya, kamu disini?" ucap ku dengan nada suara lembut karena menanggung kesakitan saat ini."Kamu ingin mati, Kania?" bentak Arya.Mata Arya melotot, pipinya memerah, ia terlihat marah bercampur kecewa kepadaku. Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam tertunduk. Aku memang salah, bahkan perjodohan sialan itu membuatku tidak lagi menghargai hidupku yang berharga, aku benar-benar tidak berdaya seolah bumiku terlah runtuh ditimpa langit."Ayo bangun!" Arya menggotong tubuhku, membantuku bangkit, namun rasanya seluruh tenagaku habis hingga aku merasa tidak sanggup untuk berdiri, hingga
Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya."Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi
Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri
Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya."HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada Arya."Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku."Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap seolah-olah
Mama Anita terlihat emosi dan marah besar, matanya membelalak dengan rona wajah yang berubah masam ketika mendengar nama Arya disebut. Bahkan, ini kali pertamanya aku melihat mamaku semarah itu mendengarkan nama orang lain yang tidak pernah berhubungan dengannya.Aku tidak tahu kesalahpahaman apa yang terjadi antara Arya dengan mama Anita, tetapi mama selalu emosi dan marah mendengar nama Arya kusebut, padahal saat pertama kali aku menceritakan perkenalan pertamaku dengan Arya, mama adalah orang pertama yang sangat antusias ingin dikenalkan kepada lelaki itu."Mama, sudah, ini rumah sakit, jangan ribut-ribut disini," ucap papaku sembari mengelus-elus lembut punggung mama."Mama tidak suka mendengar nama lelaki tidak bernyali itu, Pa," celoteh mama Anita yang terdengar sudah sedikit melunak dari sebelumnya, tapi entah mengapa aku merasakan ketidaksukaan atas sikap yang mama tunjukkan."Mama, jangan membenci secara berlebihan begitu, Arya bukan lelaki yang jahat," jawabku yang akhirnya m
Ketika kedua orang tuaku memaksakan kehendak sesuai dengan keinginan mereka, aku merasa sangat hancur, bahkan membuat separuh hatiku terluka, terlebih lagi ketika kedua orang tuaku mengusirku dari rumah hanya karena lelaki yang bernama Fahri itu, maka seluruh hatiku hancur berkeping-keping menjadi butiran debu.Jika memang jodoh itu adalah ibadah terpanjang dan terlama karena menyempurnakan separuh agama seseorang, maka aku percaya kalau jalan menuju pernikahan itu pasti mudah dan dilancarkan. Namun, bagaimana jika jalan menuju pernikahan itu rumit dan berliku hingga membuat hubungan orang tua dan anak menjadi tidak akur, lantas bagaimana mungkin sesuatu bisa menjadi ibadah jika memulainya dengan pertengkaran dan pertentangan?Aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku karena Allah. Aku diterima dengan baik di keluarganya, dan keluarga calon suamiku juga menerimaku dengan baik seperti putrinya. Ya, karena aku percaya rasa cinta itu ditumbuhkan oleh zat ya
Otakku memikirkan banyak hal salah satunya rencana untuk kabur keluar kota dengan uang yang tersisa."Arya pasti bisa membantuku."Kuraih ponselku dan ku hubungi Arya beberapa kali namun lelaki itu tetap tidak mengangkatnya.Hati kecilku mulai berpikir, mungkinkah Arya memang sengaja meninggalkanku karena tidak ingin bertemu dengan kedua orang tuaku, atau mungkin Arya memang punya masalah dengan mama Anita sehingga ia berusaha menghindari mama Anita. Tapi, apapun yang terjadi dengan Arya dan mama Anita, harusnya lelaki itu tetap bersikap sopan kepada kedua orang tuaku, bukan malah kabur tanpa pemberitahuan sedikitpun."Ah sudahlah, mungkin Arya sedang sibuk."Ku banting ponselku ke ranjang dan terjatuh tepat di posisi kakiku. Aku kemudian membaringkan tubuhku, menutup wajahku dengan selimut berharap aku bisa tertidur dan berharap ketika terbangun semua ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang tidak menjadi kenyataan."Iiiis, bosan!"Aku berteriak sembari mengacak-ngacak rambutku, karena k