Share

180 Hari Tersisa

Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan.

'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya 180 hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang kujadikan peluang.

Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku, aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi.

Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada seorang hamba, maka ada dua kemungkinan, yang pertama mungkin Tuhan ingin menghapus dosa-dosanya dan yang kedua adalah untuk mengangkat derajatnya. Ya, satu hal yang ku yakini, Tuhan pasti memberikan hikmah terbaik atas semua pelajaran hidup yang ia berikan dan keyakinan ini yang ku pegang hingga saat ini.

'Kania, bersemangatlah, jika memang kamu telah menghadapi jalan buntu dalam perjalanan panjang mu, maka hadapi saja!' ucap ku di dalam hati sembari menyemangati diriku sendiri.

Aku berjalan mengambil ponsel ku kembali, mencoba mencari tahu, mungkin saja Arya telah menjawab pertanyaan yang ku ajukan kepadanya. Tapi tidak ada balasan apapun dari Arya, lelaki itu hanya membaca pesan ku saja tanpa membalas atau bereaksi apa-apa.

Untuk sesaat, terbayang olehku tentang hal yang dikatakan oleh mama ku, kalau Arya bukanlah lelaki yang baik karena ia hanya ingin memanfaatkan ku saja. Tapi, bagaimanapun juga, hati dan pikiran ku kembali bergejolak, mencari tahu sendiri tentang sesuatu yang tidak kuketahui. Ya, mungkin saja perasaan itu membuat seseorang menjadi lupa kalau yang dilakukan itu sangat salah.

'Arya, kamu sebenarnya kemana? Kenapa kamu menghilang dan tidak mengangkat panggilan dariku?" ucap ku di dalam hati dengan sejuta tanda tanya di dalam hatiku.

Aku juga berusaha menghubungi Arya beberapa kali, tapi semuanya sia-sia, ia bukannya mengangkat teleponku tetapi malah menolaknya, hingga hati ini mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.

Bosan dengan perlakuan Arya kepadaku, kini pikiran ku tiba-tiba saja ingin membaca pesan singkat ustadz Fahri kepadaku.

[Assalamualaikum, Kania, apa saya bisa berbicara dengan kamu?]

Rasanya aku tidak ingin membalas pesan lelaki itu, karena aku terlalu muak jika menyangkut apapun tentang dirinya, selain itu aku tidak ingin berbicara dengan siapapun sekarang.

'Apa aku harus kabur saja dari rumah ini?'

Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu tanpa berpikir panjang. Ya, bagaimanapun juga aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang sangat aku cintai, tapi apa yang harus aku lakukan sekarang, jika aku kabur dari rumah maka aku akan menjadi anak durhaka dan yang kedua, aku akan membuat kedua orang tuaku malu dilingkungan karena anak gadis mereka kabur sebelum hari pernikahannya.

Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana malunya keluargaku atas sikapku yang sama sekali tidak dewasa. Tapi, semakin aku memikirkan, semakin aku ingin lari dari masalah ini.

Aku meraih ponsel ku kembali, mencoba menghubungi Arya, ingin bercerita dan berbagi banyak hal kepadanya terutama tentang dilema hati yang sedang ku hadapi saat ini. Namun, entah mengapa lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku, ia seperti hilang tertelan bumi, tanpa kabar berita apapun kepadaku, bahkan ia tidak menjawab pertanyaan dariku tentang kesediannya menemani hari-hari ku yang tersisa sebagai seorang gadis sebelum akhirnya takdir menuntun ku menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ku cintai.

'Apa yang harus aku lakukan sekarang, Tuhan?'

Aku mengacak-acak rambut ku dengan kedua tanganku karena aku terlalu pusing memikirkan semua persoalan hidup yang tengah ku jalani. Kepala ini terasa teramat sangat berat sekali seolah ada beban berat yang saat ini sedang kutanggung, tidak hanya itu saja, saat ini seolah banyak jarum-jarum yang menusuk kepalaku ini sehingga aku merasa tidak sanggup lagi untuk menanggungnya.

Aku seperti orang gila yang tidak tahu arah dan tujuan, tidak tahu akan melakukan apapun sekarang karena semua yang terjadi dalam hidupku ini sudah tidak bisa lagi ku elakkan, semua diluar kendali ku sebagai manusia. namun, satu hal yang ku yakini kalau Tuhan tidak mungkin mempermainkan takdir hidupku, Tuhan tidak mungkin membuatku dan keluargaku malu, Tuhan juga tidak mungkin menghancurkan semua impian-impian ku.

Allahuakbar, Allahuakbar

Suara azan subuh menggema dan menyadarkanku, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Ternyata malam berganti pagi, sementara aku sedetik pun tidak bisa memejamkan mataku, aku hanya berbicara sendiri dan melakukan pergelutan dengan batinku sendiri, aku berperang dan mencari penyelesaian atas masalah yang tengah kuhadapi, namun bukan penyelesaian yang kudapatkan tapi rasa pusing yang teramat sangat. Kepalaku semakin sakit, mataku memerah dan terbelalak, hitam seperti mata panda dengan tubuh yang terasa teramat sangat lemah sekali karena aku belum makan apapun sejak dari kemarin siang.

Dalam keadaan seperti mayat hidup itu, aku bangkit dari pembaringan ku, melaksanakan salat subuh dan bersiap untuk berangkat bekerja, aku ingin segera pergi dari rumah ini karena aku tidak ingin melihat wajah kedua orang tuaku.

Rasa kecewa yang teramat sangat membuatku memusuhi kedua orang tuaku, bahkan durhakanya aku sampai tidak ingin berbicara sedikitpun dengan orang tuaku. Aku seperti berada di dalam penjara di dalam rumahku sendiri jadi aku ingin cepat-cepat keluar dari rumahku karena ketidaknyamanan tidak lagi kutemukan, aku juga merasakan dimana tidak ada seorang pun yang berpihak dan mendukung ku.

"Nia, kamu mau berangkat ke kantor, Nak?" sapa mama Anita yang sama sekali tidak ku hiraukan.

"Nia, kamu tidak sarapan dulu, Sayang," ungkap papa Gunawan yang juga tidak kalah perhatian kepadaku.

Aku mengambil motor kesayanganku dan menaiki sepeda motorku tanpa melihat dan menoleh sedikitpun kepada kedua orang tuaku. Bersikap sombong dan durhaka kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan segenap hatinya. Kini aku hanya melajukan kendaraanku dengan kecepatan tinggi, aku tidak peduli lagi dengan keselamatanku di jalan, bahkan aku rela jika sekarang Tuhan mengambil nyawaku karena aku tidak sanggup lagi menjalani hidup yang sudah tidak lagi menjadi milikku.

Pip ..., pip ..., pip ....

Klason mobil berbunyi sangat keras hingga membuatku terkejut.

Bruk ...

Aku terjatuh dari sepeda motorku dengan seluruh tubuh yang terhempas ke aspal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status