Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya.
"Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi tingkat emosi seseorang, dan masalah kesenjangan usia beberapa tahun antara aku dan Arya membuat kami berdua sering kali saling salah paha karena pola pikir yang berbeda."Arya tunggu!"Aku keluar dari mobil, berjalan pelan untuk mendekati lelaki yang sama sekali tidak ingin menoleh sedikitpun kepadaku."Arya, kenapa sih sikapmu seperti anak-anak? Aku kesulitan berjalan."Dengan langkah kaki tertatih-tatih, aku terus berjalan menyusul lelaki yang egois itu."Arya, bukannya kita akan ke rumah sakit, kenapa harus berdebat disini sih?"Aku berteriak dan memaki Arya dengan sangat keras hingga langkah kaki Arya akhirnya terhenti."Kenapa ikut keluar?" tanya Arya sinis dan terdengar tidak manis sama sekali.Ingin sekali aku melayangkan tinju ku di kening mulus lelaki itu, tapi aku tidak ingin memperkeruh keadaan, aku hanya ingin kami berdua bisa kembali akur tanpa memperpanjang masalah."Apakah ini bentuk kecemburuan?" tanyaku sekali lagi.Mataku terus menatap ke arah Arya, namun lelaki yang ada di depanku itu tetap tidak berani menatap ku sama sekali."Cemburu, ah tidak, mana mungkin," ucap Arya dengan nada suara terbata-bata. Sungguh, ia terlihat sangat gugup sekali karena ketahuan."Kania, mana mungkin aku cemburu, karena aku adalah orang yang paling bahagia melihat adik ku bahagia."Arya menggaruk-garuk rambutnya yang sama sekali tidak gatal, sebuah tanda kalau lelaki itu sedang berbohong. Ya, Arya memang tidak pernah bisa membohongi ku dari sikapnya."Adek, Mas akan mendoakan yang terbaik untukmu."Arya membalikkan badannya dariku, ia sekarang sama sekali tidak ingin menatap ku dan aku tidak suka dengan sikap tidak acuh seperti itu."Adik, Mas? Maksudnya bagaimana, Arya?"Aku ternganga membayangkan seseorang yang umurnya jauh di bawahku memanggil ku dengan panggilan adik dan memposisikan dirinya sebagai kakak. Tidak punya sopan santun, tidak formal sama sekali, bahkan ia tidak menggunakan embel-embel apapun dalam memanggil ku, bahkan yang lebih anehnya lagi ia bertingkah seperti seorang anak yang tidak punya rasa bersalah sama sekali."Kania, hubungan kita hanya sebatas kakak dan adik, aku menganggap mu sebagai adikku sendiri dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun, jadi tidak mungkin ada rasa cemburu antara adik dan kakak," ucap Arya dengan posisi masih membelakangi ku.'Dasar lelaki tak berperasaan,' ucap ku di dalam hati dengan rasa kesal yang kubawa bersamaku.Tidak ada persahabatan antara pria dan wanita, tidak ada juga persaudaraan antara dua orang pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Kata persahabatan atau persaudaraan adalah sebuah kata yang mengisyaratkan kalau dua orang terikat tanpa hubungan yang dikenal dengan istilah pacaran.Aku sebenarnya muak dan bosan dengan sikap Arya yang seenaknya saja, ia selalu ingin menang sendiri dan merasa dirinya paling benar, tapi entah mengapa aku tidak pernah bisa marah dengannya, aku selalu mengalah dan sabar dengan tingkahnya kepadaku."Mas, oke, aku akan memanggil mu Mas mulai sekarang, kita tidak lagi bersahabat, tapi lebih dari itu, kita bersaudara, kakak dan adik," ucapku dengan nada ditekan dengan senyum yang kupaksakan.Huft ...Aku mendengar Arya menarik nafas panjang, entah pertanda lega atau pertanda marah, aku sudah tidak lagi mempedulikannya, karena yang kuinginkan sekarang adalah berbaikan dan Arya segera mengantarkan ku ke rumah sakit."Adek!"Arya mengacak-acak kepalaku yang ditutupi jilbab pasmina berwarna putih."Jangan, bukan mukhrim," protesku.Ya, aku bertingkah seperti seorang wanita saleha yang sangat menjaga diriku, namun aku hanyalah seorang wanita munafik yang mana perkataannya berbeda dengan perbuatannya.Aku memang protes ketika Arya memegang kepalaku, namun hatiku merasa senang, merasa bahagia dan merasa disayangi oleh Arya, tapi bagaimanapun juga kami berdua bukan saudara kandung, kami bukan mukhrim dan kami berdosa karena bertingkah mendekati perbuatan zina."Mas, aku minta maaf jika kata-kataku membuat kamu tersinggung, tapi sekarang aku sudah tidak sanggup berdiri, seluruh tubuhku kesakitan."Efek terlempar ke aspal sepertinya baru terasa sekarang, dimana seluruh tubuhku terasa teramat sangat sakit, bahkan aku menggigil seolah seluruh tenagaku habis."Kania, kamu pucat."Wajah Arya terlihat khawatir, ia panik dan takut jika hal buruk terjadi kepadaku. Sementara aku, saat ini mataku berkunang-kunang, rasanya diri ini sudah tidak sanggup lagi menopang beban diri ini yang terasa teramat sangat berat."Mas, a-aku,""Sudah, diam, kita harus segera ke rumah sakit sekarang!"Arya menggendong ku, membawa ku kembali ke mobil dengan sejuta kekhawatiran yang ia bawa bersamanya."Kania, kamu harus bertahan, kamu beristirahatlah, tidurlah sebentar, aku akan membangunkan mu ketika kita telah sampai di rumah sakit."Arya membaringkan ku di belakang, kemudian melajukan mobilnya dengan sangat kencang menuju rumah sakit terdekat."Arya , aku merasa sudah tidak kuat lagi, apakah ajalku sudah dekat?" ucap ku dengan nada suara lemah kerana tidak sanggup lagi mengeluarkan banyak energi untuk berbicara."Kania, sabar!"Dengan secepat kilat Arya melanukan mobilnya hingga sampailah kami di rumah sakit dalam waktu lima menit, padahal untuk kecepatan normal jarak ke rumah sakut bisa memakan waktu selama sepuluh menit.Arya membuka pintu mobil, menggotong tubuhku dan membawaku keluar dari mobil menuji loby rumah sakit."Suster, Dokter, tolong adik saya, dia jatuh dari motor dan saat ini seluruh tubuhnya terasa teramat sangat sakit," ujar Arya kepada suster yang lewat.Anehnya, tidak ada seorangpun yang menolong Kania dan Arya."Kania, kamu harus bertahan ya!" ucap Arya dengan wajah yang saat ini pe uh dengan peluh karena ia terlihat capek, lelah beserta takut."Arya, A-aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi.Mataku sudah tidak sanggup lagi untuk menyala, hingga tanganku yang lemah terasa semakin lemah, hingga mata ini akhirnya tertutup."Kania ...!Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri
Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya."HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada Arya."Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku."Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap seolah-olah
Mama Anita terlihat emosi dan marah besar, matanya membelalak dengan rona wajah yang berubah masam ketika mendengar nama Arya disebut. Bahkan, ini kali pertamanya aku melihat mamaku semarah itu mendengarkan nama orang lain yang tidak pernah berhubungan dengannya.Aku tidak tahu kesalahpahaman apa yang terjadi antara Arya dengan mama Anita, tetapi mama selalu emosi dan marah mendengar nama Arya kusebut, padahal saat pertama kali aku menceritakan perkenalan pertamaku dengan Arya, mama adalah orang pertama yang sangat antusias ingin dikenalkan kepada lelaki itu."Mama, sudah, ini rumah sakit, jangan ribut-ribut disini," ucap papaku sembari mengelus-elus lembut punggung mama."Mama tidak suka mendengar nama lelaki tidak bernyali itu, Pa," celoteh mama Anita yang terdengar sudah sedikit melunak dari sebelumnya, tapi entah mengapa aku merasakan ketidaksukaan atas sikap yang mama tunjukkan."Mama, jangan membenci secara berlebihan begitu, Arya bukan lelaki yang jahat," jawabku yang akhirnya m
Ketika kedua orang tuaku memaksakan kehendak sesuai dengan keinginan mereka, aku merasa sangat hancur, bahkan membuat separuh hatiku terluka, terlebih lagi ketika kedua orang tuaku mengusirku dari rumah hanya karena lelaki yang bernama Fahri itu, maka seluruh hatiku hancur berkeping-keping menjadi butiran debu.Jika memang jodoh itu adalah ibadah terpanjang dan terlama karena menyempurnakan separuh agama seseorang, maka aku percaya kalau jalan menuju pernikahan itu pasti mudah dan dilancarkan. Namun, bagaimana jika jalan menuju pernikahan itu rumit dan berliku hingga membuat hubungan orang tua dan anak menjadi tidak akur, lantas bagaimana mungkin sesuatu bisa menjadi ibadah jika memulainya dengan pertengkaran dan pertentangan?Aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku karena Allah. Aku diterima dengan baik di keluarganya, dan keluarga calon suamiku juga menerimaku dengan baik seperti putrinya. Ya, karena aku percaya rasa cinta itu ditumbuhkan oleh zat ya
Otakku memikirkan banyak hal salah satunya rencana untuk kabur keluar kota dengan uang yang tersisa."Arya pasti bisa membantuku."Kuraih ponselku dan ku hubungi Arya beberapa kali namun lelaki itu tetap tidak mengangkatnya.Hati kecilku mulai berpikir, mungkinkah Arya memang sengaja meninggalkanku karena tidak ingin bertemu dengan kedua orang tuaku, atau mungkin Arya memang punya masalah dengan mama Anita sehingga ia berusaha menghindari mama Anita. Tapi, apapun yang terjadi dengan Arya dan mama Anita, harusnya lelaki itu tetap bersikap sopan kepada kedua orang tuaku, bukan malah kabur tanpa pemberitahuan sedikitpun."Ah sudahlah, mungkin Arya sedang sibuk."Ku banting ponselku ke ranjang dan terjatuh tepat di posisi kakiku. Aku kemudian membaringkan tubuhku, menutup wajahku dengan selimut berharap aku bisa tertidur dan berharap ketika terbangun semua ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang tidak menjadi kenyataan."Iiiis, bosan!"Aku berteriak sembari mengacak-ngacak rambutku, karena k
Arya berbicara pelan dengan nada yang ditekan, wajahnya terlihat memerah dengan mata melotot, terlihat sekali kalau ia sangat tidak suka dengan keputusan kekanak-kanakan yang kuambil. Ya, walaupun Arya berusia lebih muda dari pada aku, akan tetapi lelaki itu jauh lebih dewasa dari pada aku. Ia menyampaikan nasehat dengan caranya sendiri, tidak keras namun mengenai hati dan perasaanku, seperti anak panah yang langsung menembak tepat ke sasarannya.Aku sangat tahu kalau restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua karena orang tua adalah wakil Allah di dunia. Jauh dari hatiku yang terdalam, aku juga tidak berani untuk melawan dan menentang keinginan orang tuaku, karena aku tidak ingin durhaka seperti malin kundang."Kania, kenapa kamu diam? Jika kamu tidak yakin maka jangan pernah lagi mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu," ucap Arya dengan nada suara yang terdengar lebih ramah di telingaku."Jika Mama dan Papa tetap melanjutka
Seolah tidak mendengarkan, Arya terus berjalan meninggalkanku bahkan ia mempercepat langkah kakinya seolah orang yang ku panggil bukan dirinya."ARYA, BRENGSEK, jangan tinggalkan aku!"Emosiku memuncak, aku marah dan rasanya ingin sekali aku mengejar Arya saat ini, bukan untuk menahannya lagi tetapi untuk menjitak kepalanya karena telah mengabaikan ku."Dasar lelaki yang nggak punya rasa iba, jahat banget sih!"Dengan nada suara bergetar, dada yang terasa sempit seperti gunung yang akan memuntahkan larvanta, akhirnya air mata jatuh dan mengalir membasahi pipiku, aku akhirnya meraung sejadi-jadinya. Ya, air mata ini tidak hanya karena ditinggalkan Arya tapi sudah bercampur dengan sejuta amarah dan kesedihan yang telah memuncak dan sudah lama tertahankan.Aku merasa sakit dan terluka ketika Arya meninggalkanku, bahkan hati ini seolah terasa teramat sangat hancur dan patah seperti seorang wanita yang ditinggalkan oleh kelasih hatinya.Arya bukanlah kekasihku, dan aku juga tidak memiliki p