Aku tidak bisa membayangkan akan menikah sebulan lagi dengan lelaki yang tidak kukenal, hingga air mata terus mengalir menggenangi pipi bulat ku, air mata ini jatuh bersama hujan yang mengguyur bumi, seolah langit ikut menangis bersamaku. Sungguh, aku lemah dan tidak berdaya. Namun, aku percaya Tuhan mendengar doaku hingga akhirnya secara adat pernikahan akhirnya disepakati dan direncanakan terjadi enam bulan lagi, tepatnya setelah lebaran idul adha.
'Alhamdulillah,' batinku.Leganya hati ini membuatku tidak hentinya mengucap syukur, setidaknya aku masih punya kesempatan selama 180 hari lagi untuk menjernihkan pikiran ku, entah untuk membatalkan atau untuk melanjutkan.Kring ..., Kring ..., Kring ....Suara ponsel ku berbunyi dan dengan bergegas aku langsung mengambil ponsel itu.[Assalamualaikum, Kania]Sapaan halus dan lembut yang dikirimkan oleh ustadz Fahri lewat pesan singkat terbaca di notif ponsel ku. Pesan dari seseorang yang tidak kuinginkan, pesan yang membuat seluruh tubuhku lemah dan tidak bersemangat.Aku tidak ingin membaca pesan itu dan aku ingin mengabaikannya saja karena berbicara dengan lelaki itu membuatku muak hingga emosi ku meningkat, aku bahkan ingin melemparkan ponsel ku ke dinding dan mengganti dengan nomor baru agar aku tidak berkomunikasi dengan lelaki itu.Kring ..., Kring ..., Kring ....Lagi dan lagi ponsel ku berbunyi dan kali ini aku sudah sangat malas untuk melihatnya. Namun ponsel itu terus berdering beberapa kali hingga membuatku muak."Apa sih maunya, kenapa mengganggu saja sih!" ungkap ku kesal.Aku mengira kalau ustadz Fahri yang menghubungi ku, tapi setelah melihat layar ponsel, aku langsung bergegas mengangkatnya, malaikat ku datang disaat aku membutuhkannya.[Assalamualaikum, Arya]Sapa ku dengan nada suara parau.[Nia, apa kamu menangis?]Tetesan air mata yang tadi sudah ku bendung akhirnya kembali tercurahkan bersama lebatnya hujan. Entah mengapa, suara Arya malah membuatku semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Aku ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah kutanggung kepadanya, aku ingin bersandar di bahunya dan aku ingin ia membantu ku keluar dari masalah ku. Namun, Arya hanya seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomi ku, dia bukan kekasih ku jadi tidak seharusnya aku melibatkan ia dalam masalah ku.[Nia, ada apa? Kenapa kamu terisak-isak seperti itu?]Terdengar dari seberang sana rasa khawatir, sebuah sikap yang selalu ditunjukkan Arya ketika aku menangis. Ya, dibalik tegar dan kuatnya diri ini dihadapan orang lain, dibalik senyum manis yang terlihat selalu ceria, aku malah selalu menangis di depan Arya.[Apa aku ke rumahmu saja sekarang?]Arya adalah lelaki yang tidak tega mendengar isak tangis ku, ia adalah lelaki yang tidak akan sanggup melihat setetes pun air mata jatuh menggenangi pipi ku. Jiwanya tidak akan tenang sebelum mendengarkan apa yang membuatku menangis.[Nia, tolong jawab aku!]Ya, setelah beberapa kali bertanya, Arya tidak kunjung mendapatkan jawaban dariku, lelaki itu langsung melakukan panggilan video call kepadaku, namun kali ini aku tidak bisa mengangkatnya karena aku tidak ingin terlihat memalukan dihadapan Arya.[Arya, aku telah bertunangan dan aku akan menikah dengan lelaki itu]Hanya itu kata-kata yang bisa kukatakan kepada Arya saat ini lewat pesan singkat, karena aku belum sanggup untuk berbicara langsung atau bertatap muka dengannya.[Bertunangan? Dengan Ustadz itu?][Hmmm][Selamat Kania, akhirnya kamu akan menjadi istri orang, istri dari lelaki yang baik ilmu agamanya, seperti yang kamu inginkan selama ini][Terima kasih, Arya][Jadi kapan kalian akan menikah?][Enam bulan lagi][Enam bulan lagi? Jadi rencana kita untuk liburan ke Yogyakarta bersama bagaimana? Gagal?][Bolehkah aku meminta waktumu 180 hari dari sekarang?]Tok ..., Tok ..., Tok ..."Nia, kamu sudah siap, Nak? Ummi dan Abi ingin bertemu denganmu sebelum pulang," ucap mama Anita dari balik kamar ku.Dengan bergegas aku melempar ponsel ku sebelum mendapatkan jawaban dari Arya. Aku pura-pura menutup mata dan tidak mendengar panggilan dari orang tuaku.'Maafkan, Nia, Mama."Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena aku telah menolak menemui calon mertua ku."Maaf, Abi, Ummi, sepertinya Kania sudah tidur, sepertinya ia terlalu lelah karena seharian bekerja," ucapan yang keluar dari lisan mama Anita itu terdengar samar di telingaku."Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu, Bu Anita, Bapak Hermawan. Tapi tolong berikan cincin ini dan pasangkanlah cincin ini di jari manis Kania sebagai tanda kalau ia telah bertunangan," ucap ummi Halimah."Baiklah, Ummi, terima kasih banyak.""Sampaikan salam kami kepada calon menantu kami," balas mama Anita ramah dan sangat sopan.Kini terdengar hiruk pikuk, sepertinya keluarga ustadz Fahri dan sanak saudaraku telah pamit ke rumah masing-masing, dan sekarang yang tertinggal adalah sebuah tanda bahwa aku telah bertunangan.Tok ..., Tok ..., Tok ..."Nia, Mama masuk ya, Nak!" ucap mama Anita yang masih tidak aku hiraukan.Mama duduk di ranjang ku, nafas beliau terdengar berat seolah sedang menahan banyak beban di hati dan pikirannya."Nia, Mama ingin langsung saja, Mama tidak ingin ada perdebatan lagi antara kita. Mama ingin kamu tahu satu hal, kalau sekarang kamu telah menjadi tunangan seseorang, kamu harus mengenakan cincin ini di jari manis mu dan satu hal yang harus kamu tahu kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu."Hatiku bergejolak, bagaimana mungkin aku bertunangan dalam sekejap bahkan pertunanganan ini terjadi tanpa meminta pendapatku. Aku seperti tidak berhak atas diriku sendiri. "Mama, Nia tidak menyukai Ustadz itu!""Suka tidak suka, mau tidak mau, semua telah terjadi dan ini adalah takdir dari Allah.""Takdir yang dipaksakan maksud Mama?"Aku bangkit dari pembaringan, duduk sembari menatap mama Anita dengan mata melotot, penuh dengan emosi dan amarah yang teramat sangat.Prak ...Sebuah tamparan keras mendarat di pipi ku, hingga sebelah tangan ini langsung refleks memegang pipi kiri ku yang memerah karena kesakitan."Kania! Mama tidak pernah mendidik mu menjadi anak durhaka."Mama Anita marah namun air mata terus mengalir membasahi pipi beliau, wajah beliau penuh dengan penyesalan dan kekecewaan."Pakailah ini dan putuskan hubungan tanpa status mu dengan Arya. Jauhi lelaki cemen itu, dia tidak pantas untukmu!"Mama Anita memberikan cincin tunangan di tanganku, cincin berlian yang terlihat mewah itu terlihat sangat cantik, tapi sebagus apapun cincin itu tidak membuatku ingin memakainya karena aku tidak ingin bertunangan secara paksa seperti ini."Mama benar-benar jahat!" ucap ku dalam isak tangisan."Ini semua demi kebaikanmu, Nak!"Suara lembut dengan isak tangisan yang keluar dari lisan mama Anita sungguh membuat hatiku hancur. Apalagi mama Anita meninggalkan kamar ku dengan air mata membuatku merasa menjadi anak durhaka.'Kania, apakah kehidupan seperti ini yang kamu harapkan? Apakah kamu ingin melawan kedua orang tua demi keegoisan hatimu?'Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan.'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya 180 hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang kujadikan peluang.Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku, aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi.Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada
"Aw, sakit!"Aku merasa seluruh tubuhku kesakitan ketika terhempas ke aspal, sehingga rasanya terlalu sulit untuk bangkit dan berdiri. Beruntung jalan raya sepi sehingga aku bisa bernafas lega karena tidak harus terburu-buru bangkit."Kania, kamu tidak apa-apa?" Aku mendengar sosok yang sangat kukenal datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah tampannya."Arya, kamu disini?" ucap ku dengan nada suara lembut karena menanggung kesakitan saat ini."Kamu ingin mati, Kania?" bentak Arya.Mata Arya melotot, pipinya memerah, ia terlihat marah bercampur kecewa kepadaku. Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam tertunduk. Aku memang salah, bahkan perjodohan sialan itu membuatku tidak lagi menghargai hidupku yang berharga, aku benar-benar tidak berdaya seolah bumiku terlah runtuh ditimpa langit."Ayo bangun!" Arya menggotong tubuhku, membantuku bangkit, namun rasanya seluruh tenagaku habis hingga aku merasa tidak sanggup untuk berdiri, hingga
Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya."Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi
Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri
Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya."HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada Arya."Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku."Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap seolah-olah
Mama Anita terlihat emosi dan marah besar, matanya membelalak dengan rona wajah yang berubah masam ketika mendengar nama Arya disebut. Bahkan, ini kali pertamanya aku melihat mamaku semarah itu mendengarkan nama orang lain yang tidak pernah berhubungan dengannya.Aku tidak tahu kesalahpahaman apa yang terjadi antara Arya dengan mama Anita, tetapi mama selalu emosi dan marah mendengar nama Arya kusebut, padahal saat pertama kali aku menceritakan perkenalan pertamaku dengan Arya, mama adalah orang pertama yang sangat antusias ingin dikenalkan kepada lelaki itu."Mama, sudah, ini rumah sakit, jangan ribut-ribut disini," ucap papaku sembari mengelus-elus lembut punggung mama."Mama tidak suka mendengar nama lelaki tidak bernyali itu, Pa," celoteh mama Anita yang terdengar sudah sedikit melunak dari sebelumnya, tapi entah mengapa aku merasakan ketidaksukaan atas sikap yang mama tunjukkan."Mama, jangan membenci secara berlebihan begitu, Arya bukan lelaki yang jahat," jawabku yang akhirnya m
Ketika kedua orang tuaku memaksakan kehendak sesuai dengan keinginan mereka, aku merasa sangat hancur, bahkan membuat separuh hatiku terluka, terlebih lagi ketika kedua orang tuaku mengusirku dari rumah hanya karena lelaki yang bernama Fahri itu, maka seluruh hatiku hancur berkeping-keping menjadi butiran debu.Jika memang jodoh itu adalah ibadah terpanjang dan terlama karena menyempurnakan separuh agama seseorang, maka aku percaya kalau jalan menuju pernikahan itu pasti mudah dan dilancarkan. Namun, bagaimana jika jalan menuju pernikahan itu rumit dan berliku hingga membuat hubungan orang tua dan anak menjadi tidak akur, lantas bagaimana mungkin sesuatu bisa menjadi ibadah jika memulainya dengan pertengkaran dan pertentangan?Aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku karena Allah. Aku diterima dengan baik di keluarganya, dan keluarga calon suamiku juga menerimaku dengan baik seperti putrinya. Ya, karena aku percaya rasa cinta itu ditumbuhkan oleh zat ya