"Aw, sakit!"
Aku merasa seluruh tubuhku kesakitan ketika terhempas ke aspal, sehingga rasanya terlalu sulit untuk bangkit dan berdiri. Beruntung jalan raya sepi sehingga aku bisa bernafas lega karena tidak harus terburu-buru bangkit."Kania, kamu tidak apa-apa?"Aku mendengar sosok yang sangat kukenal datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah tampannya."Arya, kamu disini?" ucap ku dengan nada suara lembut karena menanggung kesakitan saat ini."Kamu ingin mati, Kania?" bentak Arya.Mata Arya melotot, pipinya memerah, ia terlihat marah bercampur kecewa kepadaku. Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam tertunduk.Aku memang salah, bahkan perjodohan sialan itu membuatku tidak lagi menghargai hidupku yang berharga, aku benar-benar tidak berdaya seolah bumiku terlah runtuh ditimpa langit."Ayo bangun!"Arya menggotong tubuhku, membantuku bangkit, namun rasanya seluruh tenagaku habis hingga aku merasa tidak sanggup untuk berdiri, hingga aku dan Arya sama-sama tersungkur ke aspal."Kania, apa lagi? Nggak usah drama!"Suara Arya meninggi beberapa oktaf, ia membentak ku hingga air mata tiba-tiba jatuh membasahi pipiku.Sejujurnya aku menangis bukan karena dibentak Arya, hanya saja ini waktu yang sangat tepat untuk mencurahkan semua beban yang sedari tadi ku tanggung."Kania, kamu menangis?"Arya memang lelaki yang sangat tidak suka melihat wanita lebay, menye-menye dan manja sepertiku, karena menurutnya wanita itu harus kuat dan pantang menyerah, jangan lemah dengan keadaan. Tapi, sebagai seorang wanita, air mata merupakan salah satu penghapus kesedihan untukku, dimana aku akan merasa lebih tenang dan damai setelah menumpahkan seluruh air mata yang jatuh memmbasahi pipiku."A-aku ti-dak menangis!" ucap ku dengan nada suara terbata-bata."Bagaimana bisa tidak menangis, toh air mata mengalir membasahi pipi. Kamu ahli banget berbohong, belajar dimana?" ujar Arya sembari mencubit hidungku yang memang sangat jauh dari kata mancung."Ini mah kelilipan!"Aku mencibir hingga lelaki tampan yang ada di depanku tersenyum. Ya, untuk sesaat aku merasa sangat terhibur dengan ocehan-ocehan ringan yang keluar dari lisan Arya, hingga rasa sakit yang kurasakan hilang walau untuk sesaat."Yuk berdiri!" ucap Arya sembari mengulurkan satu tangannya kepadaku.Aku diam sembari menundukkan wajahku, bagaimana caranya diri ini untuk bangkit sementara tubuh ini tidak sanggup untuk berdiri."Kania, apakah kamu benar-benar tidak bisa berdiri?"Arya mulai panik, dari wajahnya juga tergambar jelas sebuah penyesalan karena telah memarahi dan membentak ku, terlebih lagi aku tidak melakukan kesalahan apa-apa kepadanya."Kania, maaf!"Arya menggendong tubuh mungilku seolah tanpa beban."Arya, apa yang kamu laku-,"Belum selesai aku melanjutkan ucapanku, Arya sudah memotongnya."Kania, sudah, jangan banyak bicara!"Aku terdiam, pasrah, karena mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menurut kepada Arya.Kulingkarkan kedua tanganku di leher Arya sembari terus menatap wajah tampan lelaki yang ada di depanku itu, sementara Arya hanya terus melangkah maju tanpa menatapku sedikitpun."Kania, kita ke rumah sakit ya, sepertinya kamu terkilir," ujar Arya yang membuatku kikuk."I-iya."Aku memalingkan wajahku dari Arya ketika mataku dan matanya saling bertemu untuk sesaat.Dak, dik, duk ...Jantungku berdetak luar biasa, seolah ada kelinci-kelinci kecil yang terperangkap hingga melompat-lompat disana."Udah ah, jangan grogi, biasa aja!"Arya benar-benar sangat ahli membuatku salah tingkah hingga merasa rendah."Iih, apaan sih!"Satu tanganku meninju dada Arya yang bidang."Aw, sakit, Kania!"Aku seperti manusia yang tidak tahu terima kasih, seperti anak ular, sudah ditolong malah menggigit."Kalau mau bantuin ya bantuin aja, jangan banyak gaya," ungkap ku dengan nada suara tinggi.Aku kesal dan tidak suka dengan sikap Arya kepadaku, walaupun sejujurnya sikap kasarku ini karena salah tingkahku terhadap Arya."Sekarang duduk cantik ya!"Arya membaringkanku di mobilnya, memperlakukanku dengan sangat baik penuh dengan kasih sayang.Hubunganku dan Arya memang tidak lebih dari sebatas sahabat, namun aku merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus dari perlakuan Arya kepadaku, sikap manis yang membuatku merasa sangat nyaman sekali.Sudah lama sekali diri ini membatasi dekat dengan lelaki, karena rasa sakit dan trauma di masa lalu membuatku tidak ingin lagi menggantungkan harapan kepada manusia, tapi entah mengapa dengan Arya diri ini selalu bergantung, aku selalu bersikap manja kepadanya, mengganggunya dengan ocehan-ocehan receh yang sebenarnya tidak penting, bahkan aku hanya ingin berbagi suka dan dukaku dengan Arya, lantas sehari saja tidak ada kabar dari Arya membuatku menjadi gila. Aku dan ia seperti sendal, tidak sama tapi saling melengkapi."Tunggu disini!"Arya menutup pintu mobil kemudian menyelamatkan motorku yang juga sudah mencium aspal. Kulihat Arya tengah menyelamatkan motorku dan membawanya ke tepi jalan. Ia menitipkan motor itu di salah satu rumah masyarakat.Arya kemudian berlari menghampiriku, membuka pintu mobil dengan gaya yang terlihat sangat cool, sungguh terlihat sangat tampan dan menawan."Nia, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ugal-ugalan di jalan?" tanya Arya di sela-sela perjalanan kami menuju rumah sakit."Aku hanya lelah, aku hilang arah."Dengan santainya aku berbicara sesuka hati karena sejujurnya aku tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidupku."Kania, siapakah lelaki itu?"Arya menghentikan mobilnya secara mendadak, hingga membuatku terkejut."Apa-apain sih, Ya!"Aku membentak Arya sembari membelalakkan mataku kepadanya.Huft ...Arya menarik nafas panjang, kemudian memasang wajah serius kepadaku."Kapan?"Aku sangat tahu kalau pertanyaan Arya tertuju pada waktu pernikahanku."Enam bulan lagi, setelah lebaran idul adha."Aku menunduk, memasang wajah sedih karena membahas pernikahan yang tifak diinginkan membuat hidupku tidak bersemangat."Selamat, akhirnya kamu mendapatkan lelaki saleh seperti yang kamu inginkan, tidak seperti aku yang ilmu agamanya sangat dangkal."Kini giliran Arya yang memasang wajah sedih. Entah apa maksud dari sikap yang ia tunjukkan, ia memberikan selamat namun membandingkan dirinya dengan tunangan yang tidak kuinginkan."Aku masih punya 180 hari lagi, bagaimana dengan rencana liburan kita ke Yogyakarta?""Kita tetap akan berangkat.""Berangkat?""Iya, kita akan pergi seperti rencana sebelumnya," ucap Arya dengan nada yang sangat meyakinkan."Bisakah kita pergi dua bulan sebelum pernikahanku?""Kenapa?""Karena aku akan dipingit jika telah mendekati hari H."Aku dan Arya memang pernah merencanakan jalan-jalan ke Yogyakarta karena aku sangat penasaran dengan tempat kuliah dan kehidupan Arya selama di Yogyakarta."Jika memang akan dipingit, pergilah dengan calon suamimu saja!"Wajah Arya memerah, ia menyetir kembali mobilnya dengan kecepatan tinggi seperti seorang pembalap, seolah sedang melampiaskan emosinya."Arya, pelan-pelan, aku belum ingin mati!"Aku menghardik Arya, namun lelaki tampan itu sama sekali tidak mempedulikanku, ia tetap melajukan mobil dengan kecepatan tinggi."Arya, apa kamu cemburu?"Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya."Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi
Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri
Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya."HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada Arya."Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku."Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap seolah-olah
Mama Anita terlihat emosi dan marah besar, matanya membelalak dengan rona wajah yang berubah masam ketika mendengar nama Arya disebut. Bahkan, ini kali pertamanya aku melihat mamaku semarah itu mendengarkan nama orang lain yang tidak pernah berhubungan dengannya.Aku tidak tahu kesalahpahaman apa yang terjadi antara Arya dengan mama Anita, tetapi mama selalu emosi dan marah mendengar nama Arya kusebut, padahal saat pertama kali aku menceritakan perkenalan pertamaku dengan Arya, mama adalah orang pertama yang sangat antusias ingin dikenalkan kepada lelaki itu."Mama, sudah, ini rumah sakit, jangan ribut-ribut disini," ucap papaku sembari mengelus-elus lembut punggung mama."Mama tidak suka mendengar nama lelaki tidak bernyali itu, Pa," celoteh mama Anita yang terdengar sudah sedikit melunak dari sebelumnya, tapi entah mengapa aku merasakan ketidaksukaan atas sikap yang mama tunjukkan."Mama, jangan membenci secara berlebihan begitu, Arya bukan lelaki yang jahat," jawabku yang akhirnya m
Ketika kedua orang tuaku memaksakan kehendak sesuai dengan keinginan mereka, aku merasa sangat hancur, bahkan membuat separuh hatiku terluka, terlebih lagi ketika kedua orang tuaku mengusirku dari rumah hanya karena lelaki yang bernama Fahri itu, maka seluruh hatiku hancur berkeping-keping menjadi butiran debu.Jika memang jodoh itu adalah ibadah terpanjang dan terlama karena menyempurnakan separuh agama seseorang, maka aku percaya kalau jalan menuju pernikahan itu pasti mudah dan dilancarkan. Namun, bagaimana jika jalan menuju pernikahan itu rumit dan berliku hingga membuat hubungan orang tua dan anak menjadi tidak akur, lantas bagaimana mungkin sesuatu bisa menjadi ibadah jika memulainya dengan pertengkaran dan pertentangan?Aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku karena Allah. Aku diterima dengan baik di keluarganya, dan keluarga calon suamiku juga menerimaku dengan baik seperti putrinya. Ya, karena aku percaya rasa cinta itu ditumbuhkan oleh zat ya
Otakku memikirkan banyak hal salah satunya rencana untuk kabur keluar kota dengan uang yang tersisa."Arya pasti bisa membantuku."Kuraih ponselku dan ku hubungi Arya beberapa kali namun lelaki itu tetap tidak mengangkatnya.Hati kecilku mulai berpikir, mungkinkah Arya memang sengaja meninggalkanku karena tidak ingin bertemu dengan kedua orang tuaku, atau mungkin Arya memang punya masalah dengan mama Anita sehingga ia berusaha menghindari mama Anita. Tapi, apapun yang terjadi dengan Arya dan mama Anita, harusnya lelaki itu tetap bersikap sopan kepada kedua orang tuaku, bukan malah kabur tanpa pemberitahuan sedikitpun."Ah sudahlah, mungkin Arya sedang sibuk."Ku banting ponselku ke ranjang dan terjatuh tepat di posisi kakiku. Aku kemudian membaringkan tubuhku, menutup wajahku dengan selimut berharap aku bisa tertidur dan berharap ketika terbangun semua ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang tidak menjadi kenyataan."Iiiis, bosan!"Aku berteriak sembari mengacak-ngacak rambutku, karena k
Arya berbicara pelan dengan nada yang ditekan, wajahnya terlihat memerah dengan mata melotot, terlihat sekali kalau ia sangat tidak suka dengan keputusan kekanak-kanakan yang kuambil. Ya, walaupun Arya berusia lebih muda dari pada aku, akan tetapi lelaki itu jauh lebih dewasa dari pada aku. Ia menyampaikan nasehat dengan caranya sendiri, tidak keras namun mengenai hati dan perasaanku, seperti anak panah yang langsung menembak tepat ke sasarannya.Aku sangat tahu kalau restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua karena orang tua adalah wakil Allah di dunia. Jauh dari hatiku yang terdalam, aku juga tidak berani untuk melawan dan menentang keinginan orang tuaku, karena aku tidak ingin durhaka seperti malin kundang."Kania, kenapa kamu diam? Jika kamu tidak yakin maka jangan pernah lagi mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu," ucap Arya dengan nada suara yang terdengar lebih ramah di telingaku."Jika Mama dan Papa tetap melanjutka