Share

BAB 5

B A Y I   B U N G K U S   (  6  )
True Story

M  a r l i n a  

Dear Diary,

Aku menjumpaimu lagi. Tak ada penghakiman. Tak ada cemoohan. Bahkan tak ada umpatan yang disemburkan ke depan wajahku. Kau tak akan tertawa. Kau tak akan menganggapku aneh. Dan, kau pasti percaya, yang kualami bukanlah halusinasi.

Diary, malam terasa panjang di sini. Entah, berapa kubik air yang langit tumpahkan ke bumi. Setiap tetesnya merampas ketenangan. Angin yang berembus bersamanya pun menyiksa tulangku dengan rasa nyeri. Malam yang panjang.

Lalu, aku teringat padanya.

Ingatan yang menempel kuat di otakku. Ingatan pertamaku pada makhluk tak kasat mata itu. Ingatan yang memaksaku menyebut namanya terus menerus dalam hati.

Marlina ....

Dia di sini. Di depan jendela kamarku. Tertelan gelap. Tersamar tebalnya pohon mangga.

Marlina ....

Dia benci malam dan hujan. Malam seperti musuh. Tetes hujan seolah ujung pedang yang menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Dia menyapaku. Dalam wujud yang paling tak kusukai. Marlina bagiku, lebih cantik jika terlepas dari bayang petang.

Dulu, aku tak pernah ingin bertemu dengannya. Bagiku, sosoknya menyeramkan. Pencuri anak-anak. Terekam penuh amarah. Suka tertawa dan menakuti.

Namun, saat kutahu kisah sedih yang bersemayam di balik wujudnya. Marlina hanyalah korban kekejian.

Marlina sama sepertiku dan perempuan lainnya, begitu mencintai lelaki yang setia ia tunggu.

Lelaki satu-satunya yang  mampu melepaskan dirinya dari kesedihan dan penyesalan dunia.

***

2000

Waktu merangkak begitu cepat. Setiap menitnya menyisahkan kisah yang tak mungkin Sapardi atau pun Sri lupakan. Tumbuh kembang sang buah hati. Menggemaskan saat pertama kali mengucapkan kata ibu. Membahagiakan tatkala kaki mungilnya menapaki tanah. Kini, waktu meringkus sedikit kebersamaan Sri dengan sang buah hati. Tiara mulai menduduki bangku sekolah, pagi hingga siang hari, dihabiskan putrinya itu untuk belajar.

Ketika usia Tiara semakin meninggalkan bilangan balita, Sapardi dan Sri sepakat mencari rumah kontrakan sedikit lebih besar dengan dua kamar. Pastinya tak terlalu jauh dari sekolah. Kasihan putrinya itu jika jarak tempuh rumah dan sekolah terlampau jauh. Sri yang kini berjualan kerupuk pasir, keliling---untuk membantu perekonomian keluarga----sering tak bisa menjemput Tiara saat jam pulang sekolah.

Rumah sederhana, berlantai beton, serta memiliki dua kamar, jadi pilihan satu-satunya di antara rumah kontrakan lain---meski bagus, uang sewanya mencekik kantong. Ya, walaupun kamar mandi di rumah ini masih jadi satu dengan tuan rumah dan penyewa lain, Sri atau pun Sapardi tak terlalu ambil pusing.

Sri yang memang mudah bergaul, tak sulit bersosialisasi di lingkungan barunya. Setiap sore, selesai berdagang, Sri rutin menyisihkan sedikit waktu untuk mengobrol dengan ibu-ibu  yang memang sering nongkrong di teras rumah tetangga yang berjarak dua rumah dari kediamannya.

Mulai dari kreditan panci, sinetron yang lagi naik daun----pemeran utamanya Ari Wibowo dan Lulu Tobing, sampai prestasi anak-anak mereka di sekolah. Apa pun itu asal tak membicarakan aib orang lain. Namun pembahasan hari ini di luar kebiasaan. Putri Indah, yang masih umur lima tahun, hilang. Kapan?

"Kemarin, padahal ditinggal Indah angetin makanan sebentar. Putrinya cuma main di luar pagar." Dengan menghentak-hentakkan jari telunjuknya yang menggelembung tertimbun lemak, wanita di samping Sri bercerita dengan antusias.

Kemarin? Ah, saat dirinya dan keluarga pergi ke rumah saudara, menghadiri acara kirim doa keleluhur.

Sri yang dianugerahi kadar keingintahuan tinggi, mendengarkan dengan saksama cerita yang terlontar dari mulut yang lain. Seperti drama televisi yang tak boleh ditinggal berkedip barang sedetik pun.

"Gempar. Semua warga keluar rumah. Sedang marak penculikan juga, toh, ibu-ibu," terang wanita bertubuh langsing. Rumahnya kebetulan berhadapan langsung dengan rumah Indah.

Cerita itu bergulir. Putri Indah seperti lenyap ditelan bumi. Tak ada satu pun saksi mata atau barang bukti tertinggal. Sangking kalutnya, Indah sampai lapor ke polisi, padahal belum sampai 1 hari 24 jam. Takut, jika sang putri menjadi korban penculikan. Sebagian warga yang didominasi ibu-ibu menemani Indah. Tak terhitung berapa kali perempuan itu tak sadarkan diri---seorang ibu tak akan hidup tanpa mendengar napas sang buah hati. Sebagian lagi---kebanyakan kaum adam---melakukan pencarian di sekitar desa.

Menjelang maghrib, salah seorang warga mendatangi Indah. Membawa kabar yang cukup melegakan sekaligus membuat bulu kuduk berdiri. Putri Indah ditemukan di bawah pohon juwet belakang rumah yang Sri tempati. Dalam kondisi tak sadarkan diri. Bau anyir darah tercium dari bajunya. Saat sadar pun sang putri tak hentinya menangis.

Indah histeris. Sudah berulang kali ia melewati pohon itu tadi, tetapi sang putri tak ada di sana. Pohon angker. Pohon pemakan anak. Itu julukan yang orang sematkan pada pohon juwet berusia ratusan tahun tersebut.

"Anaknya indah disembunyikan Kuntilanak?" sergah seorang Ibu. Rona wajahnya tampak ketakutan.

"Sepertinya. Harus hati-hati. Oh, Bu Sri bukanya punya anak kecil, ya? Pohon juwetnya itu yang di samping rumah, Bu Sri. "

Sri mengangguk ragu. Terselip juga rasa khawatir dari nada suaranya, "Putri saya usia tujuh tahu."

"Wah, jangan boleh main kalau mau maghrib, Bu," saran seorang ibu bertubuh tambun.

Sekali lagi Sri mengangguk. "Yakin, putri Bu Indah, diambil makhluk itu?" Dia tak begitu saja mencerna cerita itu masak-masak.

"Duh, ini sudah jadi rahasia umum, Bu ... pohon itu memang angker. Dan, Bu Sri ini orang kesekian yang mengontrak rumah. Rata-rata pada nggak betah."

Sri terpengaruh cerita. Ia tak lagi acuh pada makhluk yang mendiami dimensi lain. Mereka ada, dan pernah menampakkan diri.

Buru-buru Sri pamit pulang. Teringat Tiara yang pergi main ke rumah penyewa samping rumahnya. Jika rumah Sri di samping pohon juwet, rumah penyewa tersebut, halamannya menghadap persis ke arah pohon itu. Jaraknya tak lebih dari lima puluh meter

Sri berjalan dipayungi cahaya merah yang makin memudar. Pujian menjelang maghrib, mengencangkan detak jantungnya. Katakutan itu sudah menjangkit dan makin kronis disetiap detik. Lalu, saat Sri berbelok ke arah rumah penyewa itu, tampak sang putri berusaha menjatuhkan buah juwet terendah dengan bilah bambu panjang. Seorang diri ... tidak! Tiara tak seorang diri, ia seolah mengobrol dengan angin.

Pertama kalinya Sri mengamati rupa pohon itu secara intens. Menjulang tinggi. Rimbun. Kulit kayunya menua---cokelat kehitaman. Di sekelilingnya tanaman rumput semata kaki tumbuh subur. Saat melewatinya, terdengar suara sibakan yang mengiris keberanian. Seumpama ucapan selamat datang dari dimensi yang tak kasat mata.

Semakin pendek jarak Sri, semakin jelas kata-kata yang keluar dari mulut Tiara.

"Boleh. Besok main lagi."

Tangan Sri sigap menarik tubuh Tiara. Bambu terlepas. Ada penolakan. Putrinya menangis karena tak ingin pulang. Namun, Sri tak peduli. Ada yang tak beres dengan pohon yang mulai ditinggalkan punggungnya itu.

"Nggak mau pulang. Temanku bagaimana?"

"Teman dari mana! Nggak ada siapa-siapa, Tia!" sentak Sri.

Anehnya, kedua kakinya ini seperti menaggung beban yang lumayan bobotnya. Berat. Bikin ngos-ngosan.

"Tia mau di sini, Buk. Masih mau main. Kasihan Teman Tia!"

Sri berhenti. Wajahnya horor bercampur kesal.

"Teman siapa? Mana? Nggak ada siapa-siapa di sini, Tiara!"

Sorot mata Tiara bergeser ke bawah----area kaki Sri, lalu dengan lugunya, ia berkata, "Ada di kaki Ibu."

***

"Ingat, Tia ... jangan main ke mana-mana sampai ibu pulang." Sembari mengecek kembali kerupuk pasir dalam plastik besar, Sri melirik sang putri.

Tiara duduk di lantai depan meja kaca ruang tamu. Sibuk dengan pensil warna dan gambar pegunungan, mahakarya Sapardi. Seolah sadar Sri menunggu persetujuannya, gadis kecilnya itu mengangguk cepat.

Sri mendesah. Masih segar diingatan kejadian kemarin sore ketika Tiara menunjuk kakinya. Tak ada apa-apa. Namun, putrinya itu bersikukuh, jika teman mainnya duduk sembari mencengkeram pergelangan kaki kirinya. Seharian hatinya dihimpit kecemasan. Tak tenang. Bahkan ketakutan sendiri. Saat Sapardi pulang, diceritakanlah semua silah pola Tiara yang dirasanya ganjil. Tanggapan sang suami enteng. Cukup temani saja. Jangan ciptakan spekulasi menyeramkan yang berujung pada permintaan pindah rumah. Tak sepeserpun uang yang ia kantongi. Gaji bulan lalu ludes untuk membayar kontrakan ini. 

Himpitan ekonomi nyatanya telah merubah pola pikir sang suami. Sapardi yang dulunya begitu percaya akan makhluk tak kasat mata, seolah mengubur kepercayaan itu ke dasar tanah. Pekerjaan di pabrik yang memaksanya sering lembur sampai tengah malam, perlahan mengasah keberanian. Kalau boleh dibandingkan dengan rumah ini, pabrik Sapardi terkenal lebih angker. Desas-desus yang beredar, pabrik itu dibangun di atas lahan bekas rawa-rawa tempat buang mayat.

"Ingat, ya, Tiara ... Nggak boleh main ke rumah Mas Fajar."

Fajar itu nama putra penyewa sebelah.

"Tia di rumah, Bu," jawab Tiara, tanpa repot menoleh sang Ibu.

Andai bukan karena perut yang mesti diisi setiap hari, Sri tak bakal meninggalkan Tiara seorang diri. Hari minggu menjadi hari dimana lumbung rezekinya terisih penuh. Kereta angin siap ia kayuh menuju alun-alun Sidoarjo. Pedagang berkumpul di sana. Mencari peruntungan yang sama. Jika di hari biasa kerupuknya hanya laku paling banyak lima bungkus. Ketika akhir pekan, apalagi Sri berangkat pagi buta begini, dipastikan dagangannya bisa ludes terjual.

"Kunci rumahnya dari dalam, ya, Tiara?"

Tiara berhenti memoles gundukan lebih mirip bukit dibanding gunung itu. Meletakkan pensil warna, lalu menoleh pada Sri dengan sorot mata yang berpendar heran.

"Ibu ... Sudah siang. Ibu nggak berangkat?"

Sri mengangguk. Ah, apa yang perlu dicemaskan? Bukan sekali dua kali Tiara di rumah sendiri. Putrinya itu pemberani. Tak pernah menangis. Penurut. Suka di rumah ketimbang main. Kalau bukan ia yang memintanya main ke rumah tetangga, Tiara tak akan keluar rumah. Jangan berlebih Sri! Lagi pula, pukul sembilan nanti, kamu sudah di rumah lagi.

"Ibu berangkat, Nak. Assalamualaikum," pamit Sri akhirnya.

Tiara bangun. Menghampiri. Mengecup tangan Sri. Mengantar wanita yang pagi itu menggenakan tunik merah jambu dan celana kain, pergi mengais rezeki.

Ketika sang Ibu tak lagi terlihat oleh indra penglihatannya, Tiara menutup pintu. Membalikkan badan, lalu tersenyum girang.

"Mbak Marlina?"

Marlina duduk di kursi. Tersenyum. Kulit putihnya bersemu merah. Rambut sebahunya terurai rapi. Hanya saja, Marlina tak pernah berganti pakaian. Kebaya putih model lawas, dipadu dengan kain jarik setinggi lutut itu terus yang ia pakai.

"Ibuku sudah berangkat," lapor Tiara. Marlina pasti datang ketika Tiara sendiri.

"Lihat, ini gambar gunung buatan Bapakku," ucapnya sembari duduk di sebelah perempuan itu dan memamerkan buku gambarnya.

Tak ada suara. Marlina bungkam. Ya, dua hari bermain dengan Marlina, Tiaralah yang lebih banyak bicara.

"Rumahmu di mana? Boleh aku main ke rumahmu?"

Marlina menggeleng.

"Jauh?"

Marlina mengangguk, senyum simpulnya mengiringi.

------ ----- ------

Tiara bergerak tak tenang dalam tidurnya. Perutnya melilit. Efek makan nasi di malam hari mulai terasa. Tak mungkin membangunkan ibu yang pastinya sudah tidur. Akhirnya, gadis kecil yang lebih senang tidur sendiri ketimbang bersama kedua orang tuanya itu, turun dari ranjang. Terbirit-birit melewati ruang tamu. Sempat menoleh ke arah jam dinding di atas akuarium dan mendapati kedua jarumnya menunjuk angka dua.

Perutnya kembali bergejolak---Alarm darurat yang memaksa tubuh mungilnya melewati ruang tengah, membuka pintu dapur dan berbelok ke area kamar mandi. Sumur terlewati. Kamar mandi dan toilet dibangun dalam bilik berbeda.

"Sakit," rintihnya. Membuka pintu toilet dan menutupnya agak keras.

Lega. Sakit di perutnya pun berangsur lenyap. Sembari menunggu hajatnya beres, Tiara memukul ringan air dalam bak yang dibuat dari semen sampai beriak. Memecah kesenyapan. Menandingi gesekan ranting pohon juwet  ke  jendela yang tingginya tak lebih dari leher orang dewasa saat berdiri.

Setelah selesai, Tiara cepat-cepat keluar dari toilet. Namun langkahnya terhadang. Wanita yang sangat ia kenal berdiri di sana.

"Mbak Marlina, kok di sini?"

Tiara mendekat. Sedikit demi sedikit. Marlina tak menyambutnya dengan senyum seperti biasa. Dan, dari mana dia masuk. Semua pintu yang mengarah ke luar rumah terkunci.

"Mbak?" panggil Tiara lagi.

Marlina menunduk dengan rambut terurai acak-acakan----menutupi wajah. Kebaya putihnya penuh bercak merah.  Seperti saos tomat sengaja disiram ke badannya. Saat jarak Tiara tak lebih dari dua lebar bahu, Marlina mendongak. Menyeringai, dengan kelopak mata mendelik lebar. Wajahnya tak mulus. Borok memenuhi sebagian paras cantiknya. Bau anyir tercium dan sukses membuat Tiara menyumbat hidung rapat-rapat.  Gadis kecil itu bergerak mundur. Marlina mendekat. Langkahnya sudah seperti tongkat kayu yang reot. Detik selanjutnya, ia terbahak. Cairan entah apa itu, mengalir dari dalam mulutnya.

Tiara menjerit sekencangnya. Jeritan yang membuat Marlina lari terseok-seok masuk ke dalam toilet. Meninggalkan gadis kecil itu seorang diri. Menggigil ketakutan. Terduduk di lantai bersimbah peluh, dan air mata.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status