Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya.
Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang.
"Belum mengantuk, Nak?"
Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah membuat Wirya tak ingin melewatkan ekspresi lucu yang dibentuk Laksmi. Terlalu berharga jika tidak diabadikan oleh matanya secara langsung.
"Kapan ngantuknya, Nak?"
Bagi Wirya, seorang anak merupakan anugerah terindah dan titipan khusus yang telah Tuhan percayakan untuk dijaga dalam pernikahan mereka. Dan Wirya tak akan pernah membiarkan perceraian terjadi. Semua harus coba dipertahankannya. Masa depan yang lebih baik berusaha dengan sekuat tenaga mulai ditatanya. Meredamkan segala keegoisan yang menimbulkan kehancuran.
"Nak, Papa minta maaf." Kelirihan mendominasi suara berat Wirya yang dialunkan serius. Pria itu tahu benar sang putri belum dapat memaknai ucapannya. Tapi, paling tidak Laksmi akan mendengarkan.
"Papa membiarkan Mama sendirian melahirkan kamu, Nak. Maafin Papa yang nggak bisa menemani Mama."
Wirya tidak peduli dengan kerapuhan yang saat ini sedang diperlihatkannya dihadapan sang putri. Tampak juga mata Wirya berkaca-kaca. Rasa sesak menghampirinya manakala melihat keluguan terpancar nyata di masing-masing manik cokelat milik Laksmi yang menatapnya dalam keluguan. Ia pun mudah terbawa perasaan.
"Harus selalu sehat dan kuat ya, Nak? Papa akan jaga Laksmi dan Mama."
Sebuah kecupan sayang lantas Wirya berikan di bagian dahi putrinya guna menyalurkan afeksi sebagai seorang ayah. "Laksmi nggak boleh jauh-jauh lagi dari Papa. Janji, Nak?"
"Laksmi dan Mama sangat berharga bagi Papa. Tanpa kalian, Papa nggak akan pernah hidup bahagia." Wirya masih menyematkan kesungguhan dalam lontaran kata.
Senyuman Wirya melebar bersamaan dengan cairan bening yang sejak tadi telah menggenang di pelupuk mata turun membasahi pipi. Ada kesedihan yang tidak mampu Wirya ungkapkan secara lisan dan gamblang. Ia juga tak suka menangis, akan tetapi semua itu cukup mewakili bagaimana perasaan yang menggerogoti hatinya.
"Papa siap berkorban dan melakukan apa pun untuk melindungi kalian. Laksmi dan Mama adalah tanggung jawab Papa sampai mati nanti," ucap pria itu begitu tegas dan juga penuh keseriusan.
"Buatlah keputusan secepatnya, Wi."
Wirya sedikit terkaget karena tiba-tiba saja suara Latri menyapa lembut indera pendengarannya. Pria itu lalu mengalihkan perhatian sebentar ke arah istrinya berada, tepat di sebelah kiri ranjang yang mereka tempati bersama. Mengulas senyuman terbaik dikala memperoleh tatapan menuntut dari istrinya itu.
"Aku akan meninggalkan perusahaan, Sayang. Sesuai permintaanmu," jawab Wirya memberi tahu keputusannya.
"Jangan pernah meminta cerai dariku lagi, Latri." Perkataan pria itu lebih terdengar seperti memohon.
"Apa boleh aku menginginkan satu hal lagi padamu, Wi?"
"Katakan saja, Sayang," balas Wirya cepat. Memperbolehkan. Atau nanti akan sanggup mengabulkan apa yang diminta istrinya.
"Apakah kamu mengizinkanku untuk membalas rasa sakit yang aku sudah alami akibat perlakuan Ibu dan Ayah kamu, Wi?"
===============================
Sejak lontaran pertanyaan dari sang istri yang belum bisa dijawabnya pagi kemarin, Wirya pun merasa jika hubungan mereka kian merenggang dan canggung. Tidak banyak obrolan panjang yang tercipta, walau mereka berdua lebih banyak menghabiskan waktu untuk sama-sama merawat serta juga menjaga Laksmi di rumah.
Tempat tinggal yang dimaksud di sini adalah kediaman Latri. Sudah hampir tiga hari belakangan Wirya selalu inapi demi dapat berkumpul dengan buah hati dan istrinya. Ia tidak ingin mengulang perpisahan untuk yang kedua kali. Tak akan pernah mampu baginya jika harus menghadapi rasa kehilangan lagi.
"Sudah tidur?"
Anggukan pelan dari Latri cukup mudah ditangkap oleh sepasang mata Wirya yang sejak tadi memang tidak henti memerhatikan dan memandangi wajah cantik istrinya itu. Wirya tahu bahwa Latri secara sengaja menolak untuk menatap dirinya. Dan alasan kuat yang melatarbelakangi tak lepas dari kebungkamannya juga mengenai permintaan diajukan oleh sang istri kemarin.
"Biar aku saja yang gendong Laksmi. Sekarang lebih baik tidur, Latri."
"Aku lihat kamu juga sudah lelah. Istirahatlah, Sayang," saran Wirya. Pria itu lantas beranjak bangun dari posisi duduk pada pinggiran ranjang guna mengambil putri kecilnya yang sedang berada dalam gendongan sang istri.
"Laksmi ditidurkan di boks saja, Wi. Jangan digendong. Kamu juga butuh istirahat. Tidurlah lebih awal."
Wirya tak mampu menyembunyikan perasaan bahagia menerima sebentuk perhatian dari istrinya. Dan segaris senyum pun dibentuk Wirya melihat sorot keteduhan di masing-masing manik milik Latri disaat mata mereka saling bersitatap.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" Pria itu bertanya. Terkesan seperti tengah meminta persetujuan.
"Tentu, Wi." Latri pun secepatnya memberi jawaban atas permintaan sang suami. Mereka memang harus berbicara, masalah yang ada harus segera memperoleh titik temu atau solusi.
Wirya tak membalas dalam kata, hanya senyum tipis diulasnya seraya mengangguk pelan. Pria itu lantas mengakhiri komunikasi yang tidak ada lima menit berlangsung tersebut untuk menaruh putri kecil mereka di boks bayi. Setiap kali menyaksikan kedamaian pada wajah buah hati mereka saat tertidur, maka pikulan beban serta pikiran-pikiran rumitnya hilang sejenak.
"Selamat malam, Nak. Tidur yang nyenyak. Papa akan di sini menjaga Laksmi," ucap Wirya setelah sukses membaringkan tubuh mungi putrinya di dalam boks. Kemudian, ditutupi oleh selimut yang cukup tebal.
Wirya tak lupa juga memberi ciuman di bagian kening Laksmi dengan segenap kasih serta rasa sayang coba pria itu salurkan. "Love you, Nak."
Dan masih di kamar serta waktu yang sama, Latri begitu tersentuh akan momen antara ayah dan buah hatinya. Kehangatan, kepedulian, dan juga ketulusan sang suami kepada Laksmi. Memang tak salah jika keputusannya mempertemukan kembali Wirya dengan putri semata wayang mereka. Tidak ada yang mampu memisahkan ikatan darah. Ia memahami betul.
"Latri ...,"
Panggilan lembut suaminya, berhasil membuat Latri tersadar dari lamunan. Wanita itu langsung saja menatap sekaligus menarik kedua sudut-sudut bibirnya guna membentuk senyuman. Walau, tak terlalu lebar. Latri sempat merasa kaget ketika sang suami yang sudah kembali duduk di tepian kasur bersamanya, tiba-tiba memeluk erat.
"Maafkan aku." Wirya pun berucap dengan sesungguhan bercampur rasa bersalah.
"Kenapa meminta maaf, Wi?"
"Aku tidak akan bisa melihat kamu membalas semua perlakuan buruk orangtuaku selama ini, Latri. Mereka tetaplah Ayah dan Ibuku. Balaskan semua rasa sakitmu padaku saja."
"Aku tidak akan melakukannya, Wi."
Selepas kata-kata bernadakan tegas terlontar dari mulutnya, Latri dapat merasakan jika dekapan sang suami yang awalnya erat, detik ini sedikit mengendur. Latri tahu Wirya terkejut mendengar pernyataanya.
"Jawaban ini yang aku tunggu, Wi. Seburuk apa pun perlakuan dan sikap orangtuamu selama ini. Kamu harus menghormatinya." Latri meneruskan.
"Aku sudah memaafkan mereka. Tapi, kalau Ayah dan Ibumu berupaya untuk menyakiti Laksmi. Aku tidak akan bisa diam. Aku punya tanggung jawab melindungi putri kita," imbuh wanita itu. Menegaskan prinsip yang dipegangnya. Ia tak dapat mengalah jika berkaitan dengan anak mereka.
"Sama, Latri. Aku juga tidak akan pernah membiarkannya. Aku berjanji padamu."
================================
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me
Semula, Laksmi sedang asyik menonton kartun kesukaannya yang sedang terputar di layar televisi seraya mengemil biskuit. Akan tetapi kemudian, batita itu merasa sedikit kaget karena tiba-tiba tubuhnya yang mungil diangkat sang ayah guna digendong."Papa ...," Laksmi mengeluarkan gumaman dalan nada lucu dan raut keceriaan menghias wajah imut batita itu."Nontonnya dilanjutkan besok, ya, Nak? Laksmi sekarang bobok sama Mama. Oke, Sayang?"Laksmi segera menganggukkan kepala semangat dan mengerti akan perkataan yang dilontarkan oleh sang ayah. Senyuman menggemaskan batita itu masih dipamerkan, saat memandangi ayahnya dalam tatapan yang polos, juga lugu."Sini, Sayang."Sepasang mata dengan iris warna hitam Laksmi lantas terarah ke asal suara ibunya terdengar. Lebaran senyum lucu batita perempuan itu semakin bertambah, tatkala menangkap botol susunya berada di tangan sang ibu. Laksmi terlihat kian girang dan senang kala sudah turun dari gendongan ayahnya
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me
Sudah hampir 1,5 jam, Ibu Ratna menggendong tubuh mungil Laksmi sembari duduk nyaman pada salah satu kursi terbuat dari kayu pilihan dengan kualitas bagus yang tampak berderet rapi di sudut lain dalam kamar beliau. Ibu Ratna tidak merasa lelah, walau berat badan cucu beliau terbilang berat.Ibu Ratna terlihat sangat menikmati betul momen mengasuh Laksmi yang malam ini akan menginap di rumah. Pertemuan beberapa jam lalu langsung mampu menumbuhkan rasa sayang Ibu Ratna yang besar terhadap cucu beliau. Ikatan darah tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun, pasti ada dan punya cara tersendiri dalam menyatukan kembali. Meski, terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat."Laksmi biasa tidur malam di rumah?" Ibu Ratna coba kembali memulai interaksi menyenangkan dengan cucu beliau.Walau, hanya mendapat respons anggukan kepala singkat sebagai jawaban, Ibu Ratna tak kecewa. Raut di wajah beliau kian menampakkan rasa bahagia yang nyata. Bahkan, Ibu Ratna tak berhenti