Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit.
Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu.
Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat.
Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas.
"Laksmi gimana boboknya? Nyenyak ya?" Latri pun mengawali monolog dalam nada sangat lembut. Suaranya dibuat tidak terlalu keras. Tatapan teduh juga diperlihatkannya.
Sementara itu, respons yang mampu Laksmi tunjukkan hanya baru berupa senyuman. Tidak berlangsung lama, sekitaran lima detik saja. Tetapi, hal tersebut telah bisa menciptakan rasa bahagia untuk sang ibu.
"Laksmi mau minum susu apa ASI sekarang? Putri Mama ini kayaknya udah haus ya?" Latri melanjutkan kegiatan mengajak buah hati mereka mengobrol dan menambah tebakan di dalamnya.
"Hm, gimana kalau minum ASI ya, Nak? Agar Laksmi makin sehat dan kuat. Cepat gede juga nanti." Wanita itu belum ingin mengakhiri monolog yang cenderung terjadi satu arah tersebut.
Selesai berucap, Latri lantas mencoba menuntun putri kecil mereka untuk menyusui. Lebih tepatnya, mengisap salah satu puting susu dengan baik dan supaya bisa memperoleh asupan ASI secara maksimal, tidak setengah-setengah.
"Hati-hati, Laksmi," ingat Latri saat sadar jika putrinya sedang mengedot dengan tak sabaran. Terkesan buru-buru. Mungkin karena rasa haus yang besar.
Sunggingan senyum di wajah Latri belum tampak memudar. Wanita itu tidak bisa melakukannya. Latri ingin memerlihatkan senyuman terbaik selama ditatap oleh buah hati mereka. Menurutnya, ekspresi tersebut akan menjadi salah satu media dan juga ungkapan atas rasa sayang teramat.
Dan tanpa Latri ketahui, sedari tadi interaksi bersama Laksmi disaksikan Wirya, suaminya. Pria itu berdiri di depan pintu kamar mandi, letaknya tak jauh dari sofa yang sang istri tempati. Wirya memang sengaja tak cepat-cepat bergabung dengan istri serta putri mereka. Akan tetapi, detik demi detik momentum kebersamaan keluarga kecilnya tak terlewatkan.
Keheningan yang terasa damai begitu cepatnya digantikan oleh ketegangan manakala sosok Pak Indra memasuki kamar utama di rumah Latri tersebut tanpa permisi terlebih dahulu. Semua dilanda kekagetan. Suasana dingin dan sedikit mencekam tidak mampu dihindari.
"Kenapa Ayah datang di sini?" tanya Wirya dengan sorot tajam. Langkah kaki pria itu kian mendekat ke arah ayahnya yang berdiri di pintu kamar. Bergeming di sana dengan tatapan penuh amarah.
"Seharusnya Ayah yang bertanya seperti itu padamu, Anak Sialan! Apa yang kau lakukan di sini berhari-hari di rumah ini sampai tidak bekerja dan pergi ke kantor!" Pak Indra semakin meradang serta menumpahkan semua emosi dalam kata-kata kasar.
"Aku su—"
Ucapan Wirya harus tertahan sejenak diakibatkan oleh tangisan keras yang dikeluarkan Laksmi secara mendadak dan sedang berusaha ditenangkan sang istri. Wirya tidak tega. Ia merasa sangat bersalah kini.
Semua disebabkan olehnya, Wirya menyesal karena tak dapat menahan keingintahuan tentang kehadiran ayahnya di kediaman Latri pagi ini. Semua tak sesuai dugaannya. Wirya pun sama sekali tak menyangka jika sang ayah akan datang menemuinya.
"Lebih baik kita bicara di luar saja, Ayah. Aku tid—"
PLAK!
Tamparan keras Pak Indra mengenai pipi kiri anak laki-laki tertua beliau dan membuat Wirya tidak sempat menyelesaikan kalimat yang hendak dilontarkan secara utuh. Sementara, tangis Laksmi belum bisa diredakan. Bayi perempuan yang sebentar lagi akan menginjak umur 2 bulan itu seolah tahu jika situasi buruk tengah terjadi.
PLAK!
Satu tamparan tambahan didapatkan Wirya, mendarat sempurna di pipi yang sama. Pak Indra benar-benar tak kuasa mengendalikan gejolak emosi di dalam diri. Amarah beliau sudah mencapai batas akhir.
"Anak kurang ajar! Anak sialan! Anak tidak tahu diuntung! Berani sekali kamu mengundurkan diri dari perusahaan tanpa minta izin kepada saya!"
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m