Latri sangat bersyukur akhirnya dapat mengandung kembali. Bahkan, buah hati keduanya berjenis kelamin laki-laki, sesuai dengan permintaan ayah dan sang ibu mertua. Latri senang bisa menjadi menantu yang berguna. Kebahagiaan hanya berlangsung sebentar, calon bayinya meninggal. Pupus sudah harapan terbesar Latri. Ia sempat terpuruk. Namun, sang suami membawa seorang bayi lucu ke rumah. Mereka akan mengangkatnya sebagai anak. Dan, saat Latri benar-benar menaruh rasa sayang yang besar pada bayi itu. Maka, ia tertampar kenyataan begitu pahit. Hilang sudah kepercayaan pada sang suami. Pria itu bukan suami terbaik, ia telah disuguhkan kebohongan yang apik. Rasa benci pun mengalahkan keinginan untuk mencintai balik Wirya. Bahkan, hendak berpisah.
Lihat lebih banyak"Kalian akan segera menikah karena Latri sedang mengandung cucu Ayah. Benar begitu, Nak?"
Wirya langsung menganggukkan kepala, membenarkan apa yang ingin dikonfirmasi oleh sang ayah tentang rencana pernikahannya bersama Latri. Tak ada keraguan dalam diri Wirya ketika mengambil keputusan tersebut. Ia telah merasa yakin. Walau, harus sedikit dibumbui dengan kebohongan di dalamnya.
Terkhusus mengenai kehamilan Latri yang hanya sandiwara belaka. Wirya bahkan belum pernah menyentuh wanita itu melebihi ciuman di bibir. Namun, ia tidak mempunyai cara lain untuk dapat digunakan dalam rangka mempertahankan Latri agar selalu berada di sisinya. Meskipun, sangat terkesan memaksa dan egois.
"Ayah tidak mempermasalahkan hal ini. Akan tetapi, sebelum upacara pernikahan kalian berdua resmi digelar. Kehamilan Latri harus kita sembunyikan demi menjaga nama baik keluarga agar tidak tercoreng."
Wirya terlihat mengangguk sekali lagi, menyetujui permintaan dari sang ayah. Pria itu kemudian menolehkan kepala ke samping kanan guna ingin mengetahui reaksi Latri yang sejak tadi hanya diam, tidak mengeluarkan suara atau tanggapan.
Dan saat mata mereka saling beradu pandang, Wirya tak dapat menampik jika terpancar kesedihan dan juga keputusasaan dalam manik cokelat milik Latri. Semua pasti memang ada kaitannya dengan pernikahan mereka. Namun, Wirya memilih tidak peduli.
"Ayah sangat mengimpikan jika calon cucu pertama Ayah adalah laki-laki. Ayah akan menjadikan anak kalian berdua sebagai pewaris utama perusahaan keluarga."
Sebentuk seringaian puas dibentuk kedua bibir Wirya pasca mendengar harapan yang besar dari ayahnya. Ia pun turut menginginkan. "Saham saya dan Latri sudah cukup mampu mendukung anak kami supaya dapat menduduki posisi utama dan tertinggi di perusahaan nantinya. Ayah tidak perlu khawatir."
"Latri, tolong jaga calon cucu kami sebaik-baiknya. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya."
Lengkungan senyuman harus dengan terpaksa Latri perlihatkan di hadapan Pak Indra. Wanita itu tak mempunyai kekuatan untuk tidak melakukan akting di tengah-tengah kebohongan tentang kehamilannya. Ia sedikit pun tak ingin mengikuti permainan Wirya, tapi di sisi lain dirinya juga tidak bisa berkelid.
"Saya akan berusaha menjaga calon anak kami dengan baik, Paman," ujar Latri tanpa menciptakan keraguan dalam suaranya.
"Berikan kami cucu laki-laki, Nak. Bukan perempuan. Yang kami berdua butuhkan adalah penerus perusahaan."
......................................................
Hampir lebih dari satu bulan, Latri telah menyandang status sebagai istri seorang Wirya. Dan menetap secara permanen di rumah mewah berlantai tiga suaminya itu. Kediaman yang mereka diami bisa dikatakan megah dengan fasilitas lengkap.
Wirya memang sengaja menyiapkan semua untuk kenyamanan Latri, tapi wanita itu tidak dapat merasakan hal demikian. Nyatanya Latri cukup tertekan hidup dan menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah. Ia tak dapat pergi ke luar secara leluasa dikarenakan Wirya selalu mengawasi.
Dan paling tidak untuk hari ini, Latri tak akan larut dalam kesendirian serta rasa sepi, mengingat ibu mertuanya memiliki jadwal berkunjung ke rumah mereka. Kehadiran Ibu Ratna belum sepenuhnya dapat membuat Latri nyaman. Ia sedikit diselimuti rasa canggung. Permasalahan di masa lalu hingga berlanjut hingga kini jadi salah satu faktor penyebab.
"Bagaimana kabarmu, Nak?"
Lati mengulas senyuman lumayan lebar guna menyambut pertanyaan yang beberapa detik lalu dilontarkan oleh ibu mertuanya. "Saya sehat, Bi."
"Kenapa masih saja memanggil saya Bibi, Nak Latri? Saya sudah menjadi Ibu kamu."
Ukiran senyum Latri belum memudar, tetapi juga tak bertambah. "Maaf, Bi."
Wanit itu menjeda tidak kurang dari tiga detik sebelum menjawab, "Ibu. Ya maksud saya Ibu." Latri berupaya meralat cepat.
"Jangan canggung begitu, Nak. Tidak apa-apa. Ibu tahu kamu butuh proses dan waktu," balas Ibu Ratna dalam nada yang terdengar santai. Beliau coba untuk membangun keakraban sebagai keluarga lebih kuat dengan menantunya.
Sementara itu, Latri semakin tidak memperoleh kenyamanan walaupun sang ibu mertua menyuguhkan senyum serta sikap yang hangat. Ia pun dapat melihat pula sorot kepura-puraan di mata Ibu Ratna. Latri belum bisa merasakan ketulusan ibu mertuanya.
"Wirya pulang kantor jam berapa nanti, Nak?"
"Mungkin agak malam, Bu. Akhir-akhir ini dia sering lembur," jawab Latri sesopan mungkin demi menjaga rasa hormatnya.
"Wirya harus mementingkan urusan pekerjaan dan perusahaan. Meski, dia tidak bisa memberikan perhatian penuh padamu. Ibu harap kamu bisa menjaga calon cucu kami dengan baik," pesan Ibu Ratna dalam nada bicara yang serius.
Wanita paruh baya itu juga menatap lekat menantunya. "Ibu tidak ingin hal yang buruk terjadi pada penerus utama keluarga kami, Latri. Calon anak pertama kamu dan Wirya adalah aset berharga bagi kami."
"Iya, Bu. Baik." Ketegasan Latri saat menjawab sangat mampu berpesan menutupi kebohongan Wirya yang ia ikuti sejak awal. Latri tak memiliki pilihan lain.
"Ibu juga sudah menemukan dokter spesialis kandungan yang menurut Ibu terbaik dan akan bertugas untuk melakukan pengecekan serta kontrol pada kandunganmu sampai waktu bersalin tiba."
Selepas mendengar pemberitahuan dari ibu mertuanya. Mau tidak mau, Latri pun mengeratkan pegangan dua tangannya di masing-masing lengan kursi roda yang sedang didudukinya. Raut keterkejutan tak mampu untuk disembunyikannya.
"Do... dokter kandungan, Bu?" Latri memastikan. Tadi, mungkin ia salah dengar.
Ibu Ratna mengangguk dengan gaya anggun beliau. "Dokter kandungan pribadi. Kamu dan Wirya tidak perlu pergi ke rumah sakit untuk periksa. Di klinik dokter itu sudah ada alat-alat yang lengkap."
"Baik, Bu." Lagi-lagi Latri tak punya pilihan, selain terus mempertahankan akting dan kebohongan. Sungguh, ia tidak suka dengan jalan seperti ini.
"Ibu akan segera memperkenalkan dokter itu padamu. Sekitaran satu atau dua minggu lagi. Ibu sudah tidak sabar melihat hasil USG calon cucu pertama kami. Kamu setuju, Nak?"
Ketegangan melanda Latri. Tubuhnya ikut kaku. Bahkan, wanita itu tak bisa menghirup oksigen secara maksimal karena rasa kaget yang semakin besar. Semua terasa begitu sangat mendadak. "I...iya, Bu."
..................................
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen