Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat.
Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka?
Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari.
"Laksmi sudah tenang?"
Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya. Latri paham akan arti dari pancaran tersebut.
"Sudah, Wi. Sekarang lagi tidur."
Selepas menjawab pun Latri masih memusatkan pandangan pada sosok sang suami yang kini duduk di bagian sisi kirinya. Ketika Latri memberikan atensi lebih, Wirya seakan tak ingin melakukan kontak mata dengannya. Ada sesuatu yang coba untuk pria itu sembunyikan. Tidak mau berbagi masalah bersama.
"Papa minta maaf. Jangis nangis lagi, Cantik."
Mulai dari ucapan tulus Wirya hingga pemberian afeksi oleh sang suami berupa kecupan dalam di kening dan pipi putri kecil mereka, tak pernah luput dari penglihatan Latri sedetik pun. Sementara, interaksi diantara dirinya dan Wirya belum juga terjalin bagus. Semua seperti disengaja oleh pria itu. Latri membutuhkan alasan dari keseluruhan sikap yang sedang diperlihatkan suaminya.
"Wi, apa yang terjadi?"
"Tidak terjadi apa-apa," balas Wirya sembari meyakinkan lewat tatapan lekat serta senyum simpul yan
"Jangan berbohong padaku. Tidak mung—"
Latri memutuskan kata-kata yang hendak diucapkan ketika tengkuknya sedikit ditarik sang suami, kemudian diakhiri dengan bibir mereka berdua yang menyatu. Tubuh wanita itu kaku seketika manakala pagutan mulai dilakukan oleh Wirya. Tak menggebu, namun penuh perasaan.
Jujur, Latri kini dihinggapi sekelumit ketidaknyamanan. Bukan risih, hanya belum siap. Mengingat, sudah hampir berbulan-bulan lamanya mereka tak terlibat sentuhan secara fisik. Kecuali berpelukan beberapa hari lalu saat baru berjumpa.
Latri tidak membalas ciuman Wirya juga tak berniat sedikitpun untuk mengakhiri satuan bibir mereka. Menurut wanita itu, suaminya masih pantas menerima. Selama mereka terikat dalam sebuah pernikahan dan menyandang status sebagai pasangan suami-istri yang sah.
"Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku akan melakukan apa yang kamu minta," ujar Wirya setelah selesai memagut bibir istrinya dalam durasi waktu cukup lama. Bisa dihitung dua menit. Tatapan lekat serta begitu serius Wirya lalu tunjukkan tatkala Latri memandang ke arahnya.
"Aku tidak keberatan mengorbankan apa yang aku miliki asal bisa terus hidup bersama kamu dan Laksmi. Termasuk tidak dianggap anak lagi oleh orangtuaku."
Mendengar ucapan sang suami, rasa bersalah langsung saja menghampiri Latri. Benar, ia tak harusnya bersikap egois, tanpa memikirkan dampak buruk karena keinginannya semata untuk pria itu. "Maafkan aku, Wi. Aku tidak mesti minta kamu mundur dari perusahaan."
"Aku minta maaf, Wirya." Latri tidak mampu menghindari penyesalan.
"Bukan salah kamu. Dengan membuat keputusan mengundurkan diri dan berhenti bekerja. Aku semakin tahu bagaimana karakter orangtuaku yang sebenarnya."
Wirya tidak mengalihkan perhatian, tatapannya terus mengarah lurus ke mata sang istri yang memancarkan keteduhan. "Aku bisa menerima jika Ayah dan Ibu menentang pernikahan kita. Tapi, kenapa mereka malah tidak mengakui Laksmi sebagai cucu?"
"Apa salah anak kita, Latri? Kenapa dia harus ikut menjadi korban? Aku tidak becus bukan?" Tanpa pernah direncanakan, mata Wirya berkaca-kaca.
"Ibu bahkan tega ingin melenyapkan kehadiran Laksmi saat masih kamu kandung, Latri. Bukankah orangtuaku kejam dan tidak memiliki hati nurani. Mereka sangat tega."
Keterkejutan diperlihatkan Latri. Ia tak menyangka bahwa suaminya akan mengetahui kejadian di masa lampau tersebut. "Dari mana kamu tahu, Wi?"
"Apa menurutmu aku tidak akan bisa mengetahui semuanya, Latri?" Wirya sedikit terpancing emosinya akibat pertanyaan yang dilontarkan oleh sang istri.
Usapan halus lantas Latri berikan di bahu sang suami yang sekarang ikut bergetar. Dadanya perih. "Tidak usah diungkit, Wi. Kita sudah bisa melalui secara perlahan masalah yang datang. Laksmi sekarang ada bersama kita."
"Maafkan orangtua kamu, Wi. Mereka mungkin hanya ingin yang terbaik untukmu. Dan aku bukan menantu yang diinginkan oleh Ibu atau Ayah kamu, Wirya. Permasalahannya ada di sana."
Latri menunjukkan senyum terbaik yang mampu diperlihatkannya. "Kita punya tugas besar dalam merawat dan membesarkan Laksmi. Kita harus membuktikan ke orangtuamu kalau putri kita suatu saat nanti pasti akan pantas menjadi cucu mereka."
....................
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m