"Jaitan lo gimana? Gue bayanginnya ngilu sendiri."
Jasmine Putri, mengambil toples cookies dari ruang tamu dan langsung melahapnya. Satu-satunya teman dekat Rara ini datang berkunjung. Jasmine sudah mulai disibukan dengan dunia perkuliahan. Sejak dulu dia bercita-cita menjadi Diplomat untuk Inggris, biar gampang pedekate sama bule-bule British. Dan sekarang Jasmine berhasil masuk ke jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas swasta. Rara bangga dan... sedikit iri.
Seperti apa sih rasanya berkuliah?
"Udah lumayan kering, tapi masih sakit." Rara menyodorkan segelas sirup. "Lusa paling gue ke rumah sakit lagi buat lepas jaitan."
Airin telelap di kasur yang sengaja digelar di ruang tengah. Ditutupi kelambu cantik berwarna pink pemberian Jasmine. Dia membawa hadiah ini itu sampai-sampai Rara jadi enak. Serius, Rara sih terima-terima saja dikasih hadiah segini banyak. Memang dasar semprul anaknya.
"Duh, gue ngeri liat lo jalan. Udah entar gue bisa ambil sendiri kalau mau apa-apa. Lo diem aja." Mimik wajah Jasmine horor karena cara jalan Rara menurutnya aneh.
"Mas Abi tadi udah masak. Lo makan dulu gih."
Iya, pagi-pagi buta sebelum berangkat ngantor suaminya sempatkan memasak. Jujur, masakan Abi lebih enak ketimbang Rara. Dia mah apa ya, istilahnya anak kemarin sore. Belajar masak pun baru sejak berkeluarga. Walaupun begitu, Abi selalu menandaskan apapun yang dimasak Rara terus memuji; 'Enak, Ra.' Sesimpel itu dan setelahnya Rara selalu berkeinginan naik level dalam hal dapur.
"Sumpah Pak Abi masak?! Suamiable banget deh, Ra! Udah ganteng, baik, bisa masak juga."
Rara mau ketawa sebentar. Pak Abi? Iya sih, dulu Bapak Abimanyu Wicaksono adalah guru mereka. Tapi tetap saja Rara geli mendengarnya.
"Iya, Mas Abi belum bolehin gue ngurus rumah."
"Alibi kali. Biar lo cuma ngurusin dia doang." Timpal Jasmine seraya tersenyum mesum.
"Otaknya tolong ya, ukhti. Dijaga baik-baik."
Tawa Jasmine meledak, alhasil Airin terbangun. Pun Rara menggendong Airin, menenangkan putri kecilnya yang terkejut. "Maapin tante, sayang. Mama kamu sih otaknya suka sableng."
Di saat Rara menidurkan Airin, pandangan Jasmine menyapu ke sekeliling rumah. Dia kenal Rara sedari SMP, sudah lama mereka berteman. Rara sendiri adalah tipe orang yang hedon. Cinta merek-merek ternama dunia semacam Gucci, Prada, dan lainnya. Tak segan Rara koleksi satu per satu. Tidak umum memang anak sekolah mengkoleksi hal demikian, tapi ini adalah Larasati Wijaya. Dia dapat membeli apa saja yang dia mau, namun apa yang dilihatnya sekarang bagai bumi dan langit.
Siapa yang akan mengira Rara akan berakhir tinggal di rumah sesederhana ini. Memakai daster dan mengasuh seorang anak. Bukan Jasmine bermaksud membandingkan apalagi merendahkan, dia sebatas bertanya-tanya: Apakah Dio-Irana betulan membuang Rara?
"Ra... nyokap bokap lo beneran belum tau?"
Tepukan pelan Rara pada punggung Airin terhenti. Dia menggigit bibir bawahnya, kemudian menatap Jasmine. Raut wajahnya menandakan dia pun bermodal nekat untuk menanyakan hal tersebut, tapi Jasmine sudah terlanjur gerah karena penasaran.
"Lo kalau mau bahas itu, mendingan pulang."
"Sumpah, Ra. Lo nggak bisa nutup-nutupin terus. Apa mau gue bantu buat ngomong?"
Rara menghela nafas kasar. "Buat apa? Gue udah bahagia."
"Iya, tapi masalah itu tetep bakal menghantui lo. Lo boleh bilang udah bahagia, tapi alam bawah sadar lo belom. Ini nggak adil, Ra."
"Assalamualaikum!"
Sapaan salam dari luar rumah menghentikan aksi ribut-ributnya Jasmine. Rara pun mengampiri sumber suara, lalu menemukan Tia, Ibunya Abimanyu di sana. Supir travel menurunkan dua tas besar milik Tia sebelum pamit.
"Walaikumsalam." Pun Rara segera mencium tangan Tia. "Gimana Bu perjalanannya? Capek?"
"Itu mobil siapa di luar? Kamu ada tamu?" Diabaikannya basa-basi Rara, dan menantunya ini mengangguk.
"Ada temen sekolah Rara, Bu."
"Laki-laki?" Tanya Tia seiring melangkah masuk.
"Perempuan, Bu."
Ya kali Rara membiarkan teman pria bertamu. Dia tahu aturan dan norma kok. Sepanjang Mas Abi tidak di rumah, mana mungkin membiarkan hal itu terjadi. Jasmine sudah menyengir saja di depan pintu untuk langsung menyalami Tia. Setelahnya, Tia menanyakan di mana kamarnya dan ngeloyor masuk. Alhasil Rara-Jasmine berhasil bengong beberapa saat.
"Nyokapnya Pak Abi?" Bisik Jasmine. Dia mengikuti langkah Rara yang akan mengambil dua tas milik Tia. Tas-tas itu masih di luar. "Eh apaan sih lo, Ra. Gila ini berat. Udah gue aja."
Rara tersenyum tipis, "Makasih, Mine."
"Selow." Balas Jasmine. Rara ini posisinya sedang menggendong Airin dan baru melahirkan loh. Mana boleh angkat beban berat. "Emang jutek gitu orangnya?"
"Capek palingan. Jauh kan dari Bandung ke sini."
Dulu Tia ini ramah. Sayang sekali sama Rara seperti anak sendiri. Namun semenjak di rumah sakit, entahlah, dia rasa ada perbedaan yang mencolok.
"Pokoknya beda banget sama Pak Abi." Kesal Jasmine sebelum menaruh kedua tas tersebut di depan kamar Tia. "Gue pamit deh, Ra. Nggak enak gue ada Ibu mertua lo."
"Eh bentar." Tahan Rara. "Gue masih mau ngobrol. Kita kan udah lama nggak ketemu."
Padahal yang sebenarnya adalah Rara segan pada Tia. Ini baru beberapa menit sejak kedatangan Ibu mertuanya. Bagaimana jika seminggu kemudian? Belum apa-apa rasanya Rara ingin menyerah.
---
NOTE:
Jangan lupa reviewnya yaaa.
Sejauh ini gimana Untuk Asa?
Pagi pertama sejak kedatangan Tia, dan Larasati Wijaya sudah stres berat.Dia dibangunkan paksa oleh suara panci yang seperti sengaja dibuat beradu. Beruntung Airin yang tertidur di sampingnya tidak terusik. Tanpa mencuci muka apalagi sikat gigi, Rara bergegas ke arah dapur. Ada Tia di sana yang sedang mencuci piring sambil mendumel sendiri dalam bahasa daerah."Geus jam sakieu can wae hudang! Karunya pisan Abi boga istri kawas si Rara!" (Udah jam segini, tapi belum bangun juga! Kasian Abi punya istri kayak si Rara!)Bisa dipastikan Rara tidak paham apa artinya, namun dia sadar bahwa ibu mertuanya tengah marah. Apalagi namanya disebut-sebut, jelas ini bukan pertanda bagus."Maaf, Bu. Rara bangunnya telat." Hendak membuka pintu kulkas,
Rara bangun pukul 4 pagi. Dia tidur dengan perasaan tak tenang karena takut kesiangan. Perlahan Rara menaruh guling kecil di samping Airin. Walau Abi tidur disebelah Airin, suaminya masih lelap tertidur. Tentu saja, semalaman Abi mencari apotek yang masih buka untuk menyembuhkan alergi Rara. Abi tidak percaya dengan obat yang istrinya miliki, takutnya memiliki efek samping yang macam-macam. Jadi Abi dengan segenap usahanya mencari obat terbaik.Pun dikecuplah dahi Airin, lalu Abi.Rara berniat membuat sarapan dengan menu ikan bumbu acar kuning dan perkedel kentang. Agak keterlaluan memang berkutat di dapur sepagi ini, tapi inilah yang Rara lakukan sekarang. Handphonenya memutarkan video tutorial selagi dia menggigit bibir. Tak lupa dahinya dikerutkan. Dia ulang satu kali. Dua kali. Tiga kali.Nggg... kok agak ngeri?Oke, mari coba dulu.Di tengah geraknya yang terbatas akibat
Rara tidak mau bertindak implusif dengan melabrak atau semacamnya. Dia mencoba berpikiran positif, bahwa yang dilihatnya siang tadi adalah hal wajar. Pasalnya wanita itu mengenakan seragam kantor. Mereka pasti rekan kerja, dan buku yang dibeli oleh wanita itu sudah tentu untuk pria lain. Ya, tebakannya pasti benar. Penggemar karya Gibran Effendi sudah meluas dan bukan hanya Abi saja.Tapi... kenapa suaminya tadi harus sampai bohong saat Rara tanya sedang ada di mana? Jujur bisa, kan?"Mbak Rara, makasih loh. Si kecil nyemilin terus."Tetangga sebelah datang ke rumah guna mengembalikan wadah puding. Kemarin dia sengaja bikin banyak puding untuk bagi-bagi ke tetangga sekitar. Bagaimana pun juga Rara dan Abi adalah pendatang, dan lumayan sebagai tanda perkenalan biar ada silaturahmi."Kakaknya Mbak Rara mana, nih?" Tanya ibu itu sambil kepalanya celingak-celinguk ke dalam rumahnya.Hah? Kakak?
Satu bulan yang lalu Abimanyu dipecat dari kantor tempatnya bekerja. Pihak HRD transparan bilang mereka kurang nyaman dengan rumor yang beredar di lingkungan kantor. Mereka tahu dulu Abi adalah seorang guru yang menghamili salah satu murid didiknya. Memalukan, tapi Abi bisa apa. Ingin mengelak demi menghidupi Rara dan calon bayi mereka pun tetap dirasa keliru. Jadi, dia mencoba legowo.Marine Ardiansyah, mantan tunangan Abi, entah ada angin apa menghubunginya di siang itu. Abi tengah mengisi perut di salah satu rumah makan karena lelah setelah memasukan CV ke banyak perusahaan. Dengan enggan Abi menerima panggilan itu."Ada perlu apa kamu hubungin saya?" Tanya Abi tanpa basa-basi."Ya ampun, ini beneran Mas Abi!"Sambungan pun dimatik
Aksi ngambek Rara berlanjut di keesokan pagi. Wajah Rara masam sekali. Bahkan dia terus menghindar saat Abi membombardir dengan pertanyaan ini itu."Apa sih pegang-pegang?" Kesal Rara begitu akan menjemur pakaian. Tangan kecil itu dipegang Abi dan Rara segera menepisnya."Biar mas bantu.""Ambil langsung itu di ember. Nggak usah pake acara sentuh-sentuhan."Memang Rara kalau sedang ngambek mudah meledak. Beruntung Tia tidak ada di rumah. Ibu mertuanya pergi ke tempat katering dan Rara harap Tia pergi cukup lama. Sebut Rara kekanak-kanakan karena kini dua orang dewasa di rumah ini membuatnya stres. Yang mengerti Rara cuma Airin dan ----"Rara! Anak lo eek!"Suara cempreng Jasmine dari arah dalam terdengar panik. Ya, hanya Airin dan sahabat semprulnya."Kan pake popok! Gapapa!" Sahut Rara sambil menggantung baju di jemuran."Ih tapi kentutnya gede banget! Gimana ini?""Sebentar. Nanggung nih!""Okay!"Kemudia
Darwin pulang dalam keadaan babak belur. Dia tak sempat diobati lantaran Abi sulit dikendalikan. Sekalinya berhasil dilerai, Abi lagi-lagi malah menghajar mantan muridnya tersebut. Kini Abi terduduk di ruang tengah, disidang oleh Dio yang mengawasi dari balik bingkai kacamatanya. Setelah Putra dan Mine ikut pulang bersama Darwin, kini menyisakan anggota keluarga Wijaya dan sang menantu saja."Coba jelaskan baik-baik. Kenapa kamu pukul teman Rara?" Tanya Dio untuk ke tiga kalinya.Kedua tangan Abi masih mengepal di atas paha, emosinya belum surut sama sekali. Rara dan Irana yang berdiri di depan pintu kamar terlihat gelisah. Untungnya Airin sudah dibawa Jae keluar rumah, menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Bukan berharap ada pertengkaran jilid 2, masalahnya Abi terus menunduk dan tidak menggubris pertanyaan Dio.
"Siapa yang mukul kamu sampai gini?!"Darwin Mahendra bergegas menaiki anak tangga dan mengabaikan pertanyaan Ivanka, sang Ibu. Di kamarnya, Darwin langsung membanting tubuhnya ke kasur. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar mewahnya, seiring pikirannya melayang pada peristiwa 10 bulan lalu saat dia mencumbu bibir ranum Rara."Sialan." Ujarnya, merasakan ujung bibirnya nyeri. Ah pantas saja. Ternyata berdarah."Darwin, cerita ke mami." Ivanka terus mengetuk pintu kamar Darwin, menuntut penjelasan panjang lebar. "Apa kamu digangguin sama anak-anak dari sekolah baru? Kamu dihajar mereka?""Bukan apa-apa. Cuma jatuh." Sahut Darwin, kemudian mulai memejamkan mata. Sosok Larasati Wijaya menjadi hal pertama yang selalu dia bayangkan. 10
"Ra, kaus kaki udah kering? Kenapa di lemari nggak ada?""Ada di deket daleman.""Kemeja saya kok lecek gini?""Aku udah setrikain seragam kantor, kan biasanya senin pake itu. Kenapa hari ini ujug-ujug pake kemeja?"Itulah sepenggal keriweuhan antara Abi dan Rara di senin pagi. Abi pun berlari ke jemuran dengan misi mencari kaus kaki. Sementara Rara sempatkan menyuapi sang suami dengan ceplok telur, sebelum berjalan ke lemari kamar. Semalam mereka lupa waktu lantaran bermesraan seperti pengantin baru. Rara menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sekalipun masih masa nifas dan belum bisa ke inti permainan, dia sebisa mungkin memenuhi ingin Abi dengan cara berbeda. Uhuy."Mas, udah berapa k