Rara tidak mau bertindak implusif dengan melabrak atau semacamnya. Dia mencoba berpikiran positif, bahwa yang dilihatnya siang tadi adalah hal wajar. Pasalnya wanita itu mengenakan seragam kantor. Mereka pasti rekan kerja, dan buku yang dibeli oleh wanita itu sudah tentu untuk pria lain. Ya, tebakannya pasti benar. Penggemar karya Gibran Effendi sudah meluas dan bukan hanya Abi saja.
Tapi... kenapa suaminya tadi harus sampai bohong saat Rara tanya sedang ada di mana? Jujur bisa, kan?
"Mbak Rara, makasih loh. Si kecil nyemilin terus."
Tetangga sebelah datang ke rumah guna mengembalikan wadah puding. Kemarin dia sengaja bikin banyak puding untuk bagi-bagi ke tetangga sekitar. Bagaimana pun juga Rara dan Abi adalah pendatang, dan lumayan sebagai tanda perkenalan biar ada silaturahmi.
"Kakaknya Mbak Rara mana, nih?" Tanya ibu itu sambil kepalanya celingak-celinguk ke dalam rumahnya.
Hah? Kakak?
"Saya anak sulung, bu. Ada adik 1, tapi nggak tinggal di sini." Jawab Rara polos.
"Masa? Yang ganteng banget itu emang bukan kakaknya Mbak Rara?"
Kemudian dia cengegesan sendiri setelah tahu siapa makhluk yang disebut 'ganteng banget' itu. "Dia suami saya, bu. Bukan kakak."
Mata si ibu membulat, nampak shock. Wajar saja sebenarnya karena Rara ini mukanya masih baby face, tubuhnya juga mungil, dan tidak terlihat sama sekali kalau habis melahirkan kurang dari 10 hari yang lalu. Sementara di mata ibu tetangga, Abi sudah terlampau dewasa. Mungkin itulah penyebab dia terkaget-kaget. Perbedaan umur mereka memang sedemikian kentara.
"Waduh, maaf. Saya nggak tau. Dikira adik-kakak."
"Iya bu, gapapa."
"Tadinya mau saya kenalin ke adik saya. Ternyata sudah berkeluarga toh. Sekali lagi maaf ya, Mbak Rara."
Rara mengangguk saja dan ibu tetangga pun pamit. Rara segera memasukan wadah puding ke rak dapur, dan mendapati Tia tengah asik berbicara melalui ponselnya.
"Ibu seneng tahu kamu ternyata kerja di Jakarta..... Kapan-kapan pokoknya harus main ke rumah Abi. Ibu bosen.... Iya memang ada menantu, tapi bisanya bikin ibu kesel terus...."
Suara Tia terdengar keras, seolah sengaja agar Rara mendengar pembicaraannya. Dia menghela nafas dalam dan coba meredakan emosi yang tertahan. Kalau bisa dia ingin sekali berteriak sekuat tenaga.
"Ibu tadi telfonan sama mantan tunangannya Abi." Jelas Tia tiba-tiba.
Tunggu, Abi pernah tunangan? Kenapa tidak pernah cerita ke Rara?
"Oh iya, bu." Balasnya sebab entah harus memberikan respon apa. Dia sadar tujuan Tia sebatas ingin memanasinya saja. Saat Rara akan masuk ke kamar, Tia kembali berbicara dengan kalimat yang super pedas.
"Marine ini anaknya cantik, pernah ikut ajang putri daerah, dan pintar. Lulusan S2 di UGM. Kalau ibu bandingin kamu sama Marine itu kayak bumi langit. Kalian beda level, Ra."
----
Rara memandangi cermin cukup lama sebelum akhirnya terdiam selama lima belas menit terakhir. Kaus yang dia kenakan diangkat, menunjukan ada bekas sayatan tepat di bawah perutnya. Panjangnya sekitar 4-6 inchi dan ya, ini terlihat mengerikan. Rara juga menyadari bentuk tubuhnya tidak lagi bagus seperti dulu. Lalu secara pendidikan pun dia cuma lulusan SMA, tidak kuliah apalagi berharap sampai jenjang strata 2.
Cantik dan berpendidikan.
Itulah penilaian Rara terhadap mantan tunangan Abi. Dia bahkan belum pernah bertemu dengan perempuan itu, namun rasanya sudah kalah telak duluan.
Airin sedari tadi menangis di atas kasur. Anaknya lapar ingin ASI, namun tak Rara hiraukan. Rara justru duduk di depan meja riasnya dan melamun. Sejenak terlintas di pikirannya, jika saja Rara tidak hamil, akan seperti apa hidupnya sekarang? Kemungkinan besar sedang nonton bioskop bersama teman-teman kuliah, atau berfoto di cafe-cafe cantik untuk di upload di sosial media.
Ah, sosial media. Dulu Rara sering menerima endorse, namun semenjak ketahuan hamil dia enggan membuka sosial medianya. Terakhir banyak hujatan yang Rara terima, sebelum Jasmine memilih menutup kolom komentar pada Instagramnya.
Ya, kehidupan Rara banyak berubah, dan dia rindu hidupnya yang dulu.
"Ra, itu Airin nangis. Suaranya kedengeran sampai teras depan."
Itu suara Abi. Suaminya betul datang terlambat, pukul 10 malam. Apa Abi menghabiskan waktu dengan wanita di toko buku itu? Begitu Abi akan melarikan jarinya ke wajah Rara untuk memberi kecupan, dia terlebih dahulu menepis. Rara bangun dari duduknya untuk menidurkan Airin.
Abi melayangkan tatapan penuh tanya. Ada apa dengan istrinya?
"Kamu kenapa nggak mau mas cium?"
Hening. Hanya ada kecapan dari bibir mungil Airin. Abi juga mengingat-ingat apa saja yang sudah dia perbuat seharian ini hingga Rara menghindar.
"Apa mas ada salah sama kamu?" Tanya Abi seraya mendekati kasur. Dia menatap punggung Rara yang miring ke sisi kiri guna menyusui Airin. "Kamu marah karena mas nggak nemenin kamu ke dokter ya, Ra?"
Semula Rara berharap dapat bersikap seperti biasa. Namun setelah Abi ada di hadapannya, dia gagal. Begitu banyak yang mengganggu pikirannya; tentang mantan tunangan Abi, wanita di toko buku, dan masa depan Rara yang tidak jelas arah tujuannya. Dadanya sesak karena semuanya dia pendam seorang diri.
"Cerita, Ra. Mas nggak tahu apa permasalahannya kalau kamu tetap diam gini."
Selepas Airin terlelap, Rara mengambil posisi duduk dan memerhatikan bagaimana kepala Abi tertunduk. Suaminya perlahan mendongak, sebelum mata mereka akhirnya bertemu.
"Ra---"
"Boleh aku liat isi tas kerjanya?" Potong Rara.
Kedua alis Abi naik, terlihat ragu sejenak. "Sebentar mas ambilkan."
"Keluarin semuanya."
Abi menurut sekalipun tidak paham apa maunya Rara. Di kasur mereka sudah tercecer barang-barang; dari mulai laptop, dompet, dokumen berkas sampai satu buah novel karya Gibran Effendi yang masih terbungkus rapi. Setelahnya Rara memilih berbaring dan memejamkan mata.
Untuk sekarang Rara hanya ingin tidur.
NOTE:
Visual Abi itu Sehun EXO. Buat yang belum tau bisa cus google. Jadi nggak usah diragukan lagi pas tetangga mereka bilang kalau Abi ganteng banget🤣
Yuk baca ceritaku yg lain❤
"Serius gini doang nggak bisa?" Cibir Rara. Padahal soal ekonomi dari buku paket milik Jae ini, berhasil membuat dirinya migren alias pusing 7 keliling."Emang lo bisa haa?!" Senga Jae."Hahaha ya jelas nggaklah! Lagian kalau gue bisa, ogah juga gue jelasin ke lo. Buang-buang waktu!" Jawab Rahee sambil melingkarkan tangannya pada pinggang Abi. Dia ndusel-ndusel di bahu kokoh itu, sementara sang suami hanya mampu menggelengkan kepala. Sungguh kakak-beradik ini memang sulit bicara tanpa perlu pakai urat. Selalu saja saling ngegas. "Mas, kita bobo aja yuk nemenin Airin. Biarin Jae pusing sendiri.""Bang, gue besok uts." Ujar Jae dengan raut wajah memelas."Makanya jangan main basket terus. Lagian Mas Abi pernahnya ngajar bimbingan konseling, bukan mapel ekonomi.""Gapapa, Ra. Mas kayaknya masih inget beberapa sub bahasannya."Ugh, Rara kalau gini jadi tambah gemas. Kenapa suaminya harus serba bisa? Padahal tadi usai maaf-maafan, Rara harap mere
Sore hari tiba.Rara sedang makan keripik ketika Abi memasuki rumah utama. Ingin berlari ke kamar tentu terlambat. Selain karena Airin tengah anteng di pangkuannya, Abi juga sudah terlanjur melihat sosok dirinya yang kumal. Maklum, baru kena air saat siang tadi kelelep di kolam renang. Jadi dia lanjutkan saja sesi ngemil, dan berusaha cuek."Cium tangan suaminya kek. Jangan masuk list calon-calon istri durhaka." Jae yang tadi membukakan pintu untuk Abi, kini berjalan melewati keduanya sambil menyindir sang kakak.Kontan Rara memincingkan mata. "Lo mau dihapus dari Kartu Keluarga? Mau gue aduin?"Jae langsung ngibrit pergi. Dalam hati Rara tertawa puas. Ada untungnya dia jatuh ke kolam renang, terbukti Rara jadi punya kartu agar Jae tidak asal bicara lagi.Pun perlahan Rara menarik tangan kanan sang suami. Cup. Sama halnya dengan tangan mungil Airin yang juga Rara arahkan untuk mencium punggung tangan Abi. Abi tersenyum senang, sambil membelai rambu
"Hei, jangan ngelamun."Rara menoleh ke sumber suara. Pria berseragam SMA itu datang, bergabung bersama Rara yang duduk santai di pingir kolam renang. Darwin melipat ujung celana abu-abunya, meniru Rara memasukan kakinya ke air."Loh, itu celana lo basah." Seru Rara, tahu usaha Darwin melipat celananya berakhir sia-sia. Sedengkul sudah air membasahi celana pria tersebut."Gampang, nanti tinggal pinjem punya Jae.""Terus kenapa dilipet segala? Buang-buang tenaga." Rara menggelengkan kepala, lalu ujung bibirnya tertarik ke atas, tergelak singkat. Memang Darwin satu spesies dengan adiknya, sama-sama aneh."Biar lo ketawa, Ra. Dari tadi gue perhatiin lo cemberut terus."
"Istri kamu kemana? Dari kemarin pergi sama temennya yang namanya Jasmine, dan sampai sekarang nggak pulang-pulang." Kalimat Tia meluncur begitu Abi datang sambil menyeka keringat. Semalaman Abi susah tidur, merasa aneh karena Rara tidak ada di sampingnya. Padahal ini baru satu hari, tapi Abi sudah seperti kehilangan arah. Sehingga pagi-pagi buta Abi memilih jogging disekitar komplek selama satu jam penuh."Rara nginep di rumah orang tuanya." Jawab Abi setelah meminum segelas air mineral."Jangan terlalu manjain istri kamu. Lihat, dia jadi seenaknya sendiri. Masa sudah berkeluarga, masih numpang tidur di sana. Apa kata tetangga nanti?" Ujar Tia seiring membuat teh hangat dalam wadah jar."Gapapa, bu. Rara juga sudah lama nggak mampir ke rumah utama. Pasti kangen mama papanya.""Makanya kamu jangan nikahin anak kecil kayak dia. Sudah manja, nggak bisa kerjain pekerjaan rumah lagi. Repot sendiri, kan?" Sindir Tia, lalu menaruh cangkir teh tepat di depan putrany
Sudah lama Rara tidak menginjakan kaki di rumah utama. Terakhir yaitu saat datang bersama Abi, memberi tahu pada kedua orang tuanya bahwa dirinya hamil dan berakhir dengan diusir. Kini dia kembali bersama putri kecilnya. Terasa aneh begitu Rara memasuki kamarnya, karena semua tetap sama, sementara dirinya telah mengalami banyak perubahan. Menjadi ibu sekaligus istri di usianya yang bahkan belum memasuki kepala 2. Hidupnya persis permainan roller coaster."Sayang, kamarnya mau mama dekor ulang?" Inisiatif Irana. "Atau kamu mau beli furniture baru? Wallpaper baru? Nanti mama atur semua.""Aku cuma nginep sehari, ma." Geleng Rara lemah. "Makasih udah bolehin aku pulang ke rumah ya, ma.""Jangan bilang gitu. Ini kan rumah kamu juga. Kamu bebas ke sini kapanpun." Irana agaknya lupa kalau kedatangan Rara bukanlah untuk liburan, melainkan akibat sedang selisih paham dengan Abi. Rara bukanlah anak kecil lagi, dia sudah menjadi istri orang. Beberapa saat yang lalu Irana
Dio, ayah dari Larasati Wijaya, baru saja selesai meeting dengan kliennya di gedung FWC. Kumpulan orang di lobby membuat fokusnya teralihkan. Semula dia tak terlalu ambil pusing, namun setelah melihat sosok yang ditandu oleh tim paramedis, Dio berhasil bergeming di tempat. Pria berkacamata itu segera berlari tergesa-gesa. Kenapa Rara bisa di sini? Dan apabila dilihat sekilas Rara jelas mengalami serangan panik lagi! Astaga, dunia Dio langsung runtuh!"Maaf, pak. Hanya yang berkepentingan yang dapat menemani pasien." Tahan seorang tim paramedis ketika Dio akan ikut naik ke ambulance."Saya ayahnya Rara. Dia putri saya."Pun sirene ambulance membelah jalanan siang Jakarta yang padat. Ketika orang-orang mulai berjubel keluar untuk mencari makan siang, di sini ada Dio yang terus memegang erat tangan Rara dengan perasaaan teriris. Kesadaran Rara masih terjaga, tapi sulit bernapas dan harus terhubung dengan bantuan oksigen. Sementara bagian paramedis mengecek tekanan
Rara coba telpon Abi. Satu kali. Dua kali. Tidak ada jawaban. Mine sebelumnya turun dari mobil untuk bertanya tentang tempat kerja baru Abi kepada security. Hasilnya nihil. Dengan pikiran semrawut Rara mencari kontak yang sekiranya dapat dihubungi, namun baru beberapa detik berselang, dia terdiam. Rara tidak kenal satupun teman Abi. Serenggang ini kah hubungan mereka?"Kenapa kamu tanya ke ibu? Bukannya kamu yang harusnya lebih tahu?" Kalimat Tia di ujung ponselnya terdengar. Ya, dengan nekat Rara bertanya pada sang mertua. Sungguh dia tak memiliki pilihan lain untuk menjawab rasa penasarannya."Rara lupa nama perusahaan Mas Abi yang baru, bu. Ini Rara mau nyusul ke sana. Kasian bekal makan siangnya ketinggalan.""Bukan ketinggalan, tapi sengaja. Toh bekal yang kamu buat nggak pantas dimakan." Tanpa sadar, Rara mencengkram ponselnya kuat-kuat. "Abi kerja di FWC bareng mantan tunangannya. Sudah kamu nggak usah anter ke sana. Biarin Abi lepas rindu sama Marine."
Bahagianya Rara adalah perkara mudah. Contohnya saja soal makanan. Abi tak hanya membelikan Rara martabak asin plus manis, tapi juga sushi. Iya, sebelum mengantar Marine pulang, mereka makan malam bersama di restoran tersebut."Mas, bener nggak mau?""Iya, mas udah makan di luar." Jawab Abi, mulai membuka kancing kemejanya."Sama siapa?"Abi menelan air liurnya susah payah dan seketika merasa bersalah. "Temen kerja. Gimana enak, Ra?" Langsung Abi yang balik bertanya, takutnya Rara mengajukan pertanyaan macam-macam. Abi menemukan istrinya tahu-tahu sudah duduk bersila di lantai kamar dan terlihat lahap."BANGET. Dulu pas sekolah aku sering ke tempat sushi ini sama Mine." Antusias Rara sambil mengigit ujung sumpit, sesenang itu. "Oh ya, kenapa chat aku yang bahas film azab nggak dibales-bales? Aku kan bukan koran, masa chatnya dibaca doang.""Tenggelam, Ra.""Pin makanya. Biar chat dari aku ada di atas.""Nggak ngerti. Lagian kamu juga u
Abi baru saja bersantai di kubikelnya seusai beres dengan berbagai kerjaan. Sejak pagi hingga pukul 7, dia disibukkan dengan tampilan excel dan macam-macam angka. Memang ini hari pertamanya bekerja di tempat baru dan ada perkenalan singkat dengan karyawan lain, namun setelahnya jadwalnya padat. Pun Abi mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Rara. Belum sempat bertanya Rara ingin martabak asin atau manis, Abi ternyata sudah menerima banyak chat dari sang istri. Ada 25 chat yang tenggelam. Astagfirullah. Ini sih bisa-bisa Abi kena amuk.Larasati Wijaya:-Mas, pernah nonton film azab? Judulnya mertua jahat pada menantu, liang lahatnya menyempit.-Mertuanya nampar si menantu-Padahal menantunya baik. Ya... walaupun nggak sempurna-sempurna amat. Masakannya kurang enak, bangunnya kadang siang, tapi dia mau belajar.-Mas? Ih dicuekin :(-Aku VN aja. Capek ngetik.Lalu Abi dengarkan satu persatu pesan suara itu. Tak jarang, Abi terkekeh selagi merap