Share

8 | Sama, Jadi Tidak Istimewa

Rara bangun pukul 4 pagi. Dia tidur dengan perasaan tak tenang karena takut kesiangan. Perlahan Rara menaruh guling kecil di samping Airin. Walau Abi tidur disebelah Airin, suaminya masih lelap tertidur. Tentu saja, semalaman Abi mencari apotek yang masih buka untuk menyembuhkan alergi Rara. Abi tidak percaya dengan obat yang istrinya miliki, takutnya memiliki efek samping yang macam-macam. Jadi Abi dengan segenap usahanya mencari obat terbaik.

Pun dikecuplah dahi Airin, lalu Abi.

Rara berniat membuat sarapan dengan menu ikan bumbu acar kuning dan perkedel kentang. Agak keterlaluan memang berkutat di dapur sepagi ini, tapi inilah yang Rara lakukan sekarang. Handphonenya memutarkan video tutorial selagi dia menggigit bibir. Tak lupa dahinya dikerutkan. Dia ulang satu kali. Dua kali. Tiga kali.

Nggg... kok agak ngeri?

Oke, mari coba dulu.

Di tengah geraknya yang terbatas akibat rasa ngilu bekas jahitan, Rara berhasil sibuk ini itu selama satu jam penuh. Beruntung obat yang dibelikan Abi manjur, jadi gatal alerginya sudah tidak seberapa. Rara pun dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaan dapur.

"Pagi-pagi berisik apa sih ini?" Tia keluar dari kamarnya dengan raut wajah kesal. Rara nyengir kuda di depan kompor seraya memegang spatula. "Kamu sadar ini jam berapa? Jam 5, Ra. Kamu sengaja ganggu waktu tidur ibu?"

Senyum Rara sedikit demi sedikit pudar. Dia menggeleng pelan, "I-ikannya tadi lompat, bu. Jadi Rara nggak sengaja teriak. Maafin Rara ya, bu."

"Kalau kamu nggak suka ibu nginep di sini, bilang. Biar ibu bisa cepet pulang ke Bandung."

Dimatikanlah kompor, lalu Rara menghampiri Tia, "Ibu salah paham. Rara suka ada ibu di sini. Airin juga senang setiap kali dimandikan ibu."

Tia melipatkan kedua tangannya, "Kamu pikir ibu tuli? Ibu itu denger semalem kamu nangis-nangis ngadu sama Abi. Sikap seperti itu yang kamu bilang suka sama ibu?"

Sungguh, kenapa setiap tindakan atau ucapan Rara seperti selalu salah dimata Tia? Kenapa Ibu mertuanya sangat membenci Rara? Salah dia apa sebenarnya? Apa karena kemarin Rara bangun kesiangan? Tidak, perubahan Tia terjadi semenjak datang ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya yang baru melahirkan. 

"Ibu, tolong jangan berpikir gitu. Rara sayang sama ibu. Semalem Rara---"

"Kalau bukan karena hamil duluan, ibu ragu Abi masih mau nikahin kamu. Perempuan malas dan manja. Lahiran aja sampai harus caesar. Eweuh usahana pisan." (Nggak ada usahanya sama sekali).

Dan Tia melepaskan apron Rara untuk dia kenakan. Tia mencicipi hasil masakan Rara sebelum membuangnya ke tempat sampah, tanpa peduli kalau menantunya masih di sana dan melihat semuanya. Sementara Rara cuma bisa meremas dasternya dalam diam. Nafasnya tiba-tiba tertahan. Jadi ini benar karena persoalan caesar? Kebencian Tia pada dirinya lantaran dia tak mampu melahirkan secara normal?

Ya Allah...

"Rara nanti belajar masak lagi, bu. Maaf." Kata Rara, kemudian memilih kembali masuk ke kamar.

Dia memandangi Abi yang mulai mengulet dalam tidurnya. Cepat-cepat Rara menghapus air matanya yang akhir-akhir ini gampang sekali jatuh.

"Ra, kamu ngapain berdiri di depan pintu?" Mata Abi menyipit memerhatikan istrinya. Abi bangun dari ranjang, menghapus keringat di dahi Rara. Ada bau masakan yang tercium dari daster bunga-bunga itu. "Kamu masak?"

"Ibu yang masak."

"Gimana alerginya? Mau mas cariin obat lain?"

"Nggak, mas. Ini udah mendingan kok." Jawaban Rara membuat hati Abi berdesir lega. Dipeluklah tubuh istrinya sangat erat. "Berat, mas."

"Maafin buat yang semalem. Mas nggak niat marahin kamu, Ra. Mas cuma terlalu khawatir."

"Iya, maafin aku juga udah bikin mas panik."

Abi melepaskan pelukannya sebelum memegang kedua sisi wajah Rara. "Lain kali kalau ada miss komunikasi sama ibu, bilang mas. Biar hal kayak gini nggak terjadi lagi."

Rara hanya mengangguk. Tapi untuk yang barusan terjadi di dapur, apa perlu dibicarakan dengan Abi? Sebaiknya tidak usah. Jika Rara cerita jujur, nantinya hubungan antara dirinya dan Tia akan lebih runyam.

"Yaudah, sekarang kita sholat subuh dulu. Nanti keburu waktunya habis." Lanjut Abi lagi, lalu menarik Rara untuk ke kamar mandi bersama-sama.

----

"Mohon menu makanannya lebih dijaga, Ibu Larasati. Untuk sementara seafood jangan dikonsumsi dulu, karena nantinya bekas jahitan ibu bisa bertambah gatal."

"Iya. Terima kasih, dok. Mari."

Pun Rara pamit pada dokter yang baru saja melepaskan jahitan caesarnya. Jae yang sedang menunggu di luar ruangan langsung bangkit melihat kedatangan kakaknya.

"Gimana, kak? Sakit?"

"Lumayan. Yuk, kita pulang."

Jae menuntun Rara, walau kakaknya ini tidak meminta. Padahal mah dia ini anaknya anti sentuh-menyentuh. Malu, sudah besar katanya. Namun sekarang justru Jae yang berinisiatif duluan. "Temenin gue ke toko buku mau nggak, Ra? Atau lo tunggu di mobil aja nanti. Soalnya urgent nih buat tugas hari senin."

"Oke, tapi jangan lama. Nanti Airin keburu nangis."

Jae mengambil posisi hormat dengan tangan kanannya. "Siap, laksanakan."

Setibanya di toko buku mereka berjalan terpisah. Jae ke rak sejarah, sementara Rara memilih melihat-lihat novel dan sastra. Sudah lama dia tidak kemari untuk menghabiskan waktu atau sekedar numpang ngadem. Tak ada yang mengalahkan AC di toko buku. Rara pun terkekeh sendiri. Dia jadi rindu jaman-jaman sekolah.

Ponsel Rara bergetar. Ternyata ada panggilan telepon dari Abi. Senyum itu pun terbentuk diwajah cantiknya.

"Hallo, mas?" Sapanya.

"Udah selesai ke dokternya, Ra?"

"Udah. Ini lagi nemenin Jae dulu sebentar. Mas, lagi di mana?"

"Di kantor. Hari ini mas pulang agak maleman. Nanti kamu langsung tidur aja, nggak usah nungguin sampe mas pulang."

Belum sempat Rara balas bicara, sambungan terlebih dahulu terputus. Kenapa main dimatikan saja sih?! Keluh Rara bete maksimal. Moodnya dalam sekejap terjun bebas.

Ini adalah hari sabtu, dan seharusnya Abi libur. Seharusnya dia juga yang menemani Rara lepas jahitan caesar, bukan Jae. Namun Abi bilang harus ke kantor untuk training karyawan baru lagi. Ya sudahlah, Rara bisa apa selain mencoba mengerti pekerjaan suaminya.

"Eh sorry." Ucap seseorang. Tangan Rara bersentuhan dengan pengunjung lain. Mereka hendak mengambil sebuah buku yang hanya tersisa satu eksemplar. Buku puisi best seller karya Gibran Effendi.

"Silahkan mbaknya ambil aja." Ucap Rara mengalah.

"Beneran?" Ucap si wanita itu.

"Iya, nanti saya bisa minta tolong ke pegawai di sini buat dicarikan lagi."

Mata wanita itu berbinar. "Makasih, mbak. Pacar saya suka banget sama karya Gibran Effendi. Buku ini mau saya kasih ke dia."

Pun wanita itu berlalu kesenangan sambil terus berterima kasih. Rara akhirnya meminta dicarikan buku yang serupa, tapi sayangnya buku tersebut sold out. Gagal sudah niatan untuk memberikan Abi hadiah kecil, karena Abi merupakan penggemar dari Gibran Effendi. Sastra yang sederhana, tapi selalu memiliki makna luar biasa. Begitulah perkataan Abi dengan nada suara bangga. Larasati Wijaya masih mengingatnya.

Mata Rara tiba-tiba mengikuti sosok wanita yang sempat berbincang dengannya. Mungkin berkisar 25 tahun, tinggi semampai, dan memiliki rambut berwarna coklat yang cantik. Selesai melakukan pembayaran di kasir, wanita itu menghampiri seorang pria bertubuh tinggi dan familiar. Ketika pria tersebut berbalik, Rara tahu alasan kenapa siluet barusan terasa familiar. Tentu, karena pria itu adalah Amibanyu Wicaksono. Suaminya.

---

NOTE:

Ditunggu bintangnya hehe :"

Semoga suka dengan cerita ini ya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ibu Heni
wahhh abi ga jelas . belum juga kering jaitannya dah selingkuh aja.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status