Home / Romansa / Untuk Asa (Indonesia) / 7 | Udang Saus Tiram

Share

7 | Udang Saus Tiram

Author: ByMiu
last update Last Updated: 2020-11-08 08:34:37

Pagi pertama sejak kedatangan Tia, dan Larasati Wijaya sudah stres berat.

Dia dibangunkan paksa oleh suara panci yang seperti sengaja dibuat beradu. Beruntung Airin yang tertidur di sampingnya tidak terusik. Tanpa mencuci muka apalagi sikat gigi, Rara bergegas ke arah dapur. Ada Tia di sana yang sedang mencuci piring sambil mendumel sendiri dalam bahasa daerah.

"Geus jam sakieu can wae hudang! Karunya pisan Abi boga istri kawas si Rara!" (Udah jam segini, tapi belum bangun juga! Kasian Abi punya istri kayak si Rara!)

Bisa dipastikan Rara tidak paham apa artinya, namun dia sadar bahwa ibu mertuanya tengah marah. Apalagi namanya disebut-sebut, jelas ini bukan pertanda bagus.

"Maaf, Bu. Rara bangunnya telat." Hendak membuka pintu kulkas, gerak tangan Rara tertahan karena balasan dari Tia.

"Ngapain kamu itu? Mau masak?" Cerocos Tia. "Ibu udah masak. Kamu tinggal duduk santai terus makan."

Senyum Rara terbentuk sungkan. Dia pun berinisiatif untuk menggantikan Tia mencuci piring. "Biar Rara aja yang cuci piring, Bu. Nanti mau Rara buatkan teh manis nggak, Bu?"

Tanpa perlu waktu banyak, Tia membuka sarung tangan dan menatap sebal ke arah Rara. "Apa kamu selalu bangun sesiang ini? Saya jadi curiga kalau kamu nggak pernah urusin Abi. Kamu sering telantarin anak saya, ya?"

Ini pukul 7.20. Rara biasanya bangun lebih pagi daripada Abi. Dia selalu mempersiapkan segala kebutuhan suaminya, hanya saja pasca melahirkan Abi meminta agar Rara beristirahat total.

"M-maaf, Bu." Rara enggan membela diri apalagi membantah. Jadi sebatas kata maaf yang padahal tidak perlu dilontarkan.

Setelahnya Tia menghilang dari dapur. Selesai mencuci piring, dia pun membuka tudung saji. Sudah tersaji lauk pauk, salah satunya adalah udang saus tiram.

Rara pastikan besok pagi akan bangun lebih awal.

----

"Rara! Cara mandiin kamu salah!"

Rara tersentak, begitupun dengan Airin. Sejak tadi dia berusaha melupakan perlakuan Tia dengan fokus pada putri kecilnya. Rara baru saja menemani Airin berjemur di depan rumah, kemudian dilanjut mandi. Namun Tia terlebih dahulu datang mengintrupsi. Sebuah intrupsi yang terlalu keras sampai-sampai membuat Airin menangis.

"Sini Ibu yang mandiin Airin."

"Iya, Bu."

Airin kini dimandikan oleh Tia di bak yang ditaruh di lantai kamar mandi. Rara memerhatikan bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh Tia, ingin belajar, tapi dia tak memukan perbedaan berarti. Tangan Rara hanya belum segesit milik Tia, selebihnya mereka sama.

"Kamu kenapa nggak bisa ngapa-ngapain, Ra? Apa sesulit itu buat urus suami dan anak?"

Kalau bisa Rara berharap mempunyai hati yang tidak mudah tersinggung, yang akan kebal terhadap nyinyiran apapun dari Ibu mertuanya. Andai bisa, Rara mau. Tidak seperti sekarang, kedua matanya bahkan memanas dengan mudah. Air mata Rara mendesak untuk keluar.

"Pas Abi berangkat kerja, kamu masih enak-enak tidur. Ibu deh yang bikinin sarapan buat Abi dan siapin dia bekal makan siang. Ibu kayak masih besarin anak bujang." Tia tersenyum lebar. Bukan senyum tulus, melainkan senyum sindiran. Dan Rara lebih dari sekedar paham bahwa Tia tidak menyukai dirinya. "Menurut kamu, Ibu punya menantu nggak sih, Ra?"

----

Abimanyu pulang terlambat, dia harus lembur dan baru pulang pukul 9 malam. Mereka duduk berdua. Rara menemani Abi, selagi dia terus menggaruk tangannya di bawah meja makan. Sementara Tia sudah terlelap di kamar. Rara akhirnya bisa bernafas lega.

"Ra, kamu kenapa ngelamun terus?"

Rara menggeleng, tersadar. "Gimana mas hari ini di kantor?"

Abi berhenti mengunyah sejenak. Sebenarnya ada yang mau dia ceritakan pada Rara, tapi Abi rasa itu bukanlah hal penting. "Kayak biasa, Ra. Gitu-gitu aja."

"Tapi mas tumben loh lembur. Ada masalah?"

"Nggak ada, sayang. Cuma hari ini ada beberapa pegawai baru dan mas kebetulan diminta buat training mereka."

Bibir pink Rara berbentuk huruf O, sementara jarinya mulai menggaruk bagian leher. Semenjak sore tadi sekujur tubuhnya gatal.

"Ra, mukanya kok merah banget? Sakit?" Abi langsung beranjak dari kursi, kemudian memegang dahi Rara sambil berjongkok di depannya. Tidak demam. Lalu kenapa Rara terlihat seperti ini? "Kita ke rumah sakit sekarang."

"Mas..." Abi yang akan mengambil kunci motor menoleh, mendapati sang istri masih diam di tempat. "Aku udah minum obat. Aku nggak kenapa-kenapa kok beneran."

"Obat apa? Badan kamu nggak panas atau apa, Ra. Kamu itu masih menyusui. Jangan asal minum obat."

Abimanyu panik bukan main. Dia mengambil jaket untuk Rara dan hendak mengetuk pintu kamar Tia utuk menjaga Airin. Beruntung, Rara sigap menahan suaminya terlebih dahulu.

"Aku... alergi, mas." Ujar Rara. "Aku alergi udang."

Dahi Abi mengernyit bingung. Tunggu, istrinya alergi udang? Sejak kapan? Padahal kemarin Rara sengaja meminta dibelikan udang segar sebelum dirinya pulang kerja. Dipikir udang adalah makanan kesukaan Rara, sama seperti ibunya, jadi Abi sengaja beli banyak.

"Terus kenapa kamu minta dibelikan udang? Padahal kamu tau kalau punya alergi." Kesal Abi. Jujur saja dia hampir marah. Alergi itu bukan perkara kecil, bisa sangat fatal akibatnya. Dan Abi tak habis pikir kenapa Rara sengaja mencelakai dirinya sendiri. "Jawab, Ra!"

"Mau masakin buat ibu..." Lirih Rara. Kata Abi, udang saus tiram adalah makanan kesukaan Tia.

"A-apa?"

"Tapi aku bangunnya telat, jadi ibu yang akhirnya masak. Aku nggak enak kalau nggak makan."

Ya, semalaman suntuk dia membuka halaman youtube. Menontoni satu per satu video memasak udang saus tiram, mencari resep yang sekiranya paling enak. Niatnya pagi tadi akan memberikan kejutan kecil itu. Tapi apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Ini semua karena kebodohan Rara.

Abi memijat kepalanya, merasa bersalah. Dia terlanjur berpikiran yang tidak-tidak, padahal niatan istrinya ini baik ingin menyenangkan ibunya. Namun kenapa harus berujung seperti ini?

Perempuan di hadapannya perlahan terisak. Dia paling lemah jika sudah diteriaki. Lebih dari itu, semenjak pagi hatinya begitu sakit. Pun Abi memeluk istrinya sambil meminta maaf. Abi pikir dirinya sudah mengenal Rara dengan baik, ternyata belum. Abi belum kenal Rara.

---

NOTE:

Nikah ga melulu soal enaknya aja. Akan selalu ada perspektif yang berbeda, salah satunya cerita Rara ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ibu Heni
wahh kasian Rara
goodnovel comment avatar
Lathifah
Persis banget kayak mertua Gue... Waktu Gue habis lahiran ngedumel mulu, padahal dia juga seorang ibu... Masa gak paham sih lelahnya pasca lahiran apalagi Gue sempat ngalamin baby blues... 😭
goodnovel comment avatar
Julia Sam
mertuanya menakutkan.....tidak terbayang rasanya punya mertua kayak gitu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Untuk Asa (Indonesia)   23 | Jantung

    "Serius gini doang nggak bisa?" Cibir Rara. Padahal soal ekonomi dari buku paket milik Jae ini, berhasil membuat dirinya migren alias pusing 7 keliling."Emang lo bisa haa?!" Senga Jae."Hahaha ya jelas nggaklah! Lagian kalau gue bisa, ogah juga gue jelasin ke lo. Buang-buang waktu!" Jawab Rahee sambil melingkarkan tangannya pada pinggang Abi. Dia ndusel-ndusel di bahu kokoh itu, sementara sang suami hanya mampu menggelengkan kepala. Sungguh kakak-beradik ini memang sulit bicara tanpa perlu pakai urat. Selalu saja saling ngegas. "Mas, kita bobo aja yuk nemenin Airin. Biarin Jae pusing sendiri.""Bang, gue besok uts." Ujar Jae dengan raut wajah memelas."Makanya jangan main basket terus. Lagian Mas Abi pernahnya ngajar bimbingan konseling, bukan mapel ekonomi.""Gapapa, Ra. Mas kayaknya masih inget beberapa sub bahasannya."Ugh, Rara kalau gini jadi tambah gemas. Kenapa suaminya harus serba bisa? Padahal tadi usai maaf-maafan, Rara harap mere

  • Untuk Asa (Indonesia)   22 | Ibu

    Sore hari tiba.Rara sedang makan keripik ketika Abi memasuki rumah utama. Ingin berlari ke kamar tentu terlambat. Selain karena Airin tengah anteng di pangkuannya, Abi juga sudah terlanjur melihat sosok dirinya yang kumal. Maklum, baru kena air saat siang tadi kelelep di kolam renang. Jadi dia lanjutkan saja sesi ngemil, dan berusaha cuek."Cium tangan suaminya kek. Jangan masuk list calon-calon istri durhaka." Jae yang tadi membukakan pintu untuk Abi, kini berjalan melewati keduanya sambil menyindir sang kakak.Kontan Rara memincingkan mata. "Lo mau dihapus dari Kartu Keluarga? Mau gue aduin?"Jae langsung ngibrit pergi. Dalam hati Rara tertawa puas. Ada untungnya dia jatuh ke kolam renang, terbukti Rara jadi punya kartu agar Jae tidak asal bicara lagi.Pun perlahan Rara menarik tangan kanan sang suami. Cup. Sama halnya dengan tangan mungil Airin yang juga Rara arahkan untuk mencium punggung tangan Abi. Abi tersenyum senang, sambil membelai rambu

  • Untuk Asa (Indonesia)   21 | Saling Bertukar

    "Hei, jangan ngelamun."Rara menoleh ke sumber suara. Pria berseragam SMA itu datang, bergabung bersama Rara yang duduk santai di pingir kolam renang. Darwin melipat ujung celana abu-abunya, meniru Rara memasukan kakinya ke air."Loh, itu celana lo basah." Seru Rara, tahu usaha Darwin melipat celananya berakhir sia-sia. Sedengkul sudah air membasahi celana pria tersebut."Gampang, nanti tinggal pinjem punya Jae.""Terus kenapa dilipet segala? Buang-buang tenaga." Rara menggelengkan kepala, lalu ujung bibirnya tertarik ke atas, tergelak singkat. Memang Darwin satu spesies dengan adiknya, sama-sama aneh."Biar lo ketawa, Ra. Dari tadi gue perhatiin lo cemberut terus."

  • Untuk Asa (Indonesia)   20 | Mari Buat Semua Lebih Jelas

    "Istri kamu kemana? Dari kemarin pergi sama temennya yang namanya Jasmine, dan sampai sekarang nggak pulang-pulang." Kalimat Tia meluncur begitu Abi datang sambil menyeka keringat. Semalaman Abi susah tidur, merasa aneh karena Rara tidak ada di sampingnya. Padahal ini baru satu hari, tapi Abi sudah seperti kehilangan arah. Sehingga pagi-pagi buta Abi memilih jogging disekitar komplek selama satu jam penuh."Rara nginep di rumah orang tuanya." Jawab Abi setelah meminum segelas air mineral."Jangan terlalu manjain istri kamu. Lihat, dia jadi seenaknya sendiri. Masa sudah berkeluarga, masih numpang tidur di sana. Apa kata tetangga nanti?" Ujar Tia seiring membuat teh hangat dalam wadah jar."Gapapa, bu. Rara juga sudah lama nggak mampir ke rumah utama. Pasti kangen mama papanya.""Makanya kamu jangan nikahin anak kecil kayak dia. Sudah manja, nggak bisa kerjain pekerjaan rumah lagi. Repot sendiri, kan?" Sindir Tia, lalu menaruh cangkir teh tepat di depan putrany

  • Untuk Asa (Indonesia)   19 | Tidur Terpisah

    Sudah lama Rara tidak menginjakan kaki di rumah utama. Terakhir yaitu saat datang bersama Abi, memberi tahu pada kedua orang tuanya bahwa dirinya hamil dan berakhir dengan diusir. Kini dia kembali bersama putri kecilnya. Terasa aneh begitu Rara memasuki kamarnya, karena semua tetap sama, sementara dirinya telah mengalami banyak perubahan. Menjadi ibu sekaligus istri di usianya yang bahkan belum memasuki kepala 2. Hidupnya persis permainan roller coaster."Sayang, kamarnya mau mama dekor ulang?" Inisiatif Irana. "Atau kamu mau beli furniture baru? Wallpaper baru? Nanti mama atur semua.""Aku cuma nginep sehari, ma." Geleng Rara lemah. "Makasih udah bolehin aku pulang ke rumah ya, ma.""Jangan bilang gitu. Ini kan rumah kamu juga. Kamu bebas ke sini kapanpun." Irana agaknya lupa kalau kedatangan Rara bukanlah untuk liburan, melainkan akibat sedang selisih paham dengan Abi. Rara bukanlah anak kecil lagi, dia sudah menjadi istri orang. Beberapa saat yang lalu Irana

  • Untuk Asa (Indonesia)   18 | Ayo Pulang

    Dio, ayah dari Larasati Wijaya, baru saja selesai meeting dengan kliennya di gedung FWC. Kumpulan orang di lobby membuat fokusnya teralihkan. Semula dia tak terlalu ambil pusing, namun setelah melihat sosok yang ditandu oleh tim paramedis, Dio berhasil bergeming di tempat. Pria berkacamata itu segera berlari tergesa-gesa. Kenapa Rara bisa di sini? Dan apabila dilihat sekilas Rara jelas mengalami serangan panik lagi! Astaga, dunia Dio langsung runtuh!"Maaf, pak. Hanya yang berkepentingan yang dapat menemani pasien." Tahan seorang tim paramedis ketika Dio akan ikut naik ke ambulance."Saya ayahnya Rara. Dia putri saya."Pun sirene ambulance membelah jalanan siang Jakarta yang padat. Ketika orang-orang mulai berjubel keluar untuk mencari makan siang, di sini ada Dio yang terus memegang erat tangan Rara dengan perasaaan teriris. Kesadaran Rara masih terjaga, tapi sulit bernapas dan harus terhubung dengan bantuan oksigen. Sementara bagian paramedis mengecek tekanan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status