Namaku Adarga Handanu, orang-orang biasa menyapaku Danu. Orang bilang wajahku termasuk dalam kategori tampan, kulit bersih, dan juga perawakan yang atletis. Saat kuliah saja aku bisa memacari empat cewek sekaligus.
Saat ini, wanita yang beruntung memilikiku adalah Arini. Sebenarnya, dia bukanlah wanita cantik tapi entahlah ... justru hatiku tertambat padanya.
Arini, wanita mandiri yang mampu membuatku bertekuk lutut mengemis cinta dan mengabaikan gadis-gadis cantik lainnya. Wanita berkulit kuning langsat tinggi semampai namun tak pandai merias diri. Selain itu, dia juga kaku dalam urusan ranjang.
Ah, khusus urusan satu itu aku juga baru tahu setelah delapan bulan ini menikah dengannya. Sudah aku berikan tontonan film yang mungkin bisa untuk belajar, tapi tetap saja ia menolak dengan alasan malu.
Arini memang begitu polos, ia juga tak suka neko-neko. Delapan bulan menikah denganku, tak pernah aku dengar ia menuntut hal-hal yang di luar kemampuanku. Dia juga bukanlah gadis manja yang suka bergelayut dan merengek, sungguh ia berbeda dengan gadis-gadis yang dulu dengan mudah aku pacari.
Menilik latar belakang kehidupan Arini, wajar saja ia mandiri. Sejak kecil ia ikut paman dan bibinya, sedangkan ibunya pergi entah kemana semenjak cerai dengan ayah Arini. Didikan yang keras membentuknya menjadi wanita yang begitu tegar.
"Mas, Ibu akan datang besok," ucapnya pagi ini ketika sarapan.
Aku menghentikan suapan, dengan heran kutatap ia lekat. Sejak kapan ia berhubungan dengan ibunya? Bahkan saat pernikahan pun ibunya tak datang meski kami mencoba mencari keberadaannya untuk memberi kabar.
"Kenapa? Mas keberatan kalau ibu ke sini?" Wanitaku itu kembali berkata dengan ekspresi polosnya.
"Kamu yakin ibu akan ke sini?" Dahiku mengeryit tak yakin.
"Ibu kemarin telepon ke Paman Sam, dia bilang mau pulang. Tapi Mas kan tahu, ibu sudah nggak ada rumah di sana. Jadi, Paman Sam menyarankan untuk tinggal bersama kita." Panjang lebar Arini mencoba menjelaskan.
"Ya, terserah. Ini kan rumah kamu, semua keputusan ada di tangan kamu."
"Bukan begitu, Mas. Mas suami aku, jadi aku memberitahu Mas Danu." Nada suara Arini seolah menyiratkan rasa tidak nyaman karena jawabanku.
"Sayang ... dia ibumu, itu artinya juga ibuku. Jadi, tak ada masalah jika ibu mau tinggal di sini." Aku rengkuh jemarinya, berharap rasa canggung yang sempat menyambangi segera berlalu.
"Terimakasih, Mas." Kembali senyum wanitaku menyembul dari bibir tipisnya.
***
Bel di dekat pintu berbunyi saat tubuhku masih basah oleh guyuran air dari shower. Terpaksa ritual mandi besar aku batalkan dan bergegas menyambar handuk dan kaos.
Bola mataku membeliak ketika membuka pintu bersitatap dengan makhluk seksi dengan penampilan yang sungguh menggugah naluri kelelakianku. Bibir yang penuh itu berpoles lipstik merah terang, kulit wajahnya begitu mulus dan licin.
"Maaf, ini benar rumah Arini?" tanya wanita yang menurut perkiraanku berusia 35 tahunan itu.
"I-iya, benar. Mbak ini siapa?" Aku tergagap karena berusaha menghalau perasaan aneh yang sempat hadir.
"Aku ibunya Arini. Apa kamu suaminya?"
Aku terhenyak. Bagaimana mungkin wanita itu ibunya Arini? Sangat jauh berbeda dengan Arini yang begitu bersahaja dan terkesan biasa saja.
"Arini ada?" tanya wanita itu sembari melongok ke dalam.
"Di-dia masih belanja, Bu. Mari masuk."
Tanpa menjawab ia melenggang masuk menarik koper hingga ke ruang tengah.
"Di mana kamarku?"
"Kamar?" Netra ini sedikit mendelik karena tetiba pikiran agak kacau melihat tubuh sintal nan molek di hadapanku.
"Iya, kamarku. Bukankah Arini sudah tahu aku akan tinggal di sini?"
"Oh, mungkin kamar ini, Bu. Karena Arini tidak berpesan apapun tadi. Dia kira Ibu datang agak siang."
"Baiklah." Wanita itu kembali melenggokkan tubuh seksinya, meninggalkan aku yang hanya bisa menelan ludah.
***
Semenjak kedatangan ibu mertua, ketenanganku terusik. Jujur, penampilannya lebih menarik dari Arini. Imajinasiku menjadi liar tatkala memandang tubuh sintal itu meski dari belakang.
Degub jantungku tak beraturan ketika harus makan semeja dengannya. Bagaimana tidak? Ia mengenakan siluet belahan rendah, memamerkan bulatan besar yang pastinya tak dimiliki Arini.
Hari ini genap lima bulan ibu mertuaku di sini. Ia jarang bicara dengan Arini, mungkin karena ikatan batin antara anak dan ibu itu tak terjalin kuat sejak Arini kecil. Ibu lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton TV dan gawainya.
Pernah aku berusaha stalking akun facebook yang ia penuhi dengan foto selfie dan dibanjiri like dari kaum adam yang memuji kecantikan ibu mertuaku. Wanita yang ternyata berusia 44 tahun itu makin terlihat muda dengan hasil jepretan kamera jahat.
"Danu, bisa bantu Ibu?" panggilnya dari dalam kamar.
Aku yang hendak membuka pintu lemari es menjadi urung, padahal tenggorokan sudah ingin disiram air dingin. Tak ayal langkah ini bergegas menghampiri pintu kamar.
"Ada apa, Bu?" tanyaku masih di ambang pintu.
"Bantu Ibu menggeser lemari ini. Bosan dengan tatanan kamar ini. Kamu tahu kan, Arini seleranya nggak banget." Celotehnya sembari memegang sisi lain lemari.
Sebenarnya tubuhku lelah, baru saja pulang dari kantor sudah harus mendorong lemari. Tapi tak enak juga menolak permintaan ibu mertua. Mau tak mau, akhirnya aku menggeser lemari kayu pintu dua itu.
Tak hanya lemari, tempat tidur dan meja rias tak luput dari pemindahan. Bahkan memasang beberapa figura yang menampilkan koleksi gambar pose seksi ibu mertua, pose yang membuatku menelan ludah berulangkali.
"Danu, Arini pulang jam berapa hari ini?" Suara lembut itu tiba-tiba sudah ada di dekat telinga dengan hembusan napas yang menggoda.
Aku yang hendak memasang figura terakhir langsung terpegun bagai patung. Debaran itu semakin menjadi tatkala jemari itu menyentuh pipi, bibir, kemudian leherku.
"Ka-kata dia mau mampir belanja bulanan ke supermarket dulu, Bu." Aku masih tergagap dan memejamkan mata tak berani menatap wanita yang sedang menghembuskan aroma penuh goda.
"Danu, kenapa kamu nggak buka mata. Apa kamu takut?" Kali ini aku rasakan tangan lembutnya sudah bergelayut manja di leherku.
Dengan degup jantung yang semakin memompa kencang, kuberanikan untuk membuka mata perlahan. Ya, Tuhan ... begitu dekat hembusan napas itu. Naluriku sebagai lelaki bergejolak, tetapi hati kecil ini menarikku kembali ke otak warasku.
"Assalamualaikum," terdengar suara Arini yang menyelamatkan kesetianku.
Bergegas kuhampiri Arini, menyambut wanita sederhana itu dengan hangat. Mengambil alih belanjaan berat di tangannya sembari kucuri cium pipi yang disambut tawa kecil cerianya.
Sementara itu, sekilas kulihat tatapan aneh dari pemilik netra penuh goda saat melintas depan kamar yang hampir saja meluluhlantakkan kesetiaanku.
PEKANBARU - SP (26) tertangkap basah istrinya DR (21) saat sedang indehoi dengan NUR (36) yang tidak lain adalah ibu kandung korban. Pengakuan keduanya, bahwa perselingkuhan ini sudah dilakukan sejak lama."Antara SP dan ibu mertuanya sudah berhubungan layaknya suami istri sejak 4 tahun lalu," kata Kanit Reskrim Polsek Lima Puluh, Pekanbaru, Riau, Senin (6/3/2017).Perbuatan amoral itu selalu dilakukan mereka saat kondisi sepi. Kondisi NUR yang di rumah sendiri, membuat hubungan terlarang keduanya bisa berlangsung lama. Tubuh molek NUR membuat SP keranjingan dan menyukai mertuanya.~~~Tangan ini dengan kasar melipat asal dan membanting koran yang baru saja aku baca. Berita yang justru menambah resah gelisah pikiranku.Bayang wanita dengan kerling nakal itu terus saja menari di pelupuk mata, seolah melambai mengajakku menyelami lautan asmara bersama."Sial!" umpatku sembari menyapu dengan kasa
Dewi malam telah menyambut, bulan separuh menggantung cantik di langit gelap menggantikan tugas sang bagaskara. Kulirik penunjuk waktu di pergelangan tangan yang menampilkan angka digital 19.55, itu artinya Arini sebentar lagi akan pulang.Sengaja aku menunggu di warung kopi tepat di tikungan jalan dekat rumah. Sembari menikmati kopi hitam dan gorengan, pikiranku melayang kembali ke kejadian sore tadi.Bagaimana jika Arini tahu aku mengunci ibunya di kamar? Apa alasanku akan ia terima? Apakah Arini akan percaya dengan perkataanku? Bagaimana jika wanita iblis itu memutarbalikkan fakta? Apakah Arini akan lebih percaya pada ibunya?Terlampau banyak pertanyaan berputar dalam otakku, membuat kepala ini terasa pening. Sudah lama aku ingin mengusulkan agar Arini mengontrakkan rumah untuk ibunya, atau mencarikan suami agar wanita itu tidak kesepian.Namun, semua ide itu hanya sebatas ide yang terpendam dalam pikiran t
Kata demi kata telah kurangkai sedemikian rupa agar tak menjadi salah paham antara aku dengan Arini. Tapi sepertinya masih belum cukup memberi sinyal alarm kepada kepekaan wanita yang hatinya bak peri itu.Gemas aku dibuatnya. Aku di sini bertarung melawan jala jerat yang ditebar oleh ibu mertua, sedangkan Arini tak jua memahami apa yang sedang menjadi kegelisahanku."Dek, Mas nggak nyaman dengan penampilan ibu yang terlalu seronok seperti itu," protesku kemarin sore saat melihat ibu mertua yang hanya mengenakan siluet dan celana jeans pendek.Arini mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang sedang menyirami tanaman pot di depan rumah. Dapat kudengar desah napas meski perlahan, sepertinya ia sedang menghalau perasaan yang mulai mengganggu pikiran.Kulihat ada raut resah yang menggelayut di riak wajahnya. Mungkinkah dia mulai mengerti dengan apa yang ada dalam hatiku?'Tuhan, bantu Arini memb
Kejadian di kantor membuatku semakin ingin mencari cara agar Arini segera bisa melihat kelakuan ibunya. Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena nafsu ibu mertua yang kegenitan.Malam ini sudah aku rancang semua percakapan, berharap tak ada salah paham yang membuat Arini berpikir aku tidak menyukai keberadaan ibunya di rumah ini.Terkadang aku merasa tak leluasa dalam berpendapat, mengingat kembali rumah yang kutempati adalah hasil jerih payah Arini. Meski Arini tak pernah mengungkit ataupun menyinggung, tetap saja aku punya rasa tak enak jika harus banyak komplain.Malam ini, setelah makan malam aku langsung pamit masuk ke kamar lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Berharap Arini segera menyusulku ke kamar. Benar saja, dia masuk dengan membawa wedang jahe hangat dan minyak kayu putih di tangan.Ah, dia memang istri yang super. Menerima penghasilan yang kuberikan tanpa mencibir, melayaniku tanp
Pov AriniNamaku Arini, Arini Prabandari itu lengkapnya. Terlahir dalam keluarga broken home. Sejak kecil dalam asuhan paman dan bibi. Cerita tentang orang tuaku hanya kudengar dari mereka saja.Jujur, kekecewaan itu ada ketika mengetahui bagaimana kehidupan ayah dan ibu. Terlalu tragis bagiku, tapi tidak untuk ibu.Kata paman, ayahku pengusaha baja kuningan yang tergolong sukses. Banyak barang bernilai seni hasil produksinya yang tembus ke pasaran internasional.Ayah menikahi ibu yang berstatus janda bukan semata-mata karena ibu cantik, tapi lebih pada rasa iba. Ibu saat itu sedang kebingungan di sebuah terminal sambil menggendong anak kecil.Sungguh ironis memang, ayah yang datang sebagai dewa penolong justru harus berakhir tragis. Pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun dan dalam masa itu ayah kehilangan semua jerih payah yang ia bangun bertahun-tahun.Ya, ayahku adalah
"Mas, Sabtu besok aku ada tugas keluar kota. Ada pelatihan yang bahas produk perbankan baru," ucap Arini saat ia menyisir rambut di depan cermin.Kuhentikan jemariku dari aktivitas berseluncur di dunia maya. Kudekati wanita tangguhku dan mendekap erat tubuhnya dari belakang. Seketika indra penciumanku langsung dimanjakan oleh harum rambut seusai keramas."Dek, bisa nggak kalau tugasnya dilempar ke yang lain?" Aku berharap Arini tak meninggalkan rumah, karena itu artinya memberi celah pada wanita jelmaan itu untuk membuatku semakin gila."Nggak bisa, Mas. Pimpinan langsung menunjukku karena aku yang nantinya berkompeten untuk mempublikasikan produk tabungan itu." Dengan lembut ia menjawab seraya telapak tangan kanannya mengelus pipiku.Aku membalikkan badannya, menatap netra dengan manik kelam itu. Ingin kuselami dan kutemukan apa yang sebenarnya mengendap dalam pikiran wanita yang begitu tenang dan teduh ini.
Semenjak kepergian Arini keluar kota, kuputuskan untuk numpang di kost-kostan Martin, teman sekantor. Hanya dengannya kuceritakan semua dan disambut dengan gelak tawa.Mungkin baginya kisah menantu dikejar-kejar mertua itu sama seperti kisah Abu Nawas, penuh tantangan yang butuh akal ekstra untuk mengalahkan semua permainan atau teka-teki.Tak kupungkiri, ada kekhawatiran yang merayapi ruang pikir. Bagaimana jika Arini melihat video perlakuanku ke ibunya. Yang kutakutkan adalah Arini hilang hormat padaku yang berujung ia akan mendiamkan aku berhari-hari atau lebih parahnya mengusirku karena tidak terima ibunya aku bentak-bentak.Ah! Kenapa wanita iblis itu hadir dalam hidupku. Kupikir manusia seperti itu hanya ada dalam film-film saja, tapi ternyata memang ada dan hadir dalam kehidupanku sebagai penguji.Pikiranku buntu saat ini. Otak tak mampu bekerja mencari jalan keluar. Ingin rasanya membalas, tapi takut justru
Pov Ibu mertuaAku terpegun dalam diam, di bangku kosong sudut taman kota ini aku melayangkan kembali masa-masa yang tak ingin kuingat lagi. Masa di mana kebodohan itu bermula, masa penuh kepalsuan yang membawaku ke kehidupan yang justru lebih buruk dari sebelumnya.Dengan nanar kutatap alam kota ini kembali, menghirup udara dalam-dalam dan berharap akan ada asa yang menghampiri.Entah sudah berapa lama aku tak menginjakkan kaki di tanah kelahiran suamiku, tepatnya mantan suamiku. Semenjak perpisahan kala itu, aku benar-benar menjauh dari kehidupannya.Aku tinggalkan suami dan anakku yang saat itu masih berusia dua tahun. Sebuah kebodohan yang tak harus kusesali, karena bagaimana pun khilaf yang kulakukan penyebabnya adalah ketidakbecusan Mas Rahman dalam hal pemuasan urusan ranjang.Ya, Mas Rahman saat itu terkena penyakit diabetes sehingga mengganggu kejantanannya. Aku wanita muda yang masih norma