Share

Dilema

Dewi malam telah menyambut, bulan separuh menggantung cantik di langit gelap menggantikan tugas sang bagaskara. Kulirik penunjuk waktu di pergelangan tangan yang menampilkan angka digital 19.55, itu artinya Arini sebentar lagi akan pulang.

Sengaja aku menunggu di warung kopi tepat di tikungan jalan dekat rumah. Sembari menikmati kopi hitam dan gorengan, pikiranku melayang kembali ke kejadian sore tadi.

Bagaimana jika Arini tahu aku mengunci ibunya di kamar? Apa alasanku akan ia terima? Apakah Arini akan percaya dengan perkataanku? Bagaimana jika wanita iblis itu memutarbalikkan fakta? Apakah Arini akan lebih percaya pada ibunya?

Terlampau banyak pertanyaan berputar dalam otakku, membuat kepala ini terasa pening. Sudah lama aku ingin mengusulkan agar Arini mengontrakkan rumah untuk ibunya, atau mencarikan suami agar wanita itu tidak kesepian. 

Namun, semua ide itu hanya sebatas ide yang terpendam dalam pikiran tak tersampaikan tanpa keberanian untuk mengungkap. Entahlah ... aku hanya memikirkan perasaan Arini, aku takut ia akan salah paham. Tapi jika seperti ini terus menerus, aku yang tersiksa dengan godaan yang sulit ditolak.

'Baiklah, malam ini aku harus mencoba bicara ke Arini,' gumamku dalam hati mencoba menegaskan langkah yang akan aku ambil.

Aku bergegas pamit pada teman-teman nongkrong. Kupikir aku harus segera pulang sebelum Arini tahu aku mengurung ibunya. Paling tidak aku tidak menjadi tersangka percobaan penganiayaan mertua.

Suasana hening. Lengang tak ada suara teriakan itu lagi. Mungkin saja wanita itu kelelahan berteriak. Segera kuputar anak kunci perlahan agar tak terdengar olehnya. Tapi baru saja tangan ini memutar, sebuah suara lagi-lagi mengejutkan aku.

"Menantu kurang ajar!"

Sontak aku berbalik. Wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah itu sudah ada di hadapanku dengan berkacak pinggang. Sepertinya ia marah, tapi biarlah ... yang penting aku selamat dari jeratan setan terkutuk ini.

"Kamu pikir mempermainkan aku itu bagus?" tanyanya dengan nada kesal.

"Maaf, Bu. Aku nggak ada maksud begitu. Oh ya, sebentar lagi Arini pulang. Sebaiknya ibu masuk kamar dan ganti pakaian yang lebih tertutup," ucapku dengan sedikit senyum yang kupaksakan.

"Awas kamu!" ancam wanita itu seraya berlalu dari hadapanku menuju kamar, dentuman pintu yang dibanting keras cukup membuatku kaget dan mengelus dada.

Kutarik napas lega, kemudian menghempaskan tubuh ke atas sofa di depan TV. Tak berselang lama kudengar suara motor Arini. Dengan hati penuh bunga kusambut bidadari tak bersayap itu. Sengaja tak kubiarkan diri ini jauh darinya hingga waktu menjelang tidur.

"Mas ini kenapa, sih? Akhir-akhir ini setiap aku pulang pasti romantis habis," tanya Arini saat kupijat kaki jenjangnya.

Kutatap netra teduh milik Arini. Ingin sekali aku jujur mengungkapkan semua, tetapi lidah ini begitu kelu. Akan ada luka yang menikam hati, kecewa sudah pasti akan menjalar membunuh setiap rasa.

"Dek, boleh nggak Mas bicara?" tanyaku dengan hati-hati.

"Mas ini kayak dengan orang lain aja. Mas mau bicara apa?"

"Tapi janji jangan tersinggung, ya?" Aku menghentikan pijatan dan mengubah posisi lebih dekat dengannya.

"Nggak akan tersinggung asalkan jangan bicara tentang wanita lain." Tawa kecil Arini menyertai kalimatnya.

"Anu, Dek ... ehm ... begini." Kebingungan justru melanda, bagaimana aku harus memulai mengutarakan semua ke Arini.

"Mas Danu baik-baik aja, kan?" Mata bulat Arini menyelidik, membuatku makin tak yakin untuk melanjutkan kata-kata.

"Ya sudah, Dek. Kita tidur saja."

"Mas yakin?"

Aku hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Kurebahkan badan dan merengkuh kepala Arini, kukecup puncak kepalanya dengan lembut.

"Mas yakin nggak mau sesuatu malam ini?" Kepala Arini mendongak ke arahku, manik bening dengan kerlingan nakal itu menggodaku.

Aneh, kenapa tiba-tiba Arini jadi agresif? Imajinasiku kembali ke Bu Hera, wanita bertubuh sintal yang begitu menggoda. Imajinasi yang liar membuatku bergairah saat memadu kasih dengan Arini.

****

Suara adzan subuh menyentuh gendang telinga, membangunkanku dari mimpi. Saat mata ini terbuka, tepat di hadapanku wajah Arini yang masih lelap dalam tidurnya.

Netraku menelusuri setiap inci wajah halus nan bersih itu, wajah yang terlukis dalam sanubariku. Wajah yang tak mampu kutepis saat jatuh cinta dengannya.

Arini, kehidupan keras telah kamu jalani dari kecil. Aku tak ingin hatimu terluka oleh ibu kandungmu sendiri. Tapi aku butuh bantuanmu, aku takut tak mampu menahan setiap bisik rayuan yang terus mengikis pertahanan hati ini.

Aku bangkit, duduk di tepi ranjang. Kubenamkan wajah dalam telangkupan tangan. Mencoba menepis gejolak nafsu saat teringat kemolekan tubuh wanita kesepian itu.

"Mas," panggilan Arini dengan tepukan di bahu membuatku terhenyak dari lamunan.

"Mas ini kenapa? Pagi-pagi kok sudah gelisah. Ada masalah?"

"Nggak apa-apa, Dek. Mas hanya lagi mikir."

"Mikir apa? Kayaknya serius banget." Tatapan Arini makin membuatku tak nyaman.

"Kita mandi terus salat subuh dulu, ya? Setelah itu Mas mau ngomong."

Tanpa banyak bicara Arini tersenyum dan mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Beruntung kamar ini terdapat kamar mandi dalam, sehingga aku tak perlu repot-repot bersitatap dengan wanita pemilik tubuh semlohai itu di pagi buta.

Setelah menunaikan dua rakaat subuh, aku memantapkan hati untuk mengutarakan ide yang telah kurancang beberapa hari ini.

"Dek, bagaiman kalau ibu kita carikan kontrakan saja?"

Arini yang sedang melipat mukena menghentikan gerakan tangannya, kembali netra itu menatapku seolah minta penjelasan.

"Mas keberatan kalau ibu tinggal di sini?"

"Bu-bukan begitu, Dek."

"Lalu?"

Aku terdiam. Bingung. Salah tingkah. "Mas jadi nggak nyaman kalau ada ibu di sini," lanjutku, namun segera kusesali ucapanku.

Semakin bingung dan kacau tingkahku, tak tahu lagi menyusun kata yang baik agar tak menyinggung.

"Kenapa Mas baru bilang kalau merasa tak nyaman jika ibuku di sini?  Apa dia merepotkan Mas?"

"Bu-bukan begitu, Dek. Haduuh ... Mas bingung ngomongnya." Aku garuk kepala yang tak gatal dengan kasar.

"Apa ibu menyinggung perasaan Mas? Atau mungkin ibu berkata kasar ke Mas Danu?"

"Nggak, Dek."

"Lalu?" Arini semakin menekanku, sungguh ia tak tahu bencana apa yang  tengah mengancamnya.

"Kenapa ibu tidak menikah lagi, Dek? Kalau dia menikah lagi, pastinya akan punya kehidupan sendiri." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, maksud Mas Danu ... ibu selama ini mencampuri urusan kita?"

"Duuuh ... salah lagi." Kutepuk jidat ini, menyesal dengan ucapan yang kulontarkan.

"Mas Danu ini kenapa, sih? Heran, deh!" celoteh Arini seraya tangannya meneruskan melipat mukena dan meninggalkan aku sendiri dengan sejuta kebingungan.

Kecemasan kian melanda, sekuat-kuatnya batu karang pasti lama kelamaan akan terkikis pula oleh deburan ombak. Apalagi nafsu yang mengendap dalam diri, tak selamanya akan mampu dikekang.

Arini, aku berharap secepatnya kamu bisa memahami apa yang terjadi. Abang tak sanggup lagi menahan seorang diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status