Share

9. Aku Hanya Merindukan Istriku

la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki.

Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. 

Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. 

“Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau lelah sebaiknya Mas tidur dulu saja. Lagi pula Mas baru saja pulang dari perjalanan kan?” Bela meletakkan bolpoin miliknya. Tubuhnya yang mungil kini bergerak agar bisa menangkap tubuh Aru yang sudah agak lunglai. Bela memeluk suaminya dengan lembut.

Hati Aru semakin tercabik-cabik, menghirup aroma tubuh milik Bela, dan mendengar detak jantung milik Bela. Dia tidak akan bisa melepaskan Bela jika saja dia tidak menahan diri. Akhirnya Aru mencoba untuk menguatkan hatinya. Toh ini juga untuk Bela. 

“Aku hanya merindukan istriku. Karena akhir-akhir ini aku sangat sibuk di luar kota, aku harus meninggalkan istriku di rumah dan membiarkannya sendirian saja.” Aru memandangi mata Bela satu persatu, seolah ingin merekam pergerakan dari bulu mata lentiknya yang terlihat cantik. Lalu mata Aru menyisiri wajah Bela, yang selalu terlihat cerah dan sangat manis. 

“Saat aku berada di luar kota, aku selalu teringat tentang kamu, Sayang. Aku juga mengingat mengenai perjodohan kita dahulu. Terkadang semuanya masih terasa seperti mimpi. Tapi aku bersyukur bahwa akhirnya kita bisa bersama. Meskipun kau masih di bawah umur, Sayang, dan meski kau masih menjalankan tugasmu menjadi seorang pelajar, aku sama sekali tidak pernah tidak merasa bersyukur memilikimu. Kau harus mengingat mengenai yang satu itu.” Aru menarik wajah Bela dengan pelan, lalu dia mengecup puncak kepala gadis itu.

Kesejukan dirasakan oleh Bela, yang berasal dari cinta dan kasih tak terbatas dari Aru. Dia memang merasa sangat bahagia, bahwa seorang lelaki yang kini menjaganya setelah ayahnya meninggal adalah seorang lelaki seperti Aru. Kebahagiaannya tak pernah bisa diutarakan sebesar apa. Dengan begitu entah kenapa Bela ingin segera memberikan keturunan pada Aru, sehingga kebahagiaan mereka akan menjadi lebih lengkap. 

… 

Elang berdecih saat melihat Aru dari kejauhan. Kebenciannya sekali lagi mengudara dengan tinggi. Saat itu dia berada di bandara, baru saja kembali dari Lombok dan Aru yang memintanya untuk itu. 

“Sialan! Sampai kapan aku akan ditekan begini?” umpat Elang dengan kesal. Wajahnya yang tegas dan angkuh kini ditutupi oleh masker berwarna hitam. Dia juga memakai topi berwarna hitam, kaos tipis berwarna hitam, dan celana berwarna cokelat. Saat melihat Aru mendekat, Elang melirik pada para remaja yang sedang bercanda satu sama lain.

“Dasar remaja-remaja bodoh!” maki Elang, yang sebenarnya merasa agak cemburu. Lalu dia pergi untuk menghindari para remaja itu dan menunggu Aru mendekat padanya pada suatu sudut. 

Tak lama kemudian Aru sampai di depan Elang. Dia mengamati saudara kembarnya itu, lalu dia berkata, “Apa salah satu remaja itu adalah kenalanmu? Atau salah satu dari mereka adalah temanmu?”

Wajah Elang terlihat tidak suka. Dia mendorong koper miliknya pada Aru. “Aku tidak punya teman.” Dan Elang pergi begitu saja dan mendahului Aru yang sedang menyeret kopernya dengan agak susah payah.

Elang memang sudah terbiasa hidup dalam kesepian. Tidak ada teman yang bisa dia dapatkan di sekolahnya dulu, bahkan di dunia sosialnya kini. Teman-teman yang dia miliki hanyalah jenis teman yang menyukai uangnya, lalu saat Elang lengah mereka akan menusuknya dari belakang. 

Elang membenci semua jenis hubungan yang ada di antara para manusia. Entah itu adalah pertemanan, keluarga, atau hubungan asmara. Dia adalah seorang lelaki yang tidak beruntung di semua jenis hubungan itu. Dia merasa cemburu pada orang-orang, dan dia merasa sakit hati. Hanya saja dia menunjukkan kecemburuannya dengan sikap keji dan juga sikap ketus.

Keduanya menuju ke luar bandara dan kemudian masuk ke dalam mobil milik Aru. Meski dalam kondisi lemah, Aru memaksakan diri untuk menyetir. Dia berkata, “Kita akan pergi ke rumah seseorang. Dia adalah orang yang akan membantumu untuk menjadi diriku nanti.”

“Aku tidak peduli,” ketus Elang. Kemudian dia memakai kacamata hitamnya, menurunkan topi agar menutupi wajahnya lalu dia pura-pura tidur. 

Aru mengemudi dengan agak kepayahan. Tubuhnya sudah mulai lelah dan lemah, namun dia kembali menguatkan diri. Saat lampu merah tiba dia akan mengeluakan ponselnya dan melihat foto Bela di dalamnya. Hal itu yang akan memberinya kekuatan.

Setelah beberapa menit perjalanan, mobil Aru sudah berbelok pada pelataran rumah milik Dimas. Mesin dimatikan lalu Aru menoleh pelan pada Elang yang nampak seperti gumpalan bulu berwarna hitam, bulu yang nampak kuat dan mengancam.

Sementara Aru hanya mengenakan kemeja panjang bermotif pudar, lengan disingsingkan, lalu celana linen yang nyaman. Gaya berpakaian Aru memang cenderung norak. Mungkin dia akan terlihat lebih baik jika saja kondisi tubuhnya masih sebugar dulu.

“Ru, kau sudah datang?” Dimas ternyata sudah keluar dari rumah. Dia yang memakai kacamata kini menganga saat melihat penampakan Elang yang menggeliat dan membuka topi serta masker di wajahnya.

Dimas memang sudah pernah melihat foto Elang saat Elang masih kecil, dan wajahnya memang sama dengan Aru. Akan tetapi dulu kondisi Elang sangat memprihatikan, begitu kurus dan tidak terawat.

Sekarang dia seperti melihat orang lain, bukannya Elang. Elang telah berubah menjadi sosok yang tampan dan keren. Dan jujur saja di mata Dimas dia mulai mempercayai bahwa Elang seharusnya adalah Aru, karena di kepalanya Aru adalah anak yang kuat dan selalu pandai dalam latihan fisik.

“Kau tidak perlu keluar begini. Aku yang akan masuk ke kamarmu,” kata Aru. Dia sudah keluar dari dalam mobil setelah menyelempangkan tas hitam miliknya. Tubuhnya yang layu itu kini sudah berdiri tepat di hadapan Dimas, membuat Dimas sekali lagi meragukan identitas asli milik Aru. 

“Eh, yeah, aku mendengar deru mobil. Jadi aku memilih untuk keluar.” Sedari tadi pandangan mata Dimas tidak bisa lepas dari sosok Elang, yang sekarang sudah keluar dari dalam mobil dengan angkuh. 

Kulit Elang yang bersih menjadi agak kemerahan saat terkena sinar matahari. Tubuh kekar dan tinggi miliknya bagai cetakan surga dari tangan yang terampil. Dan rambutnya yang tebal dan hitam menambah kesan sempurna pada dirinya. 

“Itu Elang, Ru?” tanya Dimas sudah tidak tahan lagi. Dia merapatkan tubuh pada Aru dan berbisik di telinganya, takut jika Elang medengar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status