la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki.
Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat.
Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya.
“Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau lelah sebaiknya Mas tidur dulu saja. Lagi pula Mas baru saja pulang dari perjalanan kan?” Bela meletakkan bolpoin miliknya. Tubuhnya yang mungil kini bergerak agar bisa menangkap tubuh Aru yang sudah agak lunglai. Bela memeluk suaminya dengan lembut.
Hati Aru semakin tercabik-cabik, menghirup aroma tubuh milik Bela, dan mendengar detak jantung milik Bela. Dia tidak akan bisa melepaskan Bela jika saja dia tidak menahan diri. Akhirnya Aru mencoba untuk menguatkan hatinya. Toh ini juga untuk Bela.
“Aku hanya merindukan istriku. Karena akhir-akhir ini aku sangat sibuk di luar kota, aku harus meninggalkan istriku di rumah dan membiarkannya sendirian saja.” Aru memandangi mata Bela satu persatu, seolah ingin merekam pergerakan dari bulu mata lentiknya yang terlihat cantik. Lalu mata Aru menyisiri wajah Bela, yang selalu terlihat cerah dan sangat manis.
“Saat aku berada di luar kota, aku selalu teringat tentang kamu, Sayang. Aku juga mengingat mengenai perjodohan kita dahulu. Terkadang semuanya masih terasa seperti mimpi. Tapi aku bersyukur bahwa akhirnya kita bisa bersama. Meskipun kau masih di bawah umur, Sayang, dan meski kau masih menjalankan tugasmu menjadi seorang pelajar, aku sama sekali tidak pernah tidak merasa bersyukur memilikimu. Kau harus mengingat mengenai yang satu itu.” Aru menarik wajah Bela dengan pelan, lalu dia mengecup puncak kepala gadis itu.
Kesejukan dirasakan oleh Bela, yang berasal dari cinta dan kasih tak terbatas dari Aru. Dia memang merasa sangat bahagia, bahwa seorang lelaki yang kini menjaganya setelah ayahnya meninggal adalah seorang lelaki seperti Aru. Kebahagiaannya tak pernah bisa diutarakan sebesar apa. Dengan begitu entah kenapa Bela ingin segera memberikan keturunan pada Aru, sehingga kebahagiaan mereka akan menjadi lebih lengkap.
…
Elang berdecih saat melihat Aru dari kejauhan. Kebenciannya sekali lagi mengudara dengan tinggi. Saat itu dia berada di bandara, baru saja kembali dari Lombok dan Aru yang memintanya untuk itu.
“Sialan! Sampai kapan aku akan ditekan begini?” umpat Elang dengan kesal. Wajahnya yang tegas dan angkuh kini ditutupi oleh masker berwarna hitam. Dia juga memakai topi berwarna hitam, kaos tipis berwarna hitam, dan celana berwarna cokelat. Saat melihat Aru mendekat, Elang melirik pada para remaja yang sedang bercanda satu sama lain.
“Dasar remaja-remaja bodoh!” maki Elang, yang sebenarnya merasa agak cemburu. Lalu dia pergi untuk menghindari para remaja itu dan menunggu Aru mendekat padanya pada suatu sudut.
Tak lama kemudian Aru sampai di depan Elang. Dia mengamati saudara kembarnya itu, lalu dia berkata, “Apa salah satu remaja itu adalah kenalanmu? Atau salah satu dari mereka adalah temanmu?”
Wajah Elang terlihat tidak suka. Dia mendorong koper miliknya pada Aru. “Aku tidak punya teman.” Dan Elang pergi begitu saja dan mendahului Aru yang sedang menyeret kopernya dengan agak susah payah.
Elang memang sudah terbiasa hidup dalam kesepian. Tidak ada teman yang bisa dia dapatkan di sekolahnya dulu, bahkan di dunia sosialnya kini. Teman-teman yang dia miliki hanyalah jenis teman yang menyukai uangnya, lalu saat Elang lengah mereka akan menusuknya dari belakang.
Elang membenci semua jenis hubungan yang ada di antara para manusia. Entah itu adalah pertemanan, keluarga, atau hubungan asmara. Dia adalah seorang lelaki yang tidak beruntung di semua jenis hubungan itu. Dia merasa cemburu pada orang-orang, dan dia merasa sakit hati. Hanya saja dia menunjukkan kecemburuannya dengan sikap keji dan juga sikap ketus.
Keduanya menuju ke luar bandara dan kemudian masuk ke dalam mobil milik Aru. Meski dalam kondisi lemah, Aru memaksakan diri untuk menyetir. Dia berkata, “Kita akan pergi ke rumah seseorang. Dia adalah orang yang akan membantumu untuk menjadi diriku nanti.”
“Aku tidak peduli,” ketus Elang. Kemudian dia memakai kacamata hitamnya, menurunkan topi agar menutupi wajahnya lalu dia pura-pura tidur.
Aru mengemudi dengan agak kepayahan. Tubuhnya sudah mulai lelah dan lemah, namun dia kembali menguatkan diri. Saat lampu merah tiba dia akan mengeluakan ponselnya dan melihat foto Bela di dalamnya. Hal itu yang akan memberinya kekuatan.
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil Aru sudah berbelok pada pelataran rumah milik Dimas. Mesin dimatikan lalu Aru menoleh pelan pada Elang yang nampak seperti gumpalan bulu berwarna hitam, bulu yang nampak kuat dan mengancam.
Sementara Aru hanya mengenakan kemeja panjang bermotif pudar, lengan disingsingkan, lalu celana linen yang nyaman. Gaya berpakaian Aru memang cenderung norak. Mungkin dia akan terlihat lebih baik jika saja kondisi tubuhnya masih sebugar dulu.
“Ru, kau sudah datang?” Dimas ternyata sudah keluar dari rumah. Dia yang memakai kacamata kini menganga saat melihat penampakan Elang yang menggeliat dan membuka topi serta masker di wajahnya.
Dimas memang sudah pernah melihat foto Elang saat Elang masih kecil, dan wajahnya memang sama dengan Aru. Akan tetapi dulu kondisi Elang sangat memprihatikan, begitu kurus dan tidak terawat.
Sekarang dia seperti melihat orang lain, bukannya Elang. Elang telah berubah menjadi sosok yang tampan dan keren. Dan jujur saja di mata Dimas dia mulai mempercayai bahwa Elang seharusnya adalah Aru, karena di kepalanya Aru adalah anak yang kuat dan selalu pandai dalam latihan fisik.
“Kau tidak perlu keluar begini. Aku yang akan masuk ke kamarmu,” kata Aru. Dia sudah keluar dari dalam mobil setelah menyelempangkan tas hitam miliknya. Tubuhnya yang layu itu kini sudah berdiri tepat di hadapan Dimas, membuat Dimas sekali lagi meragukan identitas asli milik Aru.
“Eh, yeah, aku mendengar deru mobil. Jadi aku memilih untuk keluar.” Sedari tadi pandangan mata Dimas tidak bisa lepas dari sosok Elang, yang sekarang sudah keluar dari dalam mobil dengan angkuh.
Kulit Elang yang bersih menjadi agak kemerahan saat terkena sinar matahari. Tubuh kekar dan tinggi miliknya bagai cetakan surga dari tangan yang terampil. Dan rambutnya yang tebal dan hitam menambah kesan sempurna pada dirinya.
“Itu Elang, Ru?” tanya Dimas sudah tidak tahan lagi. Dia merapatkan tubuh pada Aru dan berbisik di telinganya, takut jika Elang medengar.
***
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.…Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bah
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan
Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pe
“Halo, Ru? Elang hilang.” Dimas terengah saat mengatakan hal itu. Wajahnya bahkan sudah dipenuhi oleh bulir keringat. Dia sedang mondar-mandir di tempat di mana mobil ringsek Aru digulingkan.Sementara Aru yang masih berada di jalan untuk menuju ke bandara hanya bisa mematung, seolah enggan mempercayai apa yang baru saja dia dengar. “Ini mimpi kan? Aku pasti tertidur di mobil menuju ke bandara lalu memimpikan hal yang tidak-tidak,” bisik Aru pada dirinya tanpa sadar.Sebelum benar-benar meninggalkan Elang dan misi mereka, Aru memang sudah berpikiran negative. Di antaranya adalah bagaimana jika nanti terdapat banyak rintangan yang bisa mengagalkan rencana kali ini?Bagaimana jika sesuatu terjadi atau bagaimana jika Elang tiba-tiba kabur dan mengelabuhi
Elang sudah mulai tersadar walau dia belum ingin memperlihatkannya. Tangannya diikat di belakang punggung sementara mulutnya ditempeli lakban sehingga dia tidak bisa berbicara atau berteriak.‘Itukah penculikku?’ batin Elang yang pelan-pelan membuka mata untuk mengintip. Sekarang dia berada di dalam mobil untuk menuju ke suatu tempat yang tidak Elang ketahui.Saat bersembunyi di hutan Alas Roban, Elang sedang membuat panggilan dengan Dimas. Seperti yang sudah diketahui, Elang sendiri tidak bisa menjawab apa pun karena saking terkejutnya dia saat melihat pistol tiba-tiba ditodong ke kepalanya.Ada dua sosok hitam di depannya saat itu, yang berbadan tegap dan tidak terlalu jelas wajahnya. Keduanya membawa senjata. Satu orang membawa pistol, yang ditodongkan pada Elang, satunya lagi membawa pisau y
Begitulah akhirnya. Elang yang tadinya ingin kabur dari dua orang asing yang berusaha membunuhnya justru malah berhasil dibebukan hingga pingsan. Lalu saat membuka mata dia justru sudah berada di dalam mobil bersama dua orang asing itu.“Dia masih pingsan?” kata salah satu lelaki asing itu.Sekarang hari mulai fajar. Semburat merah terlihat di kejauhan. Tapi tetap belum mampu menampakkan cahaya yang terang, yang mungkin bisa menampakkan sosok Elang. Tapi toh itu tidak ada gunanya karena Elang digulingkan hingga kepalanya tidak akan nampak dari luar.“Sepertinya masih. Kau takut dia bangun? Bius saja lagi!” jawab rekannya, yang mengemudi.“Tidak. Nanti saja jika sudah kepepet. Kau tau kan kebanyakan bius juga tidak baik. Kita harus membawanya hidup-hidup tanpa terluka agar kita bisa mendapatkan bayaran yang setimpal.” Tercium uap asap rokok setelah lelaki itu berbicara. Sementara Elang yang sudah sadar
Wirya oleng sesaat setelah Elang menubruknya dari belakang. Bahkan kemudi mobilnya tidak terkendali hingga membuat mobil itu menggila tak karuan di jalan. Tapi justru itu yang Elang inginkan agar ada orang lain yang menemukan sesuatu yang ganjil dengan mobil itu.“Woy, woy!” Hanya itu teriakan yang bisa dilakukan Wirya sampai akhirnya Wirya berteriak lagi, “Jo! Bantu aku, Jo! Tahan dia!” teriaknya lagi.Jo yang tadinya terguncang kaget kini berusaha mengendalikan Elang yang justru terlihat seperti penjahat di situ. Elang sudah mengamuk layaknya banteng yang membahayakan. Jo berusaha memegangi Elang. “Tenang! Kembali ke belakang! Kembali atau kau menyesal.”Sejak mengetahui bahwa Elang akan dipulangkan dalam kondisi selamat, lelaki itu nampaknya sudah tidak memiliki ketakutan di dalam hatinya. Elang akan terus menjejak dan menubruk sampai dia bisa terbebas dari mobil yang menculiknya itu.“Hey, tenang! Atau kau aka