“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.
Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”
Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan tubuhnya sudah menjauhi Bela. “Kenapa?” tanya Aru, dia mulai merasa tidak percaya diri, merasa curiga, dan merasakan hal tidak enak lainnya.
Aru mengira bahwa Bela tidak ingin berhubungan lebih dekat dengannya, karena Aru yang sudah tidak setampan dulu dan sudah tidak mempesona seperti dulu. Hal itu bisa terjadi tentu saja karena kondisi fisiknya yang lemah dan layu, aura yang memudar, dan kulit yang sangat pucat. Aru memang berada pada fase terendah dalam hal kepercayaan diri miliknya.
Belum lagi jika ingatannya tertarik jauh pada sosok Elang yang akan segera menggantikan posisinya di samping Bela. Elang adalah sosok yang sempurna, sangat tampan, dan begitu kharismatik. Aru menjadi ciut seketika.
“Kenapa kau melarangku menciumi lehermu? Apa kau tidak menyukainya?”
Sentilan cukup tajam dari Aru telah membuat Bela agak kaget. Tidak pernah di sepanjang hubungan mereka, Bela melihat Aru menjadi tersinggung begini. Dan Bela tidak pernah sekalipun melihat Aru mempertanyakan permintaannya. Karena selama ini Aru akan lebih paham karena sifat dewasanya yang matang.
Bela kini merasa sangat buruk. Dia merasa seperti mengkhianati Aru sekaligus mencaci suaminya. “Aku ingin Mas berhenti menciumi leherku karena…..” Bela kini menunduk, tadinya dia ingin mengatkannya dengan lantang, namun sedetik kemudian pipinya memerah dan dia mnejadi sangat malu. Dia menggosok ujung piyamanya cukup resah. “Karena geli, Mas. Rasanya geli jika Mas menciumi leherku. Jadi…” Bela meunduk lagi, dan kali ini dia menggigit bibirnya.
Aru akhirnya menghela napas, sebagai bentuk kesadaran yang sudah membawanya kembali. Ternyata memang dia saja yang berpikiran negative. Bela tidak pernah membencinya, atau merasa jijik padanya. Bela hanya seorang gadis polos yang mudah merasakan sengatan jika disentuh.
Aru mendekatkan tubuhnya pada Bela, menggenggam kedua tangan Bela lalu memegang lembut dagu Bela, meminta dengan penuh kasih sayang agar gadis itu mendongak. Setelah Aru bisa melihat wajah Bela sepenuhnya, dia berkata, “Iya, maaf, Sayangku. Aku tidak bisa mencegah diriku sendiri. Aku akan berhenti menciumi lehermu sekarang. Jadi….apa kau akan memberikan apa yang kuminta?”
Aru merasa sedikit bersalah pada Bela, apalagi saat menyadari betapa murni dan besarnya cinta Bela kepada Aru. Bela tidak pernah memandang fisik dan juga keadaan Aru. Ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang sangat nyata. Aru akan berusaha keras untuk mempertahankan semuanya.
Sementara Bela nampak lebih merona dari sebelumnya. Permintaan Aru cukup mengejutkan dirinya, terlebih bahwa semua ini dilakukan dengan sangat tiba-tiba, apalagi setelah Aru mengajaknya jalan-jalan romantis pada tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi saat berkencan. Bela merasakan sengatan demi sengatan pada perutnya.
Kemudian Bela menunduk lagi, dan dia berkata dengan sebuah bisikan yang lirih, “Iya, Mas, aku akan memberikan Mas Aru ‘itu’. Sejujurnya juga aku sudah menginginkannya sejak kita menikah. Itu…. itu hal normal kan, Mas? Kita toh sudah menikah dan semuanya sah di mata negara dan juga di mata agama. Aku… aku….”
Aru mencubit pelan dagu Bela, kembali meminta Bela untuk menatap matanya secara langsung. Mata keduanya bertemu, beradu dan juga saling menyalurkan cinta. Aru memandangi dua bola mata cantik dan besar milik Bela, turun pada hidung mungilnya, dan juga bibir penuh merekah miliknya. Aru menelan ludah, saat Bela menutup matanya dan memberinya aba-aba.
Aru mendekat, mencium dengan dalam dan pelan bibir Bela, merasakan kelembutannya dan juga kemurniannya. Aru menggenggam kedua tangan Bela, melarangnya untuk meremas seprai. Keduanya telah hanyut dalam cinta, dalam kemesraan dan juga dawai-dawai malam yang menjerat perasaan. Aru memeluk Bela, menahan napasnya yang memburu dan memperdalam ciumannya kembali.
…
Misi pertama untuk melancarkan misi pertukaran posisi ini adalah mengarang sebuah kecelakaan. Kecelakaan itu difungsikan agar Aru dan Elang bisa bertukar peran, dan agar Elang bisa masuk ke dalam kehidupan Aru dari awal.
Elang akan menggantikan jasad Aru di dalam kecelakaan buatan itu, dan Elang akan pura-pura menjadi amnesia agar tidak banyak kecurigaan yang hinggap di pikiran orang-orang, dan agar Elang tidak terlalu berat untuk menjadi Aru.
Kecelakaan buatan itu telah dibuat. Tepatnya di sebuah persimpangan di Alas Roban, pada hutan yang sangat panjang dan juga sangat rimbun, memiliki rute yang sangat panjang dan jalanan yang gelap. Tempat itu memang terdiri dari kelokan dan tanjakan suram. Seringnya kecelakaan yang terjadi telah membuat jalur itu disebut jalur tengkorak.
Mobil milik Aru dibuat ringsek di jalan Alas Roban. Waktu sudah ditentukan sebaik mungkin agar waktu kecelakaan buatan itu dilakukan, tidak ada saksi mata yang melintas dan mengetahui hal yang sesungguhnya.
Kebetulan mobil ringsek milik Aru ditempatkan pada sebuah jurang. Jadi seolah-olah Aru kecelakaan dengan mobil jatuh ke jurang.
“Halo, Ru? Kamu sudah di jalan?” tanya Dimas dengan tergesa-gesa. Lelaki itu yang nantinya akan membawa Elang untuk menuju ke rumah sakit demi mendapat perawatan. Rencananya nanti beberapa orang suruhan akan pura-pura lewat dan melapor ke polisi. Tapi sebelum itu terjadi Dimas akan datang dan membawa Elang pergi ke rumah sakit.
Sementara Aru sendiri akan pergi ke Singapura pagi itu juga demi menjalani pengobatannya. Banyak keraguan yang kembali muncul di dalam otaknya, dan juga banyak sekali kerinduan yang ingin menjerat Bela agar istrinya itu bisa bergabung dengannya ke Singapura. Akan tetapi Aru menahan dirinya, sekuat hati.
Aru sendiri sudah naik kendaraan, yang dikemudikan oleh seorang sopir yang tadinya membawa Elang. Dengan turunnya Elang dari mobil itu, telah menandakan resminya pertukaran peran mereka.
Aru yang memegang ponsel dan menerima panggilan dari Dimas itu belum menjawab. Mata sayu Aru memandangi saudara kembarnya yang terlihat tidak acuh dan hampir turun ke hutan yang menyambung pada jurang.
Aru mencegah Elang sebentar lalu menepuk pundak lelaki itu. “Hati-hati, Lang. Kalau ada apa-apa langsung telepon.” Sebenarnya itu adalah kekhawatiran murni dari Aru yang merupakan kakak kandung dari Elang. Melibatkan Elang di dalam rencana penuh resiko ini telah membuat Aru menjadi begitu peka dan penuh welas kepada Elang, melebihi sebelumnya.
Tapi perhatian tulus Aru tidak bisa sampai dengan sempurna di hati Elang. Lelaki bertubuh lebih kekar dari Aru itu justru berdecih dan menepis tangan Aru. “Tenang, aku tidak akan meniduri istrimu. Aku tidak tertarik.” Lalu Elang berlari untuk segera menuju ke hutan agar dia bisa segera membaringkan diri di sana dengan keadaan compang-camping dan penuh luka.
***
Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
“Mas masih marah padaku ya?” tanya Bela, diam-diam mengawasi Elang dari tadi. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju ke rumah sakit, Elang akan check up hari itu.Sejak sarapan tadi, lelaki itu tidak terlihat bersahabat. Bahkan dia terkesan mengabaikan Bela, enggan memandangnya, dan enggan menjawab pertanyannya. Gadis itu tentu saja kelimpungan, bingung apa yang harus dia lakukan agar bisa menebus kesalahannya.‘Padahal aku hanya ingin memasak sarapan untuk Mas Aru, tapi dia justru marah begini. Apakah dia memang butuh tidur tadi pagi? Tapi biasanya dia tidak begini.’ Punggungnya lemah bersandar di kursi, wajahnya menunduk sedih karena Elang masih belum mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tau jawaban itu tanpa perlu mendapatkannya. Elang masih marah padanya.Akhirnya di sepanjang perjalanan mereka tidak bicara sama sekali, membuat sopir sewaan yang mengantarkan mereka menggelengkan kepala.‘Pengantin baru, pasti sering cemburu,’ pikirnya tanpa ragu.Beberapa
“Aku akan menciumu sekarang.” Mata Elang memandang kosong ke sekelilingnya, sementara matanya hanya dipenuhi oleh Bela, yang kini berdiri mematung dan bingung di depannya. Lelaki itu tidak peduli, otaknya kacau karena tidak bisa tidur semalaman, hanya karena dia memikirkan tentang ciuman mereka berdua.Sebenarnya ini bukan ciuman pertama milik Elang, mengingat dulu beberapa wanita murahan melompat dan mencium bibirnya tiba-tiba. Akan tetapi ciuman dengan Bela yang paling berkesan, satu-satunya ciuman yang dia ingin untuk diulangi lagi.Wajahnya mendekat, mengamati mata Bela yang menjeratnya tanpa ampun. Haus yang merongrong di dalam jiwanya, seperti mengoyaknya dan menjeratnya. Yang dia inginkan hanyalah Bela, hanya gadis itu.Bibir mereka bertemu, bersentuhan seperti dua buah sutera yang ditumpuk, saling menekan dan mendorong, saling mencicipi dan saling mencintai. Bela menutup matanya, seperti mimpi, mencoba untuk memahami dan menarik kesadarannya lagi.Saat matanya terbuka, tubuhny
Rasa itu menggeliat dari perut Elang, mengular menuju ke dadanya, sehingga membuat jantungnya berdebar-debar. Bibir ranum Bela menyihirnya, memikatnya dengan cara yang sangat mengesankan. Bahkan lelaki itu tidak sadar dia tidak berkedip, bahkan lelaki itu tidak sadar sedang membuka sedikit mulutnya.Tangannya tiba-tiba saja terulur, jatuh di pipi lembut milik Bela, mengusapnya pelan.Gadis itu terlihat mendongak dan terhenyak kaget. Matanya yang lebar mengerjab berulang kali, memandangi kedua mata lelaki yang ada di depannya. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Mas?” tanyanya, dengan suara yang sangat lirih, serupa sebuah deru napas paling menentramkan.Elang memajukan wajahnya, menghempas udara kosong yang ada di antara mereka, melenyapkan ego yang selama ini bersarang di tubuhnya. Dia benci berdekatan dengan para wanita, akan tetapi saat ini dia justru bergerak untuk mendekati seorang wanita.Kepalanya miring, mencoba untuk menempatkan bibirnya dengan bib
Elang memutuskan untuk memasak makan malam, sama seperti apa yang sudah dia pertimbangkan sejak pagi tadi. Kebaikan Bela yang berkenan menunggunya semalaman di kamar yang sama agak membuatnya tak berdaya, dan kemudian dia menikmati kebersamaan mereka, tanpa mereka sadari.Kini sosoknya sedang sibuk di dapur, di tangannya berada wajan penggorengan. Untuk makan malam dia menyediakan menu ikan bakar, sebagai pengganti salmon bakar. Lalu dia juga membuat jus sebagai hidangan penutup.Bela tidak bisa berhenti menganga. Aru memang pandai memasak, akan tetapi dia tidak pernah ingat bahwa suaminya itu begitu mahir memasak berbagai hidangan, bahkan sampai bercita rasa seperti restoran bintang lima. Ini terlalu mendadak. Bela nyaris tidak percaya bahwa lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah suaminya.Untuk saat yang sangat singkat, dia nyaris mempertanyakan tentang identitas Elang. Namun dia segera mengurungkan niatnya.“Kenapa kau melamun?” tegur Elang, setelah melepas celemek di tubuhn
“Kau tidak bisa seenaknya untuk pergi bersama lelaki lain. Apa kau sudah lupa bahwa kau sudah menikah?” omel Elang pada Bela, masih belum mau menurunkan emosinya. Dadanya terlalu panas saat mengetahui Bela pulang bersama Randy, dengan kedekatan yang patut untuk dicurigai. Apalagi gadis itu keluar tidak meminta izin padanya terlebih dahulu.Dia selalu berkilah bahwa, ‘Aku melakukan ini agar Aru tidak menuduhku tidak bertanggung jawab saat bersama istrinya.’Tapi hey, sejak kapan Elang begitu peduli dengan pendapat kembarannya? Itu hanya kecemburuan, yang ditutupi dengan sangat bodoh.Bela mengernyit heran pada Elang. Ada sejuta pertanyaan yang disimpan di dalam pandangan matanya yang jernih. “Aku tadi ingin minta izin pada Mas, tapi ternyata Mas sedang tidur. Aku tidak ingin…”“Kau bisa menghubungiku kan?”Bela menundukkan kepala, seolah sedang diadili karena sebuah kesalahan yang sangat besar. “Nomor Mas yang lama kan sudah tidak aktif. Sementara aku belum tau nomor baru milik Mas.”E
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Mata mereka bertemu, keju dan salju seolah meleleh mengelilingi mereka. Waktu seperti berhenti, detak jantung yang melambat karena kesadaran yang sempat hilang. Bibit cinta yang bersemi dari kuncup paling dasar, menjawil hati mereka secara pelan-pelan. Sampai kemudian lelehan itu memenuhi seluruh tubuh dengan nuansa hangat.Elang yang pertama kali sadar. Dia lantas memalingkan wajahnya sembari menarik tubuhnya mundur. Sementara Bela terlihat tidak terlalu naïf. Bagaimana pun dia sudah merasa menikah dengan lelaki yang ada di depannya itu. Jadi untuk apa malu-malu?Sebagai gantinya gadis itu justru sibuk memeriksa perban di tubuh Elang, khawatir jika terjadi sobekan yang baru. “Ayo kita periksakan saja ke rumah sakit, sekalian perbannya diganti dengan lebih baik.”Tapi Elang menolaknya. Wajahnya dibuat seolah dia tidak peduli, seolah dia lelaki paling dingin yang tidak pernah merasa gugup dan salah tingkah. Selama ini dia sukses melakukannya tanpa perlu berpura-pura. Tapi sekarang, sia