Share

12. Aku Ingin Mas Berhenti Mencium Leherku Karena

“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.

Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”

Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan tubuhnya sudah menjauhi Bela. “Kenapa?” tanya Aru, dia mulai merasa tidak percaya diri, merasa curiga, dan merasakan hal tidak enak lainnya.

Aru mengira bahwa Bela tidak ingin berhubungan lebih dekat dengannya, karena Aru yang sudah tidak setampan dulu dan sudah tidak mempesona seperti dulu. Hal itu bisa terjadi tentu saja karena kondisi fisiknya yang lemah dan layu, aura yang memudar, dan kulit yang sangat pucat. Aru memang berada pada fase terendah dalam hal kepercayaan diri miliknya. 

Belum lagi jika ingatannya tertarik jauh pada sosok Elang yang akan segera menggantikan posisinya di samping Bela. Elang adalah sosok yang sempurna, sangat tampan, dan begitu kharismatik. Aru menjadi ciut seketika. 

“Kenapa kau melarangku menciumi lehermu? Apa kau tidak menyukainya?” 

Sentilan cukup tajam dari Aru telah membuat Bela agak kaget. Tidak pernah di sepanjang hubungan mereka, Bela melihat Aru menjadi tersinggung begini. Dan Bela tidak pernah sekalipun melihat Aru mempertanyakan permintaannya. Karena selama ini Aru akan lebih paham karena sifat dewasanya yang matang. 

Bela kini merasa sangat buruk. Dia merasa seperti mengkhianati Aru sekaligus mencaci suaminya. “Aku ingin Mas berhenti menciumi leherku karena…..” Bela kini menunduk, tadinya dia ingin mengatkannya dengan lantang, namun sedetik kemudian pipinya memerah dan dia mnejadi sangat malu. Dia menggosok ujung piyamanya cukup resah. “Karena geli, Mas. Rasanya geli jika Mas menciumi leherku. Jadi…” Bela meunduk lagi, dan kali ini dia menggigit bibirnya.

Aru akhirnya menghela napas, sebagai bentuk kesadaran yang sudah membawanya kembali. Ternyata memang dia saja yang berpikiran negative. Bela tidak pernah membencinya, atau merasa jijik padanya. Bela hanya seorang gadis polos yang mudah merasakan sengatan jika disentuh. 

Aru mendekatkan tubuhnya pada Bela, menggenggam kedua tangan Bela lalu memegang lembut dagu Bela, meminta dengan penuh kasih sayang agar gadis itu mendongak. Setelah Aru bisa melihat wajah Bela sepenuhnya, dia berkata, “Iya, maaf, Sayangku. Aku tidak bisa mencegah diriku sendiri. Aku akan berhenti menciumi lehermu sekarang. Jadi….apa kau akan memberikan apa yang kuminta?”  

Aru merasa sedikit bersalah pada Bela, apalagi saat menyadari betapa murni dan besarnya cinta Bela kepada Aru. Bela tidak pernah memandang fisik dan juga keadaan Aru. Ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang sangat nyata. Aru akan berusaha keras untuk mempertahankan semuanya.

Sementara Bela nampak lebih merona dari sebelumnya. Permintaan Aru cukup mengejutkan dirinya, terlebih bahwa semua ini dilakukan dengan sangat tiba-tiba, apalagi setelah Aru mengajaknya jalan-jalan romantis pada tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi saat berkencan. Bela merasakan sengatan demi sengatan pada perutnya. 

Kemudian Bela menunduk lagi, dan dia berkata dengan sebuah bisikan yang lirih, “Iya, Mas, aku akan memberikan Mas Aru ‘itu’. Sejujurnya juga aku sudah menginginkannya sejak kita menikah. Itu…. itu hal normal kan, Mas? Kita toh sudah menikah dan semuanya sah di mata negara dan juga di mata agama. Aku… aku….”

Aru mencubit pelan dagu Bela, kembali meminta Bela untuk menatap matanya secara langsung. Mata keduanya bertemu, beradu dan juga saling menyalurkan cinta. Aru memandangi dua bola mata cantik dan besar milik Bela, turun pada hidung mungilnya, dan juga bibir penuh merekah miliknya. Aru menelan ludah, saat Bela menutup matanya dan memberinya aba-aba.

Aru mendekat, mencium dengan dalam dan pelan bibir Bela, merasakan kelembutannya dan juga kemurniannya. Aru menggenggam kedua tangan Bela, melarangnya untuk meremas seprai. Keduanya telah hanyut dalam cinta, dalam kemesraan dan juga dawai-dawai malam yang menjerat perasaan. Aru memeluk Bela, menahan napasnya yang memburu dan memperdalam ciumannya kembali.

Misi pertama untuk melancarkan misi pertukaran posisi ini adalah mengarang sebuah kecelakaan. Kecelakaan itu difungsikan agar Aru dan Elang bisa bertukar peran, dan agar Elang bisa masuk ke dalam kehidupan Aru dari awal.

Elang akan menggantikan jasad Aru di dalam kecelakaan buatan itu, dan Elang akan pura-pura menjadi amnesia agar tidak banyak kecurigaan yang hinggap di pikiran orang-orang, dan agar Elang tidak terlalu berat untuk menjadi Aru.

Kecelakaan buatan itu telah dibuat. Tepatnya di sebuah persimpangan di Alas Roban, pada hutan yang sangat panjang dan juga sangat rimbun, memiliki rute yang sangat panjang dan jalanan yang gelap. Tempat itu memang terdiri dari kelokan dan tanjakan suram. Seringnya kecelakaan yang terjadi telah membuat jalur itu disebut jalur tengkorak.

Mobil milik Aru dibuat ringsek di jalan Alas Roban. Waktu sudah ditentukan sebaik mungkin agar waktu kecelakaan buatan itu dilakukan, tidak ada saksi mata yang melintas dan mengetahui hal yang sesungguhnya. 

Kebetulan mobil ringsek milik Aru ditempatkan pada sebuah jurang. Jadi seolah-olah Aru kecelakaan dengan mobil jatuh ke jurang. 

“Halo, Ru? Kamu sudah di jalan?” tanya Dimas dengan tergesa-gesa. Lelaki  itu yang nantinya akan membawa Elang untuk menuju ke rumah sakit demi mendapat perawatan. Rencananya nanti beberapa orang suruhan akan pura-pura lewat dan melapor ke polisi. Tapi sebelum itu terjadi Dimas akan datang dan membawa Elang pergi ke rumah sakit.

Sementara Aru sendiri akan pergi ke Singapura pagi itu juga demi menjalani pengobatannya. Banyak keraguan yang kembali muncul di dalam otaknya, dan juga banyak sekali kerinduan yang ingin menjerat Bela agar istrinya itu bisa bergabung dengannya ke Singapura. Akan tetapi Aru menahan dirinya, sekuat hati.

Aru sendiri sudah naik kendaraan, yang dikemudikan oleh seorang sopir yang tadinya membawa Elang. Dengan turunnya Elang dari mobil itu, telah menandakan resminya pertukaran peran mereka. 

Aru yang memegang ponsel dan menerima panggilan dari Dimas itu belum menjawab. Mata sayu Aru memandangi saudara kembarnya yang terlihat tidak acuh dan hampir turun ke hutan yang menyambung pada jurang.

Aru mencegah Elang sebentar lalu menepuk pundak lelaki itu. “Hati-hati, Lang. Kalau ada apa-apa langsung telepon.” Sebenarnya itu adalah kekhawatiran murni dari Aru yang merupakan kakak kandung dari Elang. Melibatkan Elang di dalam rencana penuh resiko ini telah membuat Aru menjadi begitu peka dan penuh welas kepada Elang, melebihi sebelumnya.

Tapi perhatian tulus Aru tidak bisa sampai dengan sempurna di hati Elang. Lelaki bertubuh lebih kekar dari Aru itu justru berdecih dan menepis tangan Aru. “Tenang, aku tidak akan meniduri istrimu. Aku tidak tertarik.” Lalu Elang berlari untuk segera menuju ke hutan agar dia bisa segera membaringkan diri di sana dengan keadaan compang-camping dan penuh luka. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status