Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.
Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.
“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pengaman sementara ponsel di telinganya dijepit dengan pundak. Dia memandang pada jalanan gelap di depan, yang diterangi oleh mobil yang dia sewa.
Dari seberang panggilan Dimas berkata, “Aku sudah dekat. Mungkin tinggal tiga kilometer saja. Jika nanti kalau Elang sudah memberi sinyal, maka tim kita yang masih mangkal di warung terdekat akan pura-pura lewat. Jadi apa dia sudah turun ke bawah?” Dimas menarik napas panjang. Sejujurnya dia selalu kehabisan napas pagi itu, setiap dia ingin berbicara. Alasannya adalah karena dia terlalu gugup soal misi ini. Walau bagaimana pun ini misi pertama miliknya.
Aru mengangguk pelan. “Bagus. Iya, dia sudah turun tadi, dan sepertinya sudah berada di posisi. Ok, aku tutup dulu teleponnya. Nanti aku kabari jika sudah sampai atau akan berangkat. Tolong kabari aku jika ada apa-apa, Dim?”
“Tenang, Ru. Kau hati-hati saja di jalan. Pastikan kembali dengan cepat dan bisa sembuh. Jika tidak aku tidak akan memaafkanmu. Dan aku tidak pernah lebih bersungguh-sungguh daripada sekarang.” Dimas tercekat kala mengatakan hal itu. Jujur saja hanya Aru teman yang dia miliki selama ini. Dimas juga banyak bergantung pada Aru setelah perceraian menimpa pernikahannya. Sulit untuk melepaskan sahabat yang kau miliki di dunia ini, dan hanya dia seorang.
Mereka berdua memang sangat jarang bertemu, akan tetapi mereka cukup sering menukar kabar dan berbincang melalui pesan singkat. Walau tidak terlalu intens karena kesibukan masing-masing.
“Haha, aku akan kembali kok.” Walau Aru tidak yakin dia bisa kembali dengan selamat. Tapi Aru tetap bisa menjanjikan kepulangannya. “Dan jangan benci aku, atau mantan istrimu akan kujadikan istri kedua.”
“Sialan kau!” pekik Dimas dengan tawa yang menggelegar. Telepon dimatikan setelah itu.
Langit masih jauh dari kata terang. Mega merah juga belum nampak, dan Elang harus segera bersembunyi agar dia bisa segera kembali ke dunia terang penuh teknologi lampu. Matanya memandangi semak belukar yang sudah menunggunya di bawah, di balik semak-semak itu Elang akan bersembunyi sampai waktunya tiba.
Pertama dia menyusuri jalan setapak untuk mencari titik terdekat menuju di mana mobil ringsek Aru digulingkan. Setelah menghitung secara saksama Elang menentukan satu titik yang kiranya cukup masuk akal untuk dijadikan tempat seolah-olah dia jatuh.
Tak jarang Elang harus melompat atau menunduk, demi menghindari ranting yang menghalangi. Angin dingin menerpa dan seperti membekukan tubuh Elang seketika itu juga. “Halo, Mbah! Kulo nuwun (ungkapan salam dalam bahasa Jawa). Saya di sini hanya ingin membantu saudara.” Elang mengatakannya dengan sedikit mengejek.
Hal itu dia lakukan karena tiba-tiba dia teringat akan keangkeran dari Alas Roban, keangkeran itu yang menjadi landasan kenapa Aru memilihnya sebagai tempat untuk kecelakaan buatan ini. Kesan seram dari Alas Roban memang sangat kental di dalam benak dua bersaudara itu semenjak ibu mereka dulu sering mengkisahkan cerita-cerita horror pada mereka ketika malam tiba sembari menunggu ayah mereka pulang bekerja.
Elang telah menemukan titik yang tepat di mana dia harus menunggu, kemudian duduk dan bersandar pada sebuah pohon, tak jauh dari mobil berada. Ponsel diambil dari saku jaket, yang sama persis seperti milik Aru. “Jemput aku segera!” Lalu Elang mematikan ponsel dengan angkuh. Matanya memandang datar pada kegelapan seolah menantangnya agar mau menelannya bulat-bulat. Padahal Elang dulunya adalah seorang anak yang rapuh, sekarang dia sangat berbeda jauh.
Kegelapan, hanya ada kegelapan yang tertangkap di mata Elang. Lalu ayunan pohon yang seperti menyembunyikan penghuni di baliknya. Untuk sesaat Elang melamun, mengingat tentang masa lalu yang menganggunya.
Bu Yasmin sering mengisahkan tentang Alas Roban, kondisi topografinya, dan juga mitos-mitos yang berkembang di dalamnya. Alas Roban seperti sebuah destinasi yang lebih dekat bagi Elang dan Aru, bahkan lebih dekat dari Jatim Park 1, tempat wisata terkenal di kota mereka. Semua itu berkat ibu mereka, berkat pendekatannya untuk mengenalkan sesuatu.
Suara lembut milik Bu Yasmin seolah muncul di tengah hutan, menyelinap bersama angin dan menyusup di dalam telinga milik Elang. Kata-kata di dalam suaranya tidak terlalu bisa ditangkap maksudnya, akan tetapi bukan itu yang penting. Yang terpenting adalah bagaimana imajinasi suara itu bisa membangkitkan kenangan lama yang sangat pahit. Elang memandang datar pada kegelapan di sekelilingnya, terlalu mati rasa pada kesedihan yang dia alami.
Kresek!! Kresekk!!
Elang mematung, agak tersentak. Dia menoleh ke sana-kemari demi memastikan sumber suara yang mengejutkannya akan tetapi kegelapan seperti mengurungnya. Pandangan tajamnya terus terjaga. Elang merengut, dia mulai mengira bahwa suara itu berasal dari regu pencari karena terdapat kecelakaan di atas. Akan tetapi harusnya Dimas yang natinya seolah-olah menemukan Elang, dan membawa Elang menuju pada rumah sakit yang sudah ditentukan.
Elang menunggu lagi, mungkin saja ada suara susulan yang bisa dia tangkap dengan indera pendengaran miliknya. Tapi setelah beberapa saat yang cukup lama hanya menggantung kesunyian, Elang memutuskan untuk kembali merogoh saku dan mengambil ponsel untuk menelepon Dimas.
Panggilan itu berdering, dan tak lama kemudian suara Dimas terdengar, “Halo! Aku masih di jalan. Sebentar lagi. Aku juga belum mendapat sinyal dari tim kita. Kau tunggu saja sebentar.”
Elang hampir membentak karena ini terlalu lama baginya. Di luar udara cukup dingin, apalagi embun mulai turun. Dan jujur saja kondisi di sekitarnya mulai tidak kondusif karena indera bahayanya telah dinyalakan. Ada sesuatu yang tidak beres yang sekarang sedang terjadi, hanya saja Elang tidak tau apa itu secara pasti.
Elang menarik napas panjang, matanya yang melotot seperti akan keluar dari tengkoraknya. Dia sudah tidak bisa menahan terlalu lama kemarahan yang sudah menyumpal tenggorkan miliknya. Dia merasa terinjak-injak dengan mengerikan padahal harusnya dia yang berada di atas tatanan hierarki mereka bertiga.
Elang mengumpat, “Hey kau…” Elang gagal meneruskan umpatannya karena sekarang di depan kepalanya sudah tertodong sebuah pistol hitam dengan gagang mengkilat dan nampak siap menyalak.
***
“Halo, Ru? Elang hilang.” Dimas terengah saat mengatakan hal itu. Wajahnya bahkan sudah dipenuhi oleh bulir keringat. Dia sedang mondar-mandir di tempat di mana mobil ringsek Aru digulingkan.Sementara Aru yang masih berada di jalan untuk menuju ke bandara hanya bisa mematung, seolah enggan mempercayai apa yang baru saja dia dengar. “Ini mimpi kan? Aku pasti tertidur di mobil menuju ke bandara lalu memimpikan hal yang tidak-tidak,” bisik Aru pada dirinya tanpa sadar.Sebelum benar-benar meninggalkan Elang dan misi mereka, Aru memang sudah berpikiran negative. Di antaranya adalah bagaimana jika nanti terdapat banyak rintangan yang bisa mengagalkan rencana kali ini?Bagaimana jika sesuatu terjadi atau bagaimana jika Elang tiba-tiba kabur dan mengelabuhi
Elang sudah mulai tersadar walau dia belum ingin memperlihatkannya. Tangannya diikat di belakang punggung sementara mulutnya ditempeli lakban sehingga dia tidak bisa berbicara atau berteriak.‘Itukah penculikku?’ batin Elang yang pelan-pelan membuka mata untuk mengintip. Sekarang dia berada di dalam mobil untuk menuju ke suatu tempat yang tidak Elang ketahui.Saat bersembunyi di hutan Alas Roban, Elang sedang membuat panggilan dengan Dimas. Seperti yang sudah diketahui, Elang sendiri tidak bisa menjawab apa pun karena saking terkejutnya dia saat melihat pistol tiba-tiba ditodong ke kepalanya.Ada dua sosok hitam di depannya saat itu, yang berbadan tegap dan tidak terlalu jelas wajahnya. Keduanya membawa senjata. Satu orang membawa pistol, yang ditodongkan pada Elang, satunya lagi membawa pisau y
Begitulah akhirnya. Elang yang tadinya ingin kabur dari dua orang asing yang berusaha membunuhnya justru malah berhasil dibebukan hingga pingsan. Lalu saat membuka mata dia justru sudah berada di dalam mobil bersama dua orang asing itu.“Dia masih pingsan?” kata salah satu lelaki asing itu.Sekarang hari mulai fajar. Semburat merah terlihat di kejauhan. Tapi tetap belum mampu menampakkan cahaya yang terang, yang mungkin bisa menampakkan sosok Elang. Tapi toh itu tidak ada gunanya karena Elang digulingkan hingga kepalanya tidak akan nampak dari luar.“Sepertinya masih. Kau takut dia bangun? Bius saja lagi!” jawab rekannya, yang mengemudi.“Tidak. Nanti saja jika sudah kepepet. Kau tau kan kebanyakan bius juga tidak baik. Kita harus membawanya hidup-hidup tanpa terluka agar kita bisa mendapatkan bayaran yang setimpal.” Tercium uap asap rokok setelah lelaki itu berbicara. Sementara Elang yang sudah sadar
Wirya oleng sesaat setelah Elang menubruknya dari belakang. Bahkan kemudi mobilnya tidak terkendali hingga membuat mobil itu menggila tak karuan di jalan. Tapi justru itu yang Elang inginkan agar ada orang lain yang menemukan sesuatu yang ganjil dengan mobil itu.“Woy, woy!” Hanya itu teriakan yang bisa dilakukan Wirya sampai akhirnya Wirya berteriak lagi, “Jo! Bantu aku, Jo! Tahan dia!” teriaknya lagi.Jo yang tadinya terguncang kaget kini berusaha mengendalikan Elang yang justru terlihat seperti penjahat di situ. Elang sudah mengamuk layaknya banteng yang membahayakan. Jo berusaha memegangi Elang. “Tenang! Kembali ke belakang! Kembali atau kau menyesal.”Sejak mengetahui bahwa Elang akan dipulangkan dalam kondisi selamat, lelaki itu nampaknya sudah tidak memiliki ketakutan di dalam hatinya. Elang akan terus menjejak dan menubruk sampai dia bisa terbebas dari mobil yang menculiknya itu.“Hey, tenang! Atau kau aka
Dimas mendobrak pintu rumah sakit dan menemukan Elang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Seketika itu juga kaki Dimas menjadi sangat lemah, dan dan lelaki berwajah oriental itu menangis di tempatnya.“Anda tidak apa-apa, Pak?” tegur salah satu perawat yang masih berada di dalam demi membersihkan tubuh Elang. Sekarang Elang sudah bersih dari luka dan lebam buatan, lalu sebagai gantinya ada sebuah luka di perut yang tidak terlihat dari luar.Tangan Dimas menggosok matanya yang berlinang air mata. Lalu dengan sempoyongan dan menyangga diri pada dinding lelaki itu berkata, “Apa dia baik-baik saja, Suster?”“Oh, Anda walinya?” tebak suster itu.“Saya temannya, dan bisa menjadi wali sementara. Pihak keluarganya belum saya kabari. Jadi bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” ulang Dimas lagi, dengan pikiran kacau dan berantakan.Suster itu mengangguk. Setelah dia menaikkan selimut milik
Bela buru-buru memasuki loby rumah sakit. Jantungnya sudah berdetak menggila karena dia yang khawatir mengenai keadaan Aru untuk saat ini.Dimas sudah mengabari gadis itu bahwa Aru tertimpa sebuah musibah, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Untuk pastinya, Dimas belum bisa menjelaskan secara detail karena Bela sudah terlebih dahulu mendesak alamat dari rumah sakit di mana Aru palsu dirawat.“Suster, Suster.” Bela terengah bersama wajahnya yang sangat kacau. Mengingat bahwa tadi pagi suaminya pergi dalam keadaan ceria dan baik-baik saja, telah membuat hati Bela hancur kala menemukan takdir lain yang kini merubah kondisi Aru. “Saya sedang mencari pasien bernama Garuda Wibisono. Boleh saya tau kamarnya di mana? Saya istrinya.”Ada saudaranya Pak Ansori juga yang ikut bersama Bela saat itu. Dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahunan. Namanya Pak Bandi, dia bertugas untuk mengantar Bela ke rumah sakit itu.
Berleleran air mata, Elang akhirnya mulai tersadar. Mengerjab-erjab pelan, lelaki itu mengerang dengan rasa sakit yang menggeliat di perut miliknya. Pertama adalah pandangan yang buram, sampai akhirnya wajah seorang gadis muda nan cantik dan manis menyapu matanya. Gadis itu adalah Bela.“Mas!” dengking Bela yang sudah memeluk Elang dengan sangat erat. Lalu sesenggukan mulai terdengar bersamaan dengan tangan Bela yang semakin mengeratkan diri.Di tengah tangisan bahagia nan haru itu Elang mendorong Bela dengan sangat kasar, karena memang dia membenci skinship dengan para gadis, apalagi gadis-gadis yang agresif seperti Bela. Setidaknya itu yang mampu dinilai oleh Elang.Mata Elang memberikan jarak dan ekspresi permusuhan, sementara Bela berkedip-kedip karena bingung. Ingus keluar di hidungnya dan Bela lupa untuk menyekanya. Sementara itu Dimas terperanjat dan bangun dari kursi di mana dia duduk dan tertidur. Sekarang dengan tubuh sempoyongan dia
Dimas buru-buru menghampiri Elang untuk memprotes lelaki itu. “Kau tidak perlu terlalu kasar begini pada Bela. Dia menjadi pingsan karenamu!” Lalu Dimas meremas kepalanya sendiri.Sejak awal Dimas memang sudah skeptis dengan rencana ini apalagi kala melihat Elang yang miskin tata krama. Dimas sangat tau bahwa meski seseorang memiliki amnesia tapi setidaknya pembawaan orang tersebut akan tetap sama.Aru adalah seseorang yang lembut dan juga santun. Tapi Elang? Dia bahkan bisa lebih kasar dari seorang pemalak yang tiba-tiba menghadang demi meminta uang. Itulah kenapa Dimas memang akan mendapat banyak tantangan dan usaha lebih keras di sini.Sementara Elang yang masih agak lemah terlihat sama sekali tidak acuh. Dia bahkan enggan menanggapi Dimas. Buang-buang tenaga, itu yang dirasakan oleh Elang untuk saat ini. Apalagi dia harus melawan rasa sakit yang merajam perutnya untuk saat ini.“Aru itu adalah seorang lelaki yang lemah le