Share

13. Ditodong Pistol

Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.

Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.

“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pengaman sementara ponsel di telinganya dijepit dengan pundak. Dia memandang pada jalanan gelap di depan, yang diterangi oleh mobil yang dia sewa.

Dari seberang panggilan Dimas berkata, “Aku sudah dekat. Mungkin tinggal tiga kilometer saja. Jika nanti kalau Elang sudah memberi sinyal, maka tim kita yang masih mangkal di warung terdekat akan pura-pura lewat. Jadi apa dia sudah turun ke bawah?” Dimas menarik napas panjang. Sejujurnya dia selalu kehabisan napas pagi itu, setiap dia ingin berbicara. Alasannya adalah karena dia terlalu gugup soal misi ini. Walau bagaimana pun ini misi pertama miliknya.

Aru mengangguk pelan. “Bagus. Iya, dia sudah turun tadi, dan sepertinya sudah berada di posisi. Ok, aku tutup dulu teleponnya. Nanti aku kabari jika sudah sampai atau akan berangkat. Tolong kabari aku jika ada apa-apa, Dim?”

“Tenang, Ru. Kau hati-hati saja di jalan. Pastikan kembali dengan cepat dan bisa sembuh. Jika tidak aku tidak akan memaafkanmu. Dan aku tidak pernah lebih bersungguh-sungguh daripada sekarang.” Dimas tercekat kala mengatakan hal itu. Jujur saja hanya Aru teman yang dia miliki selama ini. Dimas juga banyak bergantung pada Aru setelah perceraian menimpa pernikahannya. Sulit untuk melepaskan sahabat yang kau miliki di dunia ini, dan hanya dia seorang.

Mereka berdua memang sangat jarang bertemu, akan tetapi mereka cukup sering menukar kabar dan berbincang melalui pesan singkat. Walau tidak terlalu intens karena kesibukan masing-masing.

“Haha, aku akan kembali kok.” Walau Aru tidak yakin dia bisa kembali dengan selamat. Tapi Aru tetap bisa menjanjikan kepulangannya. “Dan jangan benci aku, atau mantan istrimu akan kujadikan istri kedua.”

“Sialan kau!” pekik Dimas dengan tawa yang menggelegar. Telepon dimatikan setelah itu.  

Langit masih jauh dari kata terang. Mega merah juga belum nampak, dan Elang harus segera bersembunyi agar dia bisa segera kembali ke dunia terang penuh teknologi lampu. Matanya memandangi semak belukar yang sudah menunggunya di bawah, di balik semak-semak itu Elang akan bersembunyi sampai waktunya tiba.

Pertama dia menyusuri jalan setapak untuk mencari titik terdekat menuju di mana mobil ringsek Aru digulingkan. Setelah menghitung secara saksama Elang menentukan satu titik yang kiranya cukup masuk akal untuk dijadikan tempat seolah-olah dia jatuh. 

Tak jarang Elang harus melompat atau menunduk, demi menghindari ranting yang menghalangi. Angin dingin menerpa dan seperti membekukan tubuh Elang seketika itu juga. “Halo, Mbah! Kulo nuwun (ungkapan salam dalam bahasa Jawa). Saya di sini hanya ingin membantu saudara.”  Elang mengatakannya dengan sedikit mengejek.

Hal itu dia lakukan karena tiba-tiba dia teringat akan keangkeran dari Alas Roban, keangkeran itu yang menjadi landasan kenapa Aru memilihnya sebagai tempat untuk kecelakaan buatan ini. Kesan seram dari Alas Roban memang sangat kental di dalam benak dua bersaudara itu semenjak ibu mereka dulu sering mengkisahkan cerita-cerita horror pada mereka ketika malam tiba sembari menunggu ayah mereka pulang bekerja. 

Elang telah menemukan titik yang tepat di mana dia harus menunggu, kemudian duduk dan bersandar pada sebuah pohon, tak jauh dari mobil berada. Ponsel diambil dari saku jaket, yang sama persis seperti milik Aru. “Jemput aku segera!” Lalu Elang mematikan ponsel dengan angkuh. Matanya memandang datar pada kegelapan seolah menantangnya agar mau menelannya bulat-bulat. Padahal Elang dulunya adalah seorang anak yang rapuh, sekarang dia sangat berbeda jauh.

Kegelapan, hanya ada kegelapan yang tertangkap di mata Elang. Lalu ayunan pohon yang seperti menyembunyikan penghuni di baliknya. Untuk sesaat Elang melamun, mengingat tentang masa lalu yang menganggunya. 

Bu Yasmin sering mengisahkan tentang Alas Roban, kondisi topografinya, dan juga mitos-mitos yang berkembang di dalamnya. Alas Roban seperti sebuah destinasi yang lebih dekat bagi Elang dan Aru, bahkan lebih dekat dari Jatim Park 1, tempat wisata terkenal di kota mereka. Semua itu berkat ibu mereka, berkat pendekatannya untuk mengenalkan sesuatu.

Suara lembut milik Bu Yasmin seolah muncul di tengah hutan, menyelinap bersama angin dan menyusup di dalam telinga milik Elang. Kata-kata di dalam suaranya tidak terlalu bisa ditangkap maksudnya, akan tetapi bukan itu yang penting. Yang terpenting adalah bagaimana imajinasi suara itu bisa membangkitkan kenangan lama yang sangat pahit. Elang memandang datar pada kegelapan di sekelilingnya, terlalu mati rasa pada kesedihan yang dia alami. 

Kresek!! Kresekk!!

Elang mematung, agak tersentak. Dia menoleh ke sana-kemari demi memastikan sumber suara yang mengejutkannya akan tetapi kegelapan seperti mengurungnya. Pandangan tajamnya terus terjaga. Elang merengut, dia mulai mengira bahwa suara itu berasal dari regu pencari karena terdapat kecelakaan di atas. Akan tetapi harusnya Dimas yang natinya seolah-olah menemukan Elang, dan membawa Elang menuju pada rumah sakit yang sudah ditentukan. 

Elang menunggu lagi, mungkin saja ada suara susulan yang bisa dia tangkap dengan indera pendengaran miliknya. Tapi setelah beberapa saat yang cukup lama hanya menggantung kesunyian, Elang memutuskan untuk kembali merogoh saku dan mengambil ponsel untuk menelepon Dimas.

Panggilan itu berdering, dan tak lama kemudian suara Dimas terdengar, “Halo! Aku masih di jalan. Sebentar lagi. Aku juga belum mendapat sinyal dari tim kita. Kau tunggu saja sebentar.”

Elang  hampir membentak karena ini terlalu lama baginya. Di luar udara cukup dingin, apalagi embun mulai turun. Dan jujur saja kondisi di sekitarnya mulai tidak kondusif karena indera bahayanya telah dinyalakan. Ada sesuatu yang tidak beres yang sekarang sedang terjadi, hanya saja Elang tidak tau apa itu secara pasti.

Elang menarik napas panjang, matanya yang melotot seperti akan keluar dari tengkoraknya. Dia sudah tidak bisa menahan terlalu lama kemarahan yang sudah menyumpal tenggorkan miliknya. Dia merasa terinjak-injak dengan mengerikan padahal harusnya dia yang berada di atas tatanan hierarki mereka bertiga. 

Elang mengumpat, “Hey kau…” Elang gagal meneruskan umpatannya karena sekarang di depan kepalanya sudah tertodong sebuah pistol hitam dengan gagang mengkilat dan nampak siap menyalak.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status