Share

11. Bolehkah Aku Mencium Bibirmu?

Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu. 

“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.

… 

Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bahagia, ingin membuat Bela tersenyum lebih bahagia. Aru tau bahwa kesibukannya dalam bekerja telah membuat waktu berkualitas dengannya dan Bela  jauh berkurang, dan itu telah membuat Bela terlihat kesepian. Walau Bela tidak pernah mengatakannya akan tetapi Aru cukup bisa membaca ekspresi wajah gadis itu. 

“Mas, lain kali kita perlu jalan-jalan sampai selarut ini, apalagi kondisinya Mas kan belum stabil. Mas harusnya banyak istirahat, dan jangan terlalu mem-forcir tenaga. Ambil saja cuti, Mas, dan minta pada bawahannya Mas untuk menggantikan Mas sementara waktu.” Bela memapah Aru setelah mereka turun dari mobil. Kini mereka memasuki rumah dan membersihkan diri. 

Setelah mandi, mereka saling berpengangan tangan, dengan Bela berada di dalam dekapan hangat sekaligus rapuh milik Aru. Aru tau bahwa hari ini dia cukup berhasil memberikan Bela kejutan demi kejutan, akan tetapi di sisi lain Aru bisa melihat bahwa Bela menjadi curiga padanya karena Aru melakukan hal-hal manis melebihi biasanya. Belum lagi Aru juga memberikan hadiah pada Bu Yasmin, ibu kandung Aru, dan Pak Ansori, ayah tiri Aru. 

“Mas,” tegur Bela, sepertinya dia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Banyak sekali pertanyaan yang sudah memenuhi kepalanya sedari tadi apalagi saat Aru mulai memberikan hadiah pada Bu Yasmin dan Pak Ansori. Tubuh mungil Bela seperti melesak di dalam pelukan Aru, dibalut dengan piyama berwarna pudar yang membuat kecantikannya tampak murni. 

“Mas kenapa sih hari ini? Mas tidak hanya memberiku kejutan akan tetapi juga memberikan ibu dan ayah kejutan. Apa benar Mas melakukan ini hanya untuk meminta restu dan doa dari ayah dan ibu agar kita bisa segera memiliki anak? Apa… Mas tidak memiliki tujuan yang lain?” Suara Bela semakin rendah terdengar, semakin lirih dan bahkan hampir tenggelam di kata-kata terakhir miliknya. Bela tercekat.

Dia telah memikirkan hal-hal buruk, apalagi diperparah dengan kondisi Aru yang lemah dan sakit. Akan tetapi meski begitu Bela tidak memiliki banyak pemikiran terlalu buruk, seperti Aru yang ternyata sakit keras. 

Aru membelai pelan rambut Bela. Di sekeliling pinggang Bela, dia melingkarkan kedua tangannya yang pucat. Aru ingin menikmati masa-masa indah itu lebih lama, jika dia mampu. “Aku sungguh hanya ingin meminta restu agar kita bisa memiliki anak, Sayang. Aku memberimu kejutan karena aku ingin menghiburmu sebelum ujian tiba. Kau juga tidak boleh stress, Sayang, agar kandunganmu sehat dan baik-baik saja. Apa seorang suami yang ingin memberikan yang terbaik pada istrinya itu salah?”

Bela mendongak, dia mengamati mata Aru dengan dalam, kedalamannya bisa saja menjerat Bela. Lalu Bela memeluk Aru lebih erat lagi. Dia berbisik pelan, “Terimakasih, Mas.” 

Tak lama kemudian Bela pun mengambil langkah yang lain. Dia segera beranjak dari posisinya untuk mengambil buku belajar yang dia letakkan di atas meja belajar miliknya. Kemudian dia kembali di atas ranjang untuk duduk berlanjar kaki lalu membaca beberapa buku pelajaran yang telah dia ambil.

Di luar dugaan Aru tampak cemberut. Hari ini dia hanya ingin menikmati banyak waktu yang berharga dengan Bela. Aru ingin mereka menjalani hari bersama-sama tanpa ada kesibukan yang mengganggu. Jadi saat melihat Bela sibuk sendiri, Aru seperti menjadi kesal walau dia tidak mengatakannya secara langsung.

Namun Aru mencoba untuk menahan dirinya sendiri, sebagai seorang suami yang bisa memahami istrinya. Jadi Aru meraih ponsel miliknya dan menyibukkan diri. Aru membaca berita, memainkan game ponsel, dan melihat beberapa video. 

Akan tetapi Bela menyibukkan diri lebih lama dari dugaan Aru, di tengah Aru yang sejujunya menginginkan sesuatu dari Bela. Aru tidak ingin melakukan ini, menjadi vulgar sejelas ini, akan tetapi Aru seolah kehabisan waktu.

Jadi Aru meletakkan ponsel miliknya, mendekatkan diri pada Bela dan kemudian memeluk pinggang istrinya. Kepala Aru bersandar pada pundak Bela, dan dia ikut membaca sekilas pelajaran yang dibaca oleh Bela.

“Sayang, ini kan hari libur, kenapa kamu masih tetap belajar? Apa kamu tidak bisa untuk meluangkan waktu untukku?” Entah kenapa Aru terdengar sangat manja saat itu. Dia juga terdengar agak kesal serta merajuk.

Bela masih tidak menyadari hal itu. Jadi dia berkata, “Sebentar lagi, Mas. Aku tidak belajar kok, akan tetapi aku hanya membaca sekilas rangkuman pelajaran yang telah kubuat. Kalau Mas mengantuk Mas bisa tidur terlebih dahulu.”

Aru menjadi semakin cemberut karena Bela tidak memahami kerinduan yang dia rasakan. Dan kenapa Bela berpikir begitu sederhana bahwa Aru mengganggunya belajar hanya karena Aru ingin tidur terlebih dahulu?

Bela akhirnya menurunkan buku pelajaran miliknya, dia baru saja kepikiran akan sesuatu. Wajahnya yang manis dan menggemaskan kini mendongak lembut pada Aru yang masih menyandarkan wajahnya di atas pundak Bela. “Mas tidak bisa tidur karena lampunyaa masih menyala ya? Apa Mas ingin aku keluar saja jadi Mas bisa mematikan lampu? Baiklah tidak apa-apa, yang penting Mas bisa istirahat.”

Bela hampir benar-benar pergi dari ranjang jika saja Aru tidak mencegahnya. Tangan Aru mencekal lembut pergelangan tangan Bela. Wajah Aru terlihat begitu rumit dan sedih. “Jangan pergi. Kau di sini saja, Sayang. Aku… aku.”

Aru merangkak mendekat lalu memeluk tubuh Bela kembali, dia menenggelamkan kepalanya pada lekukan leher milik Bela, menghembuskan napas miliknya dengan lembut sampai membuat Bela agak terhenyak kaget. 

“Mas?” tegur Bela dengan pelan, dan juga memberikan nada yang sulit untuk terbaca. Aru memang beberapa kali memeluk tubuh Bela, mencium kening gadis itu, akan tetapi dia tidak pernah menghembuskan napas seintim ini, memberikan sentuhan sebanyak ini.

Jadi Bela agak merinding sekaligus agak panik. “Mas Aru? Mas kenapa?”

Aru tidak menjawab, dia hanya masih memeluk Bela lalu menenggelamkan wajah dan juga bibirnya pada lekukan leher Bela. Deru napasnya terdengar lirih, dan kemudian suara Aru terdengar, “Sayang, aku sebenarnya menginginkan sesuatu.”

Wajah Bela tiba-tiba memerah, jantungnya berdegup cukup kencang, dan tubuhnya gemetar karena gugup. Di dalam pikiran Bela sudah terlintas hal-hal yang tidak sepantasnya dia pikirkan.

“Apa… apa Mas mau meminta… jatah?” Bela menelan ludahnya sendiri, dia jujur saja belum siap. Meskipun dia sudah mempersiapkan diri, dia sudah siap menjadi seorang ibu akan tetapi jujur saja dia tidak pernah siap jika Aru ‘menyentuhnya’ sebelum ujian tiba. Itu semua di luar perkiraan Bela. 

Mengingat perjanjian yang mereka buat, Bela segera mengingatkan, dengan wajah memerah dan dada yang berdegup kencang. “Mas harus ingat perjanjian kita dulu. Kita tidak akan melakukan hubungan intim sebelum aku lulus, Mas. Mas juga sudah setuju kan? Dan justru Mas yang menyarankan itu karena Mas tidak ingin memperlakukanku secara tidak pantas. Mas, aku mohon. Aku sungguh tidak bisa melakukannya.”

Bela terguncang, dan dia hampir saja menangis. Air mata hampir lolos dan mengalir di pipinya jika saja Aru tidak buru-buru menjelaskan. Dia juga ingin berada di dalam cinta kasih milik Aru, hanya saja tidak sekarang, ini terlalu dini dan Bela menjadi paranoid.

“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status