Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.
“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.
…
Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bahagia, ingin membuat Bela tersenyum lebih bahagia. Aru tau bahwa kesibukannya dalam bekerja telah membuat waktu berkualitas dengannya dan Bela jauh berkurang, dan itu telah membuat Bela terlihat kesepian. Walau Bela tidak pernah mengatakannya akan tetapi Aru cukup bisa membaca ekspresi wajah gadis itu.
“Mas, lain kali kita perlu jalan-jalan sampai selarut ini, apalagi kondisinya Mas kan belum stabil. Mas harusnya banyak istirahat, dan jangan terlalu mem-forcir tenaga. Ambil saja cuti, Mas, dan minta pada bawahannya Mas untuk menggantikan Mas sementara waktu.” Bela memapah Aru setelah mereka turun dari mobil. Kini mereka memasuki rumah dan membersihkan diri.
Setelah mandi, mereka saling berpengangan tangan, dengan Bela berada di dalam dekapan hangat sekaligus rapuh milik Aru. Aru tau bahwa hari ini dia cukup berhasil memberikan Bela kejutan demi kejutan, akan tetapi di sisi lain Aru bisa melihat bahwa Bela menjadi curiga padanya karena Aru melakukan hal-hal manis melebihi biasanya. Belum lagi Aru juga memberikan hadiah pada Bu Yasmin, ibu kandung Aru, dan Pak Ansori, ayah tiri Aru.
“Mas,” tegur Bela, sepertinya dia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Banyak sekali pertanyaan yang sudah memenuhi kepalanya sedari tadi apalagi saat Aru mulai memberikan hadiah pada Bu Yasmin dan Pak Ansori. Tubuh mungil Bela seperti melesak di dalam pelukan Aru, dibalut dengan piyama berwarna pudar yang membuat kecantikannya tampak murni.
“Mas kenapa sih hari ini? Mas tidak hanya memberiku kejutan akan tetapi juga memberikan ibu dan ayah kejutan. Apa benar Mas melakukan ini hanya untuk meminta restu dan doa dari ayah dan ibu agar kita bisa segera memiliki anak? Apa… Mas tidak memiliki tujuan yang lain?” Suara Bela semakin rendah terdengar, semakin lirih dan bahkan hampir tenggelam di kata-kata terakhir miliknya. Bela tercekat.
Dia telah memikirkan hal-hal buruk, apalagi diperparah dengan kondisi Aru yang lemah dan sakit. Akan tetapi meski begitu Bela tidak memiliki banyak pemikiran terlalu buruk, seperti Aru yang ternyata sakit keras.
Aru membelai pelan rambut Bela. Di sekeliling pinggang Bela, dia melingkarkan kedua tangannya yang pucat. Aru ingin menikmati masa-masa indah itu lebih lama, jika dia mampu. “Aku sungguh hanya ingin meminta restu agar kita bisa memiliki anak, Sayang. Aku memberimu kejutan karena aku ingin menghiburmu sebelum ujian tiba. Kau juga tidak boleh stress, Sayang, agar kandunganmu sehat dan baik-baik saja. Apa seorang suami yang ingin memberikan yang terbaik pada istrinya itu salah?”
Bela mendongak, dia mengamati mata Aru dengan dalam, kedalamannya bisa saja menjerat Bela. Lalu Bela memeluk Aru lebih erat lagi. Dia berbisik pelan, “Terimakasih, Mas.”
Tak lama kemudian Bela pun mengambil langkah yang lain. Dia segera beranjak dari posisinya untuk mengambil buku belajar yang dia letakkan di atas meja belajar miliknya. Kemudian dia kembali di atas ranjang untuk duduk berlanjar kaki lalu membaca beberapa buku pelajaran yang telah dia ambil.
Di luar dugaan Aru tampak cemberut. Hari ini dia hanya ingin menikmati banyak waktu yang berharga dengan Bela. Aru ingin mereka menjalani hari bersama-sama tanpa ada kesibukan yang mengganggu. Jadi saat melihat Bela sibuk sendiri, Aru seperti menjadi kesal walau dia tidak mengatakannya secara langsung.
Namun Aru mencoba untuk menahan dirinya sendiri, sebagai seorang suami yang bisa memahami istrinya. Jadi Aru meraih ponsel miliknya dan menyibukkan diri. Aru membaca berita, memainkan game ponsel, dan melihat beberapa video.
Akan tetapi Bela menyibukkan diri lebih lama dari dugaan Aru, di tengah Aru yang sejujunya menginginkan sesuatu dari Bela. Aru tidak ingin melakukan ini, menjadi vulgar sejelas ini, akan tetapi Aru seolah kehabisan waktu.
Jadi Aru meletakkan ponsel miliknya, mendekatkan diri pada Bela dan kemudian memeluk pinggang istrinya. Kepala Aru bersandar pada pundak Bela, dan dia ikut membaca sekilas pelajaran yang dibaca oleh Bela.
“Sayang, ini kan hari libur, kenapa kamu masih tetap belajar? Apa kamu tidak bisa untuk meluangkan waktu untukku?” Entah kenapa Aru terdengar sangat manja saat itu. Dia juga terdengar agak kesal serta merajuk.
Bela masih tidak menyadari hal itu. Jadi dia berkata, “Sebentar lagi, Mas. Aku tidak belajar kok, akan tetapi aku hanya membaca sekilas rangkuman pelajaran yang telah kubuat. Kalau Mas mengantuk Mas bisa tidur terlebih dahulu.”
Aru menjadi semakin cemberut karena Bela tidak memahami kerinduan yang dia rasakan. Dan kenapa Bela berpikir begitu sederhana bahwa Aru mengganggunya belajar hanya karena Aru ingin tidur terlebih dahulu?
Bela akhirnya menurunkan buku pelajaran miliknya, dia baru saja kepikiran akan sesuatu. Wajahnya yang manis dan menggemaskan kini mendongak lembut pada Aru yang masih menyandarkan wajahnya di atas pundak Bela. “Mas tidak bisa tidur karena lampunyaa masih menyala ya? Apa Mas ingin aku keluar saja jadi Mas bisa mematikan lampu? Baiklah tidak apa-apa, yang penting Mas bisa istirahat.”
Bela hampir benar-benar pergi dari ranjang jika saja Aru tidak mencegahnya. Tangan Aru mencekal lembut pergelangan tangan Bela. Wajah Aru terlihat begitu rumit dan sedih. “Jangan pergi. Kau di sini saja, Sayang. Aku… aku.”
Aru merangkak mendekat lalu memeluk tubuh Bela kembali, dia menenggelamkan kepalanya pada lekukan leher milik Bela, menghembuskan napas miliknya dengan lembut sampai membuat Bela agak terhenyak kaget.
“Mas?” tegur Bela dengan pelan, dan juga memberikan nada yang sulit untuk terbaca. Aru memang beberapa kali memeluk tubuh Bela, mencium kening gadis itu, akan tetapi dia tidak pernah menghembuskan napas seintim ini, memberikan sentuhan sebanyak ini.
Jadi Bela agak merinding sekaligus agak panik. “Mas Aru? Mas kenapa?”
Aru tidak menjawab, dia hanya masih memeluk Bela lalu menenggelamkan wajah dan juga bibirnya pada lekukan leher Bela. Deru napasnya terdengar lirih, dan kemudian suara Aru terdengar, “Sayang, aku sebenarnya menginginkan sesuatu.”
Wajah Bela tiba-tiba memerah, jantungnya berdegup cukup kencang, dan tubuhnya gemetar karena gugup. Di dalam pikiran Bela sudah terlintas hal-hal yang tidak sepantasnya dia pikirkan.
“Apa… apa Mas mau meminta… jatah?” Bela menelan ludahnya sendiri, dia jujur saja belum siap. Meskipun dia sudah mempersiapkan diri, dia sudah siap menjadi seorang ibu akan tetapi jujur saja dia tidak pernah siap jika Aru ‘menyentuhnya’ sebelum ujian tiba. Itu semua di luar perkiraan Bela.
Mengingat perjanjian yang mereka buat, Bela segera mengingatkan, dengan wajah memerah dan dada yang berdegup kencang. “Mas harus ingat perjanjian kita dulu. Kita tidak akan melakukan hubungan intim sebelum aku lulus, Mas. Mas juga sudah setuju kan? Dan justru Mas yang menyarankan itu karena Mas tidak ingin memperlakukanku secara tidak pantas. Mas, aku mohon. Aku sungguh tidak bisa melakukannya.”
Bela terguncang, dan dia hampir saja menangis. Air mata hampir lolos dan mengalir di pipinya jika saja Aru tidak buru-buru menjelaskan. Dia juga ingin berada di dalam cinta kasih milik Aru, hanya saja tidak sekarang, ini terlalu dini dan Bela menjadi paranoid.
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya.
***
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan
Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pe
“Halo, Ru? Elang hilang.” Dimas terengah saat mengatakan hal itu. Wajahnya bahkan sudah dipenuhi oleh bulir keringat. Dia sedang mondar-mandir di tempat di mana mobil ringsek Aru digulingkan.Sementara Aru yang masih berada di jalan untuk menuju ke bandara hanya bisa mematung, seolah enggan mempercayai apa yang baru saja dia dengar. “Ini mimpi kan? Aku pasti tertidur di mobil menuju ke bandara lalu memimpikan hal yang tidak-tidak,” bisik Aru pada dirinya tanpa sadar.Sebelum benar-benar meninggalkan Elang dan misi mereka, Aru memang sudah berpikiran negative. Di antaranya adalah bagaimana jika nanti terdapat banyak rintangan yang bisa mengagalkan rencana kali ini?Bagaimana jika sesuatu terjadi atau bagaimana jika Elang tiba-tiba kabur dan mengelabuhi
Elang sudah mulai tersadar walau dia belum ingin memperlihatkannya. Tangannya diikat di belakang punggung sementara mulutnya ditempeli lakban sehingga dia tidak bisa berbicara atau berteriak.‘Itukah penculikku?’ batin Elang yang pelan-pelan membuka mata untuk mengintip. Sekarang dia berada di dalam mobil untuk menuju ke suatu tempat yang tidak Elang ketahui.Saat bersembunyi di hutan Alas Roban, Elang sedang membuat panggilan dengan Dimas. Seperti yang sudah diketahui, Elang sendiri tidak bisa menjawab apa pun karena saking terkejutnya dia saat melihat pistol tiba-tiba ditodong ke kepalanya.Ada dua sosok hitam di depannya saat itu, yang berbadan tegap dan tidak terlalu jelas wajahnya. Keduanya membawa senjata. Satu orang membawa pistol, yang ditodongkan pada Elang, satunya lagi membawa pisau y
Begitulah akhirnya. Elang yang tadinya ingin kabur dari dua orang asing yang berusaha membunuhnya justru malah berhasil dibebukan hingga pingsan. Lalu saat membuka mata dia justru sudah berada di dalam mobil bersama dua orang asing itu.“Dia masih pingsan?” kata salah satu lelaki asing itu.Sekarang hari mulai fajar. Semburat merah terlihat di kejauhan. Tapi tetap belum mampu menampakkan cahaya yang terang, yang mungkin bisa menampakkan sosok Elang. Tapi toh itu tidak ada gunanya karena Elang digulingkan hingga kepalanya tidak akan nampak dari luar.“Sepertinya masih. Kau takut dia bangun? Bius saja lagi!” jawab rekannya, yang mengemudi.“Tidak. Nanti saja jika sudah kepepet. Kau tau kan kebanyakan bius juga tidak baik. Kita harus membawanya hidup-hidup tanpa terluka agar kita bisa mendapatkan bayaran yang setimpal.” Tercium uap asap rokok setelah lelaki itu berbicara. Sementara Elang yang sudah sadar
Wirya oleng sesaat setelah Elang menubruknya dari belakang. Bahkan kemudi mobilnya tidak terkendali hingga membuat mobil itu menggila tak karuan di jalan. Tapi justru itu yang Elang inginkan agar ada orang lain yang menemukan sesuatu yang ganjil dengan mobil itu.“Woy, woy!” Hanya itu teriakan yang bisa dilakukan Wirya sampai akhirnya Wirya berteriak lagi, “Jo! Bantu aku, Jo! Tahan dia!” teriaknya lagi.Jo yang tadinya terguncang kaget kini berusaha mengendalikan Elang yang justru terlihat seperti penjahat di situ. Elang sudah mengamuk layaknya banteng yang membahayakan. Jo berusaha memegangi Elang. “Tenang! Kembali ke belakang! Kembali atau kau menyesal.”Sejak mengetahui bahwa Elang akan dipulangkan dalam kondisi selamat, lelaki itu nampaknya sudah tidak memiliki ketakutan di dalam hatinya. Elang akan terus menjejak dan menubruk sampai dia bisa terbebas dari mobil yang menculiknya itu.“Hey, tenang! Atau kau aka
Dimas mendobrak pintu rumah sakit dan menemukan Elang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Seketika itu juga kaki Dimas menjadi sangat lemah, dan dan lelaki berwajah oriental itu menangis di tempatnya.“Anda tidak apa-apa, Pak?” tegur salah satu perawat yang masih berada di dalam demi membersihkan tubuh Elang. Sekarang Elang sudah bersih dari luka dan lebam buatan, lalu sebagai gantinya ada sebuah luka di perut yang tidak terlihat dari luar.Tangan Dimas menggosok matanya yang berlinang air mata. Lalu dengan sempoyongan dan menyangga diri pada dinding lelaki itu berkata, “Apa dia baik-baik saja, Suster?”“Oh, Anda walinya?” tebak suster itu.“Saya temannya, dan bisa menjadi wali sementara. Pihak keluarganya belum saya kabari. Jadi bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” ulang Dimas lagi, dengan pikiran kacau dan berantakan.Suster itu mengangguk. Setelah dia menaikkan selimut milik
Bela buru-buru memasuki loby rumah sakit. Jantungnya sudah berdetak menggila karena dia yang khawatir mengenai keadaan Aru untuk saat ini.Dimas sudah mengabari gadis itu bahwa Aru tertimpa sebuah musibah, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Untuk pastinya, Dimas belum bisa menjelaskan secara detail karena Bela sudah terlebih dahulu mendesak alamat dari rumah sakit di mana Aru palsu dirawat.“Suster, Suster.” Bela terengah bersama wajahnya yang sangat kacau. Mengingat bahwa tadi pagi suaminya pergi dalam keadaan ceria dan baik-baik saja, telah membuat hati Bela hancur kala menemukan takdir lain yang kini merubah kondisi Aru. “Saya sedang mencari pasien bernama Garuda Wibisono. Boleh saya tau kamarnya di mana? Saya istrinya.”Ada saudaranya Pak Ansori juga yang ikut bersama Bela saat itu. Dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahunan. Namanya Pak Bandi, dia bertugas untuk mengantar Bela ke rumah sakit itu.