Share

Episode 8-Jadi Sekretaris?

Ratih tidak menyangka jika hidupnya akan semakin sulit setelah terlibat pertengkaran dengan Suga. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan menjadi sekretaris dari pria itu. Bagi Ratih, seorang sekretaris tidak lebih dari seorang pembantu, hanya saja memiliki sebutan dan jaminan yang jauh lebih tinggi. Dengan pemikiran tersebut, tentu saja Ratih menganggap jika saat ini jabatannya telah diturunkan.

Kini, Ratih hanya bisa mematung di hadapan Suga. Kendati begitu, matanya terus menatap tajam ke arah pria itu. Ingin sekali, Ratih menghantamkan wajah Suga pada tembok pembatas antar ruangan, atau setidaknya menguliti atasannya tersebut. Bagaimana tidak merasa kesal jika saat ini ia justru dipermainkan tanpa adanya kesempatan untuk melawan.

Suga menghela napas sembari bergerak dengan malas. Tak berselang lama, ia melepas kacamatanya.Tentu saja mata elangnya terlihat dengan jelas.

“Kenapa?” tanya Suga dengan nada datar.

Ratih mengepalkan kedua telapak tangannya demi upaya untuk menahan rasa geram. Namun sepertinya ia tidak berhasil, sehingga melontarkan perkataan. “Kembalikan saya ke jabatan sebelumnya, Pak!”

Suga tak banyak mengubah sikap, kecuali menoleh ke arah lain. “Enggak bisa,” jawabnya enteng.

“Kenapa?!”

“Belinda sudah aku mutasi.”

“Tapi, kenapa harus saya penggantinya?!”

Suga tak menjawab. Sesaat setelah menatap Ratih dengan nanar, ia beranjak berdiri. Detik berikutnya, Suga mengayunkan sepasang kaki panjangnya itu untuk menuju keberadaan wanita cantik yang begitu berani padanya tersebut. Tentu saja, sikap Suga membuat Ratih tak berkutik sekaligus gugup.

“Kenapa kamu enggak ada sopan-santunnya padaku, hah?!” ucap Suga. Ia bahkan sampai menyodorkan wajahnya ke hadapan Ratih agar setidaknya Ratih merasa tertekan.

Reflek, Ratih menampar pria itu. Bahkan, ia sampai terkejut akan sikapnya sendiri. Atas insiden kurang menyenangkan yang ia perbuat sendiri, Ratih merutuk dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gelisah, karena mau bagaimanapun Suga masih merupakan atasan tertingginya. Belum lagi ancaman dua milyar rupiah menjadi ketakutan tersendiri baginya. Dan sikap kasarnya pasti akan membuat Suga semakin marah. Oh sial! Ratih hanya bisa mengumpat dan terus menunduk resah.

Suga menekan pipinya yang memerah. Tamparan Ratih yang tuba-tiba dilayangkan untuk melukai pipinya tentu saja membuat pipinya cukup perih. . Ingin sekali Suga mencambuk wanita itu, tetapi latar keberadaannya saat ini sama sekali tidak mendukung.

“Kamu enggak minta maaf padaku?!” tanya Suga lebih tegas. Bahkan, ia sengaja menyibak poninya ke atas agar tatapan tajamnya mampu menembus jantung dan hati milik Ratih.

“N-nggak!” tandas Ratih masih berusaha menjaga harga diri. “Saya enggak mau minta maaf sebelum Bapak mengembalikan jabatan saya!” lanjutnya sembari membalas tatapan Suga.

Suga hendak mengayunkan tangannya karena terlanjur kesal, tetapi ia belum sampai mendarat di pipi Ratih, ia segera mengurungkan niatnya ttersebut Wanita yang sangat pemberani itu pasti tetap tidak akan takut. Tadi malam saja, Ratih mampu melawan dua anggota yang dikirimkan oleh Suga. Dan sebuah tamparan pastinya tidak akan memberikan aturan apa-apa bagi wanita itu.

“Kenapa harus saya sih, Pak Suga! Kan karyawan Bapak ada ribuan orang! ”

“Hei!”

Suara lantang milik Suga membuat Ratih tersentak sampai kedua bahunya terangkat. Ia menunduk tanpa bisa memberikan perlawanan lagi. Akan sulit jika pada akhirnya Suga mengungkit penalti dua milyar tersebut.

“Ratih?”

“I-iya, Pak Suga.”

“Kenapa sejak awal kamu justru lebih mendominasi dan begitu berani? Aku ini atasan kamu, 'kan? Kenapa lagakmu justru terkesan mengatur semua yang aku kehendaki, hah?! Apa kamu mau bayar dua mil—”

“Pak!”

“Kamu barusan berteriak lagi?”

Ratih menelan saliva. Mulutnya memang sulit di-rem jika sedang menghadapi orang yang ia benci. Bahkan tak hanya pada Suga, melainkan juga pada Kani—bibinya.

Namun jika berkaitan dengan uang yang tidak wajar sebagai biaya penalti itu, tentu saja Ratih tidak bisa tinggal diam. Ia akan melawan! Bukankah hal paling lumrah adalah perusahaan membayar pesangon untuk karyawan yang mengundurkan diri, dan bukan malah meminta penalti itu? Mungkin memang begitu, sayangnya sosok Suga memang nerd yang gila!

Suga menghela napas, kemudian kembali bertanya, “Apa alasan kamu, Nona Buruk Rupa?”

Mendengar penghinaan atas fisiknya itu, tentu saja Ratih merasa sangat kesal. Namun ia hanya mampu menggertakkan gigi demi melindungi isi ATM-nya yang bahkan isinya tidak sampai sepuluh juta.

“Bapak mau saya berkata jujur atau bohong?” balas Ratih tanpa memberikan tatapan, ia lebih memilih menundukkan kepala.

“Katakan.”

“Karena saya benci sama Bapak sejak lama. Karena Bapak sewenang-wenang menurunkan jabatan saya sebagai pembantu Bapak. Karena Bapak enggak memberikan kesempatan bagi saya untuk menolak. Karena Bapak memberikan biaya penalti secara enggak wajar, padahal saya yang dipecat dan tentunya bukan saya yang melanggar kontrak. Karena Bapak mengejek saya bodoh dan buruk rupa. Kare—”

“Mau kupotong lidahmu, Ratih?!”

“Bukankah Bapak sendiri yang meminta saya untuk mengatakannya?”

Suga terdiam. Hanya embusan napas kasar yang ia terdengar sedang ia lakukan. Baginya, Ratih tak sekadar mengganggu, tetapi memang unik dan mengesalkan untuk ukuran seorang wanita biasa. Bahkan bisa dibilang, Ratih tidak normal sesuai apa yang Suga pikirkan. Wanita itu akan menyulitkannya jika tidak diawasi secara ketat. Membunuhnya tentu bukan keputusan yang benar, sebab selain sabuk hitam yang Ratih kuasai, Suga tetap tidak bisa melakukan pembunuhan.

Sepertinya ucapan Daichi Lesmana memang benar, jika Suga merupakan mafia berhati lembut. Kendati cara penyiksaan yang ia terapkan selama ini cenderung kejam dan tetap tidak bisa dibenarkan.Bagi beberapa anggotanya, justru cara itu yang paling menakutkan dari sosok Sugantara. Namun pada akhirnya Suga tetap membiarkan hidup, karena mungkin dirinya memang masih terlalu pengecut untuk menjadi seorang pembunuh.

“Terakhir, ... karena saya menyimpan rahasia Bapak. Rahasia Bapak yang saya ketahuilah membuat saya menjadi lebih berani dan saya bisa melawan Bapak!” Ratih sudah tidak bisa menahan dirinya lagi.

“Jadi, kamu mau melawanku dan mengancamku? Dengan uangmu yang bahkan enggak sampai sepuluh juta itu? Memangnya kamu bisa membayar nominal penalti yang aku inginkan? Karena sekeras apa pun kamu melawan, kamu tetap akan kalah dariku, Ratih. Lagi pula bagaimana kamu akan menyebar soal identitasku?” tandas Suga. Ia tahu jika Ratih tidak memiliki bukti apa pun mengenai wajah di balik penampilan culunnya, tetapi sekali Ratih menyebar rumor, orang-orang akan mulai tertarik untuk mencari tahu tentang dirinya. Dan alasan inilah yang membuat Suga tetap ingin mengawasi Ratih.

Ratih menelan saliva. “Ba-bagaimana ...?”

“Wajah miskinmu menggambarkan digit angka di rekening bank kamu, Ratih. Tipikal wanita sederhana yang bahkan pin kartu saja bisa ditebak olehku.”

“Woah!” Ratih tersenyum kecut, matanya bergerak tidak menentu. Harga dirinya kembali diremehkan oleh pria itu. Ia tidak bisa menerima semua itu. “O-oh, ya? Bapak tahu dari mana? Co-coba sebutkan!”

“Kamu memerintahku lagi, Ratih?”

“I-itu ssayaenggak memerintah, Pak, hanya ... hanya meminta bukti saja.”

Suga kembali memajukan wajahnya ke hadapan Ratih. Secara otomatis, Ratih memundurkan kepalanya. Matanya yang sempat bergerak tak menentu, kini justru berkedip-kedip dengan ekspresi lugu.

Di depan mata indah milik Ratih, Suga menyunggingkan senyum begitu manis. Matanya yang tajam begitu jernih ketika dilihat dari dekat, termasuk halusnya kulit wajah milik pria itu sendiri. Orang dengan wajah semenarik itu mengapa berusaha untuk menyembunyikan identitas? Untuk apa? Ratih mempertanyakan hal yang memang mulia membuatnya penasaran sejak tadi malam.

“910217 ... itu kata sandi ATM kamu, bukan?” ucap Suga sembari menarik kepalanya.

Mata Ratih membelalak dengan rahang menganga.

“Aku benar?”

“Ba-bapak menguntit saya, ya?! Mau merampok saya?!”

“Kamu lupa siapa aku, Ratih Kembang? Aku si jenius Sugantara.”

“Ta-tapi, enggak mungkin, 'kan, Bapak tahu sampai sedetail itu?”

“Jadi, ... tebakanku benar?”

Ratih menunduk diam.

“Dari segi penampilan saja, kamu ini sangat sederhana, Ratih. Menunjukkan bahwa pikiranmu juga sangat sederhana. Kamu bukan orang yang mau ambil pusing pada hal-hal kecil. Sementara, pihak bank kerap kali melarang penggunaan tanggal lahir. Dan akhirnya, kamu membalik tanggal lahir kamu sebagai pin kartu ATM kamu, begitu, 'kan?”

Luar biasa! Batin Ratih.

Suga berjalan menuju meja kerjanya sendiri. Sikapnya begitu angkuh dan membuat Ratih tak bisa berkutik. Pria itu memang luar biasa! Sepertinya mitos mengenai orang memakai kacamata yang berarti orang pintar memang benar. Selain dari mitos itu, Suga memang terkenal memiliki otak yang cemerlang. Hanya saja ....

“Tunggu! Bapak tahu tanggal lahir saya dari mana?”

Sesaat setelah duduk di kursi kerjanya, Suga melemparkan sebuah map cokelat. Ia menyerahkan benda itu pada Ratih.

“Kamu sekarang merupakan sekretaris pribadiku, Wanita bodoh! Belinda telah menyerahkan berkas lamaranmu lima tahun silam, sehingga aku tahu identitas kamu dari situ,” jelas Suga.

“Tapi, saya tetap menolak, saya—”

“Dua milyar, Ratih.”

“Aarrrggghhh! Sial, menyebalkan sekali!”

”Kamu mau mengumpat padaku?”

Ratih mendengkus kesal. Sepertinya memang sudah tidak ada celah untuk kabur dari sosok Sugantara. Pria itu sangat menyeramkan! Surat kontrak yang mencantumkan biaya penalti bisa saja diubah isinya sesuai digit yang Suga inginkan. Hal itu akan membuat Ratih semakin kesulitan jika melawan hanya karena menolak menjadi seorang sekretaris.

“Baiklah,” ucap Ratih yang akhirnya menyerah. “Tapi, seenggaknya kasih tahu saya dulu mengenai alasan Bapak menarik saya untuk menggantikan Nona Belinda,” pintanya.

“Karena kamu harus diawasi, Nona Buruk Rupa," sahut Suga.

“Kenapa? Bukankah Bapak sendiri yang enggak mau bertemu dengan saya dan kita telah sepakat akan hal itu? Lagi pula, Bapak kan tahu jika saya tidak bisa membuktikan kalau Bapak punya wajah mm, agak mendingan.”

“Harusnya begitu, sayangnya kamu bukan orang yang bisa dipercaya. Terlebih, ketika wanita memang suka sekali bergosip. Bisa saja kamu menyebar rumor mengenai aku.”

“Hanya karena itu? Bahkan, saya enggak tertarik mengenai identitas Bapak. Ya, mungkin saya memang masih memiliki rasa penasaran, selebihnya rasa heran. Tapi, saya enggak pernah berniat membeberkan gosip itu.”

“Siapa yang tahu.”

”Ck, aaah! Saya akui, padahal itu wajah yang tampan. Bukan wajah monster yang menyeramkan. Ada-ada saja.”

Tepat ketika Ratih mengucapkan kata 'monster', lidah Suga mendadak kelu. Matanya memang melebar, tetapi sorotnya begitu lemah. Ratih menganggap wajah di balik kacamata tebalnya tidak terlihat seperti monster. Namun kenyataannya kehidupan lain Suga yang justru berbanding terbalik dengan penilaian wanita itu. Sudah lama, Suga menjadi monster penyiksa!

Ekspresi Pak Suga berubah? Kenapa? Ratih menangkap perbedaan mimik wajah itu. Setelah mengakui tidak tertarik akan siapa Suga, kenyataan justru berbicara jika ia harus segera mengungkap mengenai kehidupan Suga yang sebenarnya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status