Share

Episode 10-Terjebak

Dengan setia Ratih mendampingi Suga di mana pun pria itu berpijak, dan tentu saja untuk urusan pekerjaan. Kendati masih terbilang baru, nyatanya, Ratih sudah mampu mengatasi semua pekerjaan sekaligus kendala beberapa kendala. Dan saat ini ia mencoba untuk tidak memikirkan perihal niat menolak mengenai jabatan barunya itu. Ratih berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada sang tuan, alih-alih terus merengek.

Ratih segera berdiri dari duduknya ketika mendapati Suga baru saja keluar dari ruangan kerja pribadi. Dengan lebih profesional Ratih memutuskan untuk merundukkan badan sebagai bentuk rasa hormatnya. Melihat sikap Ratih yang begitu tunduk, Suga lantas tersenyum bangga seolah sudah mendapatkan kemenangan secara penuh.Bagaimana tidak, musuhnya itu kini dapat ia kendalikan sesuka hati.

Suga merasa dirinya sudah mampu mengendalikan wanita yang pemberani itu.

“Jadwal selanjutnya? Kamu nggak laporan padaku?” tanya Suga.

Ratih menghela napas, kemudian menjawab, “Sore nanti sudah enggak ada meeting lagi, Pak.”

“Bagus! Dengan begitu aku bisa cepat pulang, ‘kan?”

“Tentu saja.”

“Mm ... tapi, aku masih membutuhkanmu hingga malam nanti.”

“Untuk apa lagi, Pak?" Tabiat asli Ratih mulai keluar ketika Suga mengaku masih membutuhkannya hingga malam hari.

“Kenapa memangnya? Kamu mau menolak?”

Ratih menelan saliva. “Tentu saja tidak, Pak!” Suaranya terdengar lantang mungkin karena kembali didera rasa kesal.

Beberapa hari ini, Suga memang terlalu sering meminta Ratih untuk mampir sampai jam delapan malam. Entah apa maksud dan tujuan Suga, yang pasti Ratih benar-benar tidak paham. Padahal, ketika Ratih sampai di apartemen pria itu tidak banyak yang perlu ia lakukan, kecuali bertindak sebagai pembantu rumah tangga. Ah, jika mengingat sikap Suga, Ratih selalu menyesal telah memberikan pelayanan terbaiknya. Andai saja, ia bisa berbuat tega dengan membiarkan Suga bekerja sendiri. Namun apa daya ancaman dua milyar masih menjadi ketakutan tersendiri bagi Ratih Kembang.

Selepas Suga kembali ke dalam ruang kerja pribadi, terdengar kebisingan yang bersumber dari hiruk-pikuk para karyawan di segala divisi perusahaan Daichi itu. Ratih melirik waktu pada jam digital yang terpasang pada pintu masuk ruangan Suga. Jam operasional memang sudah selesai. Tentu saja keadaan akan ramai karena para karyawan telah bergegas untuk pulang, membuat Ratih merasakan iri. Andai saja ia masih menjadi manajer yang bebas dari pengawasan Suga, maka saat ini pun ia sudah berlari untuk mencari taksi.

Sembari mendengkus kesal, Ratih menyibukkan kedua tangan untuk membereskan berkas-berkas pekerjaan. Semua telah Ratih susun rapi. Setelah selesai, Ratih justru bergeming dengan maksud menunggu tuannya itu alih-alih berlalu untuk melarikan diri.

“Ratih ...!” Seseorang menyebut nama Ratih dengan suara desisan. Nurma terlihat baru saja keluar dari elevator dan saat ini tengah berjalan secara mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara tapak yang dapat membuat Suga keluar dari ruangan. Sesaat setelah menghampiri Ratih, Nurma bertanya, “Kamu masih sibuk, ya?”

Dengan gerak malas, Ratih menjawab,” Sibuk banget, Nur. Aku masih ada kerjaan sama si Culun.”

“Hmm ... sayang sekali.”

“Kenapa?”

“Ada acara makan-makan habis ini, pacarku ulang tahun. Aku udah ngajak Gatra, tapi kamu ....”

“Aku usahain, Nur, semoga bisa pulang sebelum jam enam. Kamu kirim alamatnya aja nanti kalau ada waktu aku bakal ke sana.”

“Oke deh. Tapi, jangan terlalu maksa diri ya, Tih, jangan bikin masalah sama atasan.”

“Tenang aja, Nur, aku tahu. Pulang sana, Egy pasti udah di depan dan bilang sama Gatra kalau aku telat, ya.”

“Issh ... udah jadian kalian?”

Ratih menggeleng, lesu. “Nggak. Dia sering modus sih buat jemput dengan alasan kebetulan lewat.”

“Dasar cowok itu! Bodoh banget! Ya udah ya, Tih. Bye, hati-hati.”

Ratih tersenyum, sementara Nurma berbalik dan melangkah pergi meninggalkannya. Sembari menunggu Suga yang selalu sengaja berlama-lama, Ratih mendudukkan dirinya lagi. Ia menghela napas beberapa kali sambil berharap kegalauan hatinya beranjak pergi. Ajakan Nurma menjadi keinginan yang tampaknya tidak bisa ia lakukan. Ingin bersama dengan para teman, tetapi Suga masih menjebak dirinya.

“Ck.” Suga berdecak di balik pintu yang sejak Nurma datang telah terbuka sedikit, termasuk keberadaannya di sana. “Apa aku terlalu keras padanya?” gumam Suga lagi, menyadari sikap penuh penekanan yang selalu ia berikan pada Ratih tanpa kata ampun sedikit pun.

Detik berikutnya, Suga keluar dari pintu ruangan itu. Ia bergegas menghampiri sekretaris cantiknya yang masih tampak lesu. Tapat di hadapan Ratih, Suga menelan saliva. Ia terlalu bingung. Haruskah ia memulai pembicaraan atau sekedar ajakan untuk pulang?

Menyadari keberadaan seseorang yang tengah berdiri di hadapannya, Ratih mengangkat kepala. Ia menatap Suga dengan paras terkejut. Setelah itu, ia bangkit dan kembali merundukkan badannya. Kesal memang, tetapi apa boleh buat, ia tidak bisa membayar tuntutan dua milyar sebagai penalti untuk melarikan diri.

“Ayo!” titah Suga. Tanpa memedulikan Ratih lagi, ia bergegas melangkah dengan ttega.

Ratih menyusul pria itu dengan langkah yang terburu-buru. Ia berjalan tepat di belakang Suga tanpa berbicara sedikit pun. Intinya, Ratih tidak mau berucap jika tidak ditanya. Ia malas bertengkar ketika suasana hati yang sudah runyam. Dan sudah pasti ia hanya akan dibuat kalah jika tetap nekat memberikan bantahan pada pria bertopeng culun itu.

Ratih mempersilakan Suga masuk terlebih dahulu ke dalam elevator khusus milik sang CEO. Kemudian, ia baru mengikuti ketika Suga. Ratih menekan tombol bertulis angka lantai yang hendak dituju, ia menyisip ke belakang Suga seperti yang dilakukan para sekretaris pada umumnya.

Tidak ada pembicaraan. Suasana senyap. Entah Ratih ataupun Suga, sama-sama tidak berminat membuka perbincangan. Kebencian memang masih kental di hati masing-masing memang masih terlalu besar.

Beberapa menit berlalu, mobil mewah milik Suga telah tersaji di depan aula. Sang sopir telah menunggu Suga dan Ratih dengan setia. Tanpa berpikir panjang, Suga masuk ke kabin mobil bagian belakang, sementara Ratih ada di depan. Kendaraan dilaju setelah sang penumpang telah aman di dalam.

Dari balik jendela gelap, Ratih mendapati mobil Gatra. Tampak pria itu pun berbincang dengan Nurma. Seperti yang Ratih duga, Gatra benar-benar menjemputnya. Namun apa daya, lagi-lagi ia tidak bisa datang menyapa..

Diambilnya sebuah ponsel dari dalam tas jinjing. Ratih memainkan ibu jari di atas layar benda persegi panjang itu. Sebuah pesan hendak ia kirimkan pada Gatra untuk memberitahukan mengenai jam lembur yang membuatnya tidak bisa pulang bersama. Sesaat setelah itu, ia kembali memasukkan ponsel dengan perasaan sendu.

Diam-diam, Suga mengawasi dari belakang. Helaan napas Ratih membuat Suga mengetahui bahwa perasaan wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Suga menghela napas, wanita itu selalu berhasil mengganggu hatinya, membuatnya seperti seorang penjahat saja.

“Putar arah, Pak,” titah Suga pada sang sopir.

“Baik, Tuan,” jawab sopir itu tanpa banyak tanya.

Ratih terkesiap. Ia merasa bingung dengan permintaan Suga. Lantas, mau ke mana? Mengapa Suga tiba-tiba meminta memutar arah padahal mobil itu berjalan di arah yang bbena.

“Apa ada pekerjaan dadakan, Pak?” Sembari menoleh ke belakang, Ratih melontarkan kalimat tanya.

Suga tak menjawab, hanya tatapan dingin yang ia berikan. Detik berikutnya, ia melepas kacamatanya dan menyibak poni lebat ke atas. Tak peduli akan adanya sang sopir, karena sopir itu adalah salah satu anak buah dari perkumpulan gelap yang Suga pimpin.

“Pak?” Ratih masih tidak menyerah untuk mengetahui arah dan tujuan yang Suga kehendaki.

“Jangan banyak tanya, kamu nggak berhak untuk itu,” jawab pria angkuh itu.

Ratih berdecak. Kesal, bahkan semakin geram. Namun ia hanya bisa sebatas mengepal telapak tangan. Suga penuh kuasa, sementara dirinya hanya cacing yang bisa dipermainkan sesuka hati pria itu.

Detik berikutnya, Ratih kembali menarik diri. Ia mendekap kedua tangan ke depan. Dengan perasaan kesal itu, ia melirik wajah Suga dari kaca yang tergantung di hadapannya. Ratih menelan saliva. Bagaimana tidak, ketika pantulan wajah Suga justru terkesan begitu tampan penuh aura. Pria itu benar-benar tampan! Dan hanya seorang Ratih yang bisa melihat tanpa terhalang kacamata tebal. Sayangnya, apa yang Ratih terima bukan sebuah keburuntungan, melainkan kesialan yang membuatnya masuk ke dalam kandang macan.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status