Share

Episode 11-Acara Makan

Ketika mobil yang Suga tumpangi bersama sang sopir dan sekretarisnya sampai di depan gerbang utama perusahaan, suasana ternyata sudah cukup sepi. Padahal, mereka meninggalkan tempat itu belum terhitung lama. Nurma dan Gatra juga tak lagi nampak di sana. Sepertinya mereka sudah berangkat ke tempat acara makan bersama.

Suga menghela napas, seiring dengkusan kesal yang ia lakukan. Keadaan itu membuatnya mau tidak mau harus kerepotan.

“Kasih tahu alamat acara itu pada nomor 081,” titah Suga pada Ratih.

Ratih tersentak. “No-nomor?” tanyanya heran.

Suga menelan saliva, merasa getir karena baru saja keceplosan. “Maksudku Bapak Sopir.”

“Oh ... mm, tapi maksud Pak Suga alamat apa?”

“Memangnya kamu pengen ke mana sekarang?”

Ratih terdiam sembari memikirkan apa keinginannya yang tampaknya sudah Suga ketahui. Dan keinginannya saat ini hanyalah ingin menyelesaikan pekerjaan. Mengenai alamat tersebut, rasanya hanya satu alamat yang berkaitan, yakni alamat restoran di mana Ratih ingin bergabung di dalam acara makan-makan bersama teman-temannya. Namun untuk apa Suga mempertanyakan alamat tersebut?

“Kenapa? Jangan salah sangka, aku hanya malas melihat wajah masammu itu, Tih!” tegas Suga ketika Ratih menoleh padanya.

Ratih mengerutkan dahi ketika masih belum paham atas perkataan Sugantara. Apakah Suga memang ingin mengantarkannya pada teman-temannya di restoran terkait?

Dengan antusias, Ratih meraih kembali ponselnya dari dalam tas jinjing. Ratih lantas mencari pesan berisi alamat restoran yang telah Nurma kirimkan belum lama ini. Detik berikutnya, ia memperlihatkan pada sang sopir.

“Siap, Nona,” ucap sopir bernomor anggota 081 itu.

Sesaat setelah menatap Suga dan mendapat respon anggukan, sang sopir mulai melaju mobilnya untuk menuju alamat itu.

Karena Suga tak menyangkal hal yang Ratih duga, tentu saja Ratih langsung merasa kegirangan. Wajahnya yang sempat masam kini menjadi berseri-seri. Bagaimana tidak, selain akan bersama para teman, ia pun bisa terbebas dari kerja lembur serta pengawasan seorang Sugantara. Namun, ... bagaimana bisa Suga yang kejam itu mendadak melakukan kebaikan?

Ratih terdiam, dan ia segera menghapus senyuman yang sebelumnya sulit untuk memudar. Ia menatap Suga diam-diam dari pantulan kaca di depannya. Tampan. Sekali lagi, Ratih harus mengakui bahwa wajah pria itu memang begitu rupawan. Sayangnya, Suga terlalu kejam untuk diberi kasih sayang. Sikap pria itu membuat Ratih terpaksa membangun kkebencia.

Hmm ... apa dia sempat salah makan, ya? Mengapa mendadak berbuat baik? Batin Ratih bertanya-tanya. Detik berikutnya, ia segera menggeleng-gelengkan kepala dan mengabaikan hal yang tidak harus ia ketahui jawabannya. Yang terpenting sekarang adalah ia bisa berpesta dengan teman-temannya.

Setelah mengarungi panjangnya jalan beraspal, akhirnya mobil itu sampai di tempat tujuan. Ratih kembali dibuat kegirangan. Sementara Suga masih terus terdiam. Karena bagi Suga memang tidak ada yang istimewa, bahkan dirinya masih sangat enggan untuk sekedar memberikan ssenyuman

“Pak ...?” Ratih bermaksud ingin berpamitan sebelum turun dari mobil itu. Namun tatapan tajam mata Suga yang tanpa terhalang kacamata membuatnya sempat menelan saliva. “Sa-saya pamit.”

“Ya.” Hanya itu yang Suga berikan sebagai jawaban. Tidak terlalu antusias, bahkan benar-benar tidak peduli.

Ratih menghela napas, ada sedikit umpatan yang ia katakan di dalam hati. Pasalnya, Suga tak lebih dari seonggok raga mati dan lagi-lagi bersikap acuh tak acuh dan seenaknya sendiri.

“Pak Sopir, terima kasih ya?” ucap Ratih beralih pada si nomor 081.

Sopir itu berangsur mengangguk. ”Sama-sama, Nona,” jawabnya.

Tanpa menunggu lama, Ratih segera membuka pintu mobil itu dan segera turun. Namun sebelum melangkahkan kakinya, Nurma, Egy—kekasih Nurma, serta Gatra datang menghampiri dirinya. Tampaknya mereka pun baru saja sampai.

“Ratih, kamu?” Nurma berucap, sedangkan matanya melirik ke dalam mobil di mana sopir Suga masih terjebak dirinya yang masih berdiri di depan. “Ini?” Nurma berjalan meninggalkan tempatnya berpijak karena tak ingin lagi menjadi penghalang laju kendaraan.

Ratih tidak tinggal diam. Ia teringat jika Suga sedang tidak memakai kacamata. Dengan sigap, Ratih berlari. Ia menutupi jendela mobil yang belum tertutup rapat di mana Suga berada di bagian dalam mobil itu.

Segera setelah itu, Ratih mencengkeram tangan Nurma. “A-ayo masuk, Nur!” ajaknya.

“I-iya,” jawab Nurma masih mencoba mengetahui siapa sosok yang ada di dalam sana. “Di dalam ada Pak Suga, 'kan? Ajak aja, Tih!”

“Jangan ngaco kamu, Nur.”

“Ih, jarang-jarang lho dan bakal nggak sopan ada atasan malah nggak ditawari.”

Gatra mendengkus dari sisi kiri. “Jangan aneh-aneh, Nurma! Ada-ada aja lo!”

“Tapi, ...?”

“Nggak apa-apa sih, kalau si atasan juga mau,” timpal Egy.

Ratih menelan saliva. Tidak boleh! Karena baginya kehadiran Sugantara hanya akan membawa malapetaka. Selain itu, bagaimana jika wajah asli Suga terbongkar? Mau bagaimanapun, Ratih harus melindungi identitas atasannya itu. Selain merasa ada alasan khusus di balik keputusan Suga, Ratih juga tidak mau lagi dituntut dengan uang dua milyar.

Suara pintu mobil terdengar dibuka, membuat Ratih terkejut dan lantas mundur. Wanita cantik itu memutar badan hendak memastikan. Suga berangsur keluar, mata elangnya kembali terbingkai kacamata tebal. Sementara poni panjangnya pun telah tergerai ke depan.

“Mau sampai kapan kalian menghalangi jalan mobil—” Suga belum berhasil menyelesaikan ucapannya karena sikap Nurma.

“Pak, mari makan bersama,” aajakNurma.

“Nurma!” seru Ratih dan Gatra berbarengan.

Nurma memandang kedua temannya itu, kemudian berkata, “Ayolah! Kita harus sopan sama atasan.”

“Jangan konyol!” tegas Ratih.

Sementara mereka bertiga berdebat perihal ajakan Nurma, Suga justru terdiam. Di sisi lain, Egy berupaya melerai perdebatan itu. Kehangatan sebuah persahabatan, dan Suga tidak pernah merasakan kehangatan yang menyelimuti ke empat orang tersebut. Hatinya terenyak menimbulkan rasa sesak yang menjalar ke dalam dadanya. Suga iri, sebab ia tidak bisa hidup senormal keempat orang itu.

“Aku ikut,” celetuk Suga pada akhirnya, membuat keempat orang itu seketika diam. “Anggap saja sebagai rasa menghargai.”

Ratih menelan saliva, Nurma tersenyum senang, Egy biasa saja, dan Gatra tidak suka. Bagi Gatra, Suga merupakan orang asing, tidak peduli jabatan apa yang kini dimiliki oleh pria culun itu, ia tetap tidak mau jika Suga sampai bergabung. Apalagi meski berpenampilan tak menarik, Suga justru terkesan angkuh. Suga tidak memiliki seulas senyuman dan tentu saja membuat Gatra tidak nyaman. Ditambah Gatra sudah mengetahui sikap Suga yang kejam yang ia dengar dari Ratih Kembang, membuat hatinya semakin tidak senang.

Pun pada Ratih yang kini merasa sangat kesal. Pasalnya, ia tidak jadi terbebas dari pengawasan Suga. Diantarkan ke tempat acara pun seolah percuma, Suga masih ada dan akan terus memberikan penekanan yang luar biasa.

Sementara Ratih yang merasa kesalahan, Nurma justru lega, sebab ia bisa menarik Suga ke sebuah pergaulan yang pasti tidak pernah Suga alami. Sejak dulu, Nurma memang sangat ingin membantu Suga agar tidak lagi jadi bahan cacian banyak orang. Namun bukan karena ia menyukai sosok atasannya itu, ia hanya merasa iba. Lagi pula, Nurma pernah mengalami masa di mana tidak punya satu pun seorang teman.

Mereka lantas berjalan untuk memasuki restoran bergaya millenial itu. Tak ada perbincangan yang terjadi, kecuali obrolan manis sepasang kekasih yang masih dimabuk asmara—Egy dan Nurma.

“Ratih?” Gatra menyisip di antara Ratih dan Suga yang tidak sengaja melangkah berdampingan. “Kamu capek?” tanyanya.

“Enggak?” Dahi Ratih berkerut samar. “Lo sakit, Gat? Kenapa mendadak sok perhatian begitu?”

Mendengar respon Ratih, Gatra dibuat cukup malu. Maksud hati ingin lebih lembut malah dibalas sedemikian rupa. Namun, Gatra berusaha cuek saja, ia hanya melirik sinis pada Suga.

Tak ada yang Suga lakukan kecuali berjalan dengan diam dan sesekali menghela napas dalam-dalam. Detik di mana Gatra kembali beralih pada Ratih, ia baru tersenyum merendahkan. Lucu saja, itu yang ia pikirkan. Ia tahu betul bahwa Gatra hendak memamerkan kemesraan, sayangnya Ratih tidak sepeka itu. Lagipula, untuk apa Gatra ingin memperlihatkan keakraban itu pada Suga yang bahkan tidak menyukai Ratih sama sekali?

Sebuah meja dengan lima buah kursi telah mereka singgahi pilih. Seorang pelayan wanita datang membawa buku menu. Kelima orang itu pun lantas memilih makanan sesuai keinginan. Ratih sudah gelap mata jika berkaitan dengan hidangan, terlebih saat makanan itu akan dibayarkan oleh teman. Ia menjadi antusias dan melupakan perihal kejengkelan.

“Gatra masih somay lagi?” tanya Ratih pada pria yang ia sukai dalam diam itu.

Gatra mengangguk mantap. “Itu wajib! Kamu mau makan apa? Biar aku yang pesankan, Babe,” balasnya.

Ratih menggedikkan bahu. “Jijik gue, biasa aja kali ah!”

“Mencoba lebih lembut padamu bukan sesuatu yang buruk, Tih.”

“Nggak! Tapi, buruk banget!”

Nurma tertawa. “Udah deh, Gat, tinggal nembak doang apa susahnya sih?”

“Iya, lo, Gat. Sikap aja manis, jadian mah kagak. Mau lo apa? Gimana kalau Ratih terpikat sama orang lain coba?”

Blush! Wajah Gatra seketika memerah. Bahkan, untuk menatap Ratih saja ia tidak mampu. Apalagi, menyatakan cinta. Sialnya, Nurma dan Egy justru menggoda, mereka tidak peduli akan rasa hati Gatra.

Pun pada Ratih yang kini mulai salah tingkah, bingung harus bagaimana. Menunggu pernyataan cinta dari Gatra seperti menunggu jatuhnya uang dua milyar rupiah. Sedangkan, menyatakan cinta terlebih dahulu tentu saja bukan keputusan yang bagus. Ratih malu dan tidak mau jika harga dirinya jatuh. Bagaimana pula jika Ratih ditolak, belum lagi ia harus memikirkan Hesvi—ibunda Gatra—yang sangat membencinya.

Suga menghela napas. Ia berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepala. Tatapan matanya mengarah pada Ratih yang masih salah tingkah. Sementara Ratih memberikan cibiran bibir pada dirinya. Toh bukan di kantor, begitu yang ia pikirkan sehingga berani melakukan sikap kurang sopan.

“Udahlah, ayo makan! Sebelum Gatra dan Ratih mati kutu karena semakin malu,” seru Nurma ketika sang pelayan datang membawa hidangan. Kemudian ia beralih pada Gatra. “Mari, Pak,” lanjutnya santun.

“Mm ....” Gatra menjawab singkat saja, terkesan mau tidak mau.

Melihat ketidakramahan Suga yang merupakan orang luar, Ratih dan Gatra lantas memberikan tatapan tajam. Tatapan tak kalah tajam diberikan oleh Suga sebagai balasan, tetapi hanya pada Ratih saja. Ia mengangkat satu alisnya dengan maksud mengancam; kamu masih berada dalam pengawasanku, Ratih!

Ratih berdecak, seiring munculnya bunyi napas yang ia embuskan secara kasar. “Panas banget!” serunya sembari mengipas-ngipaskan tangan.

“Apaan sih, Tih, AC juga nyala tuh,” sahut Egy.

“Ratih kepanasan gara-gara Gatra hihi.” Nurma turut menimpali. “Maaf ya, Pak, sekiranya kami memang bersikap kurang sopan,” tambahnya sembari menatap Suga.

“Tak masalah,” jawab Suga, tetapi matanya justru mengarah pada Ratih.

Nurma menyadari sikap Suga tersebut. Ia menghentikan cibiran. Mengapa Suga bersikap demikian perhatian pada Ratih meski hanya sekadar perhatian berupa sebuah tatapan? Pertanyaan itu terlintas di benak Nurma.

Apa karena Pak Suga menyukai Ratih sehingga merekrut Ratih sebagai sekretarisnya secara mendadak? Batin Nurma. Rasa penasarannya pun mulai mencuat. Matanya terus menatap Ratih dan Suga ketika mereka masih saling berpandangan.

Terus Gatra gimana, dong? Nurma bertanya-tanya lagi. Tatapan matanya beralih ke arah Gatra. Ia merasa tidak tega. Yang benar saja! Masa' Gatra harus kehilangan cinta?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status