Share

Episode 9-Hari Pertama

Ratih hanya bisa menghela napas. Bagaimana tidak, baru pukul enam pagi ia justru harus hadir di sebuah apartemen elit. Selain masih sangat enggan untuk bertemu Suga, ia paling malas untuk bangun lebih pagi. Rasanya sungguh memuakkan, tetapi Ratih tidak bisa berbuat apa-apa. Suga selalu mengancamnya dengan dua milyar sebagai ganti rugi jika Ratih menolak perintah dari pria itu.

Lalu-lalang beberapa orang yang tidak dikenal oleh Ratih menghiasi suasana pagi ini. Mereka merupakan pemilik sekaligus penghuni unit-unit dari gedung apartemen itu. Tentu saja, mereka orang-orang kaya yang memiliki banyak harta. Oleh sebab itu, Ratih menjadi ciut hati. Ia merasa seperti pasir di antara berlian yang bersinar.

Kebiasaannya yang sering mengumpat masih saja dilakukan, meski Ratih hanya sebatas menggumamkan. “Aku sangat membenci dirinya. Demi Tuhan! Oh, Si Culun Sugantara!” ucapnya.

“Hei!” Tiba-tiba suara berat dan dingin terdengar dari belakang posisi Ratih.

Seruan itu sukses membuat Ratih terkejut Sesaat setelah menyadari mengenai sosok pemilik suara itu, Ratih berangsur menelan saliva. Sudah pasti orang yang ia benci pelakunya. Gilanya, Suga datang ketika ia selesai mengatakan kalimat kebencian pada pria itu.

“Aku bahkan enggak peduli pada kebencianmu padaku, tapi seenggaknya hormati aku sedikit saja,” ucap Suga di samping Ratih.

Wanita itu melirik diam-diam tanpa memberikan jawaban. Dari ekor matanya, Ratih mendapati Suga tengah menatap lurus ke depan. Kedua tangan kekar milik pria itu dimasukkan ke dalam kantong celana.

“Aku tampan?”

Ratih reflek memberikan cibiran melalui bibir tipisnya. “Enggak! Selamanya enggak akan,” jawabnya ketus.

Suga tersenyum sinis. “Lihat saja nanti, kamu akan terpesona padaku.”

“Justru Anda yang akan terpesona pada saya, Pak Suga. Bukan sebaliknya.”

“Hmm ... sayangnya, aku bukan manusia yang diberi izin untuk bisa terpesona pada seseorang. Apalagi jika orang itu adalah dirimu.”

Jawaban Suga membuat Ratih reflek mengerutkan dahi. Ia merasa heran, tetapi tidak bisa bertanya lebih jauh. Sebab selain gengsi, Suga pasti akan menyangka jika dirinya hendak ikut campur urusan orang lain. Oleh karena itu, Ratih berusaha menyimpan rasa penasaran. Harga dirinya terlalu tinggi untuk kembali dijatuhkan oleh Suga.

Beberapa detik kemudian, Suga mulai mengambil langkah. Sikapnya lantas diikuti oleh sekretaris barunya tersebut. Mereka berjalan dengan jarak satu meter untuk menuju area dalam gedung apartemen itu.

Sekitar tiga menit setelah berjalan, Suga dan Ratih lantas memasuki elevator yang telah terbuka sekaligus kosong. Layaknya seorang CEO dan sekretaris pada umumnya, Ratih meminta Suga masuk terlebih dahulu. Kemudian, ia mengikuti dan berdiri di belakang dari atasannya itu.

“Hei,” ucap Suga yang dimaksudkan untuk memanggil Ratih.

Ratih menghela napas. “Saya punya nama, Pak!” tandasnya.

“Aku tahu, tapi aku enggak peduli.”

“Ya, ya, terserah Anda saja, Pak.”

“Memang seharusnya begitu. Kamu enggak perlu mengingatkanku," ucap Suga. Detik berikutnya, ia mulai bertanya, "Jadi, apa kamu memiliki keluarga, Ratih?”

“Tentu punya.”

“Benarkah? Di kartu keluargamu hanya tertulis namamu saja.”

“Apa Bapak hendak merendahkan saya hanya karena hal itu?”

“Enggak, aku hanya penasaran.”

Ratih terdiam, lebih tepatnya memilih diam. Sebab, membicarakan keluarga hanya akan membuat hatinya seakan dicabik belati tajam. Terlebih, ketika yang menanyakan hal itu adalah sosok Sugantara, Ratih khawatir jika harga dirinya kembali direndahkan.

Tak berselang lama, mereka sampai di lantai enam dari gedung apartemen itu. Ratih semakin terperangah atas indahnya ornamen yang ada di dalam sana. Bahkan pada atap lorong saja, terdapat lampu kristal yang indah. Benar-benar apartemen elit yang bahkan baru ia pijaki untuk pertama kali dan di saat ini.

Gila sih! Terlepas dari kebencianku padanya, tapi dia yang ngasih aku kesempatan untuk menyambangi apartemen bak istana dongeng ini, pikir Ratih.

Ya, kadang kala hidup memang seimbang. Ada nestapa yang memberikan keberuntungan, begitupun sebaliknya. Oleh sebab Suga merekrut Ratih menjadi sekretaris pribadi, kini Ratih mendapat pengalaman baru. Namun lagi-lagi, Ratih harus tetap menahan keterpanaan itu agar Suga tidak menghinanya dengan anggapan bahwa dirinya sangat kampungan.

“010110 itu pasword apartemen ini, Sekretaris Ratih,” ucap Suga memberitahukan akses masuk ke dalam kediaman keduanya tersebut.

Ratih mengernyitkan dahi. “Kenapa Bapak memberi tahu saya? Dan apa itu 010110? Norak sekali,” timpalnya.

“Jaga mulutmu, Nona Sekretaris. Bahkan, gayamu menatap lampu kristal jauh lebih kampungan.”

Sontak saja Ratih menelan saliva. Ia tidak menyangka bahwasanya Suga mengetahui rasa takjub yang ia rasakan beberapa detik yang lalu.

“Dan ingat kamu ini sekretaris pribadi, kamu harus datang pagi untuk mengurus keperluan atasan. Aku enggak setiap hari tidur di tempat ini. Jadi kamu perlu tahu sandi itu untuk menangani beberapa urusan yang tidak bisa aku lakukan sendiri ketika sedang tidak ada di tempat ini.”

Sembari memasuki unit apartemen itu, Suga kembali berkata, “Seperti katamu angka itu sangat norak. Dengan kata lain bagi sebagian besar orang angka itu dirasa enggak cukup aman. Sehingga mereka memutuskan untuk menggunakan password dengan susunan angka lebih rumit, siapa yang akan menyangka jika seorang CEO menggunakan dua jenis angka dan sesederhana itu.”

Luar biasa! Kayaknya aku enggak perlu tanya lagi kenapa dia mempercayakan sandi itu padaku. Yah, mungkin dia memang sudah menghapal sifat-sifatku, lagian aku nggak mungkin mencuri. Ratih pintar, tetapi Suga jauh lebih jenius. Kendati terkesan sederhana, nyatanya Ratih tidak memikirkan akan kemungkinan itu. Tampilan culun Suga ternyata tidak seburuk sifatnya. Rumor mengenai kecermelangan otak pria itu memang benar adanya.

Setelah memasuki ruang utama, Suga lantas menjatuhkan dirinya pada sofa besar di bagian ruang tamu. Ia menghirup udara dengan bebas. Kemudian, ia melepas kacamatanya sembari menyibak rambut poninya.

Melihat sikap atasannya itu, Ratih tertegun dalam sesaat. Beberapa detik kemudian, ia bertanya, “Kenapa Bapak selalu lepas kacamata di hadapan saya? Bapak mau menggoda saya?”

Kedua mata Suga sempat memicing, tetapi kini ia berangsur menegakkan badan.

“Aku ....” Suga tidak melanjutkan perkataannya. “Ah! Kamu terlanjur mengetahui wajahku, jadi buat apa lagi aku harus memakai kacamata sialan ini lagi ketika hanya sedang bersamamu?”

“Oh gitu? Iya sih, tapi saya bakal lebih hapal sama wajah Bapak, lho. Saya ini penghapal paling hebat.”

“Sekretaris Ratih, bisakah kamu memulai tugasmu saja? Menyiapkan keperluanku dan memeriksa jadwal hari ini dari Belinda? Daripada bertanya yang enggak perlu seperti itu.”

“O-oh ... ba-baik, Pak.”

Suga menunjuk sebuah ruang. “Ruang pakaian ada di sana. Di samping ruangan itu ada kantor pribadiku.”

“Mm... Bapak punya rumah lagi?”

Suga menatap Ratih dengan nanar. “Aku ini kaya, rumahku enggak hanya satu. Dan bisakah kamu segera bergerak, Nona Jelek?”

“Je-jelek? Aaah! sh ... sabar!” Wanita cantik itu lantas mengelus dadanya. “Camkan satu kalimat ini, Pak!Seorang Selena Gomez saja kalah cantik dari saya!”

Ratih menjulurkan lidah sebagai bentuk cibiran. Karena tidak ingin mendengar ucapan Suga yang kejam, ia pun memilih pergi untuk melaksanakan tugas yang perlu ia kerjakan. Sementara itu, Suga hanya bisa menghela napas. Namun sikap Ratih dalam menjaga harga diri itu mampu membuatnya tersenyum heran.

Dengan lirih Suga bergumam, “Kemarin, aku ingin menyiksanya. Kini, entah mengapa aku justru lega karena aku bisa bergerak leluasa ketika berada di hadapannya. Setidaknya, aku bisa menjadi diriku di depan satu orang. Kebebasan seperti ini tentu sangat jarang untuk aku miliki.”

“Ratih!” Sedetik kemudian, Suga menyerukan nama Ratih sembari berdiri. Diayunnya sepasang kakinya untuk menghampiri wanita itu.

Di dalam ruang kerja pribadi, Ratih tampak sibuk memili-milih blazer untuk Suga. Wanita itu begitu lihai kendati baru pertama kali menyandang status sebagai seorang sekretaris pribadi. Tak berselang lama, Ratih memindahkan fokus matanya ke arah layar tablet yang sudah ia genggam. Ia sedang memeriksa jadwal.

“Jangan sampai ada kesalahan. Kalau sampai itu terjadi akan kupotong jari-jarimu,” celetuk Suga mengancam.

Tentu saja, Ratih tersentak. “Kasih kesempatan saya beradaptasi dong, Pak!” jawabnya.

“Kamu bukan anak kecil yang perlu dipapah lagi, 'kan?”

“Hih?! Dasar, CEO gil—”

“Oh, ternyata kamu mau dipotong lidahnya bukan jari-jarimu ya?!” potong Suga.

Ratih mendengkus kesal. “Jahat banget sih ngomongnya? Seseorang yang culun biasanya gaptek dan baik hati. Enggak ketus kaya gitu lho!”

“Penampilan enggak selalu menggambarkan sifat seseorang, Nona Sekretaris. Bahkan, kamu perlu hati-hati terhadapku meski katamu aku ini culun dan terlihat bodoh. Nyatanya aku jauh lebih jenius dan ... bisa saja aku ini adalah seekor monster.”

Tepat ketika Suga menyelesaikan ucapannya, Ratih lantas menatap. Dan akhirnya tatapan mata mereka bertaut satu sama lain. .

Sebenarnya, dia ini apa? batin Ratih tidak mengerti. Untuk saat ini ia hanya bisa menahan dan bertahan sembari menunggu bulan depan. Waktu di mana ia bisa meminta libur selama lima hari meski hanya mendapat tiga hari untuk menghadiri pernikahan Robi. Yah, setidaknya Ratih memiliki jeda untuk menghindari tekanan dari Sugantara.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status