"Oh benarkah? Aku melupakan itu. Apa kau mau membantuku? Sekarang aku harus pergi," Kevin menatap penuh harap.
"Memangnya kakak mau kemana? Bukannya kerjaan kakak libur hari ini? Jika aku tahu kemana kakak pergi, mungkin aku akan pertimbangkan membantu kakak," balas bocah itu.
"Aku masih harus bekerja, karena sekarang aku menambah pekerjaan baru, yaitu menjadi pegawai swalayan. Jadi tolong bantu aku ya!" Kevin menyatukan telapak tangannya tanda permohonan.
"Maaf ya kak. Sayangnya aku juga piket hari ini."
Kevin lemas, " Kenapa tidak kau katakan-"
Belum selesai perkataan Kevin, bocah itu berkata, "Tapi aku bisa meminta bantuan pada yang lainnya. Kakak tenang saja, mereka pasti mau membantu karena mereka pasti mengerti."
Kevin tersenyum.
"Jika menyangkut pekerj
"Apa kalian memang dekat?" David bertanya dengan semangat. David jarang melihat Diana bersama temannya. Bahkan Diana tak pernah mengajak seorang pun ke rumahnya. "Kami sebenarnya jarang bertemu." "Oh begitu," balas David kehilangan semangatnya. David menyadari perkataan Revan sebelumnya. "Kalian teman satu sekolah, tapi kalian bukan teman sekelas?" tanya David karena jika mereka teman sekelas Revan akan mengatakannya. Revan mengangguk. "Jadi itu alasannya kalian jarang bertemu," kata David. Hening beberapa saat sampai David menyambung ucapannya, "Oh ya, apa kau pernah melihat dia bersama temannya? Apa kau tahu teman dekat Diana?" Revan menggeleng, "Aku jarang melihatnya bersama temannya. Jadi aku tidak tahu siapa teman dekatnya." Begitu juga denganku, batin David yg tak pernah melihat Diana dekat dengan temannya. Revan tiba-tiba teringat seseorang yang kadang berada didekat Diana. Tapi ia tidak
"Aku bisa mengambilkan tasmu dikelas. Kau sekelas dengan Kevin, kan?" Diana berkata sembari berdiri dari kursinya yang ada di sebelah Revan. Revan mengangguk. "Tunggu dulu, jadi aku tertidur disini dan kau juga membolos?" "Iya, kau sudah diberi izin. Jika kau khawatir ketinggalan materi aku bisa membantumu." Revan menggeleng menolak bantuan Diana. Sebenarnya bukan itu maksud Revan. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pelajaran, tapi ia heran dengan Diana yang menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya? Dia bisa meninggalkannya. Semuanya dilakukan Diana karena rasa bersalah. Oh iya, Revan belum sempat menjawab permintaan maaf dari Diana tadi. Diana sekarang sudah pergi keluar ruangan. Revan baru sadar. Setelah Diana membawakan tas Revan. Ia menunggu kelas Revan kosong dan mencari tas yang tersisa dan tertinggal. Ia juga mengambil ta
"Aku pernah bertemu dengannya sekali. Saat itu aku menabraknya setelah mengantarmu di hari pertama kau sekolah." "Menabrak?" Revan menajamkan pandangannya. Itu terdengar seperti kecelakaan. Memang kecelakaan tapi kecelakaan kecil. "Maksudku menabraknya saat berjalan kaki pergi dari sekolahmu. Dia tidak memperhatikan jalannya karena terlalu fokus membaca." Valen menjelaskan tergesa karena sedikit panik. Revan mengiranya menabrak dengan mobil. "Kau tidak bisa menghindar?" Valen tersenyum, "Aku? Tentu saja bisa." Revan sudah menghilangkan tatapan tajamnya tapi sekarang menyipitkan matanya lagi. Ia mengerutkan kening. "Aku sengaja membiarkan dia menabrakku. Dia kelihatan terlalu fokus membaca. Saat itu tak ada orang atau siswa lain. Mungkin karena itu dia tidak memperhatika
Diana memasukkan kunci di daun pintu lalu membuka pintu rumahnya. Setelah masuk Diana melepas sepatunya dan menaruhnya di rak khusus sandal dan sepatu. Ia menatap sosok yang tiba-tiba berada di hadapannya beberapa meter. Pandangannya yang awalnya kosong seperti tak bernyawa, berubah berkaca-kaca. "Kakak.." Diana memanggil sosok di depannya itu. Ia melihat sosok itu tersenyum membuatnya mendekat perlahan sambil berucap lirih, "Kakak, berjanjilah... Berjanji bahwa kau tidak akan pergi. Berjanjilah kau akan selalu bersamaku. Berjanjilah.." suara Diana bergetar. "...Kau tidak akan meninggalkanku. Kau akan selalu menemaniku, apapun yang terjadi, jangan biarkan aku sendirian.." Diana sudah berada dihadapan sosok itu. Diana bersusah payah menelan ludahnya yang terasa menyakitkan di tenggorokannya. Ia berusaha tidak menangis. Diana menatap sosok itu yang tidak menjawabnya. Sosok itu hanya terus tersenyum lembut padanya.
"Kevin," panggilan kepada Kevin itu membuat Kevin membuka matanya. Kevin melihat seorang perempuan memandang kearahnya. Kevin tak tahu kenapa ia dibangunkan dari tidur siangnya. Hari ini hari Minggu, jadi sekolah libur dan Kevin tak punya kegiatan di siang hari memilih untuk mencoba mengerjakan tugas sekolah. Tugas menjawab soal-soal latihan. Tak disangka, ia tertidur di atas meja belajarnya. Ini peristiwa yang membuat orang yang mengenalnya berpikir takjub. Apa yang terjadi hingga Kevin mau membuka buku dan belajar? Mau belajar bahkan hingga tertidur di atas meja? Ayolah Kevin memang anak yang rajin. Rajin bekerja contohnya. Kelakuannya ini patut dihargai, walaupun sebenarnya dia bukan tipe anak yang rajin belajar. Sebab kenyataannya Kevin tidak berhasil menyelesaikan satupun soal dari tugas itu. Yah tidak apa-apa, setidaknya Kevin sudah mencoba.
"Selain cita-citamu itu, apa kau menginginkan sesuatu yang lain?" tanya David lagi pada Diana. "Seperti?" "Hm, seperti hidup bersama lelaki yang kau cintai?" kata David membuat Diana mengerutkan keningnya. "Keinginan seperti itu?" "Eh, bisa juga seperti kau ingin melakukan sesuatu untuk jangka panjang." David sadar telah menanyakan hal aneh. Diana menatap David lama dan menjawab, "Aku ingin selalu bersama kakak." David tertegun. "Begitu, kah?" "Kenapa?" Diana tak mengerti, mengapa ia merasa David ragu dengan ucapannya. Mungkin ini jawaban yang tidak tepat tapi Diana jujur. Saat ini Diana tak ingin ditinggalkan. David mengangguk, "Baiklah. Kau cepat tidurlah setelah aku keluar dari kamarmu."
"Orang baik? Apa maksudmu? Apa yang kau katakan? Aku tak mengerti." Diana mau mengatakan sesuatu namun dia melihat seseorang muncul di belakang Revan. Seseorang itu memakai seragam yang sama dengannya menandakan dia seorang murid. Ternyata ada murid lain yang sudah tiba di sekolah. Murid itu masih terlalu jauh dari mereka tapi Diana sudah melihatnya akhirnya Diana memutuskan segera pergi menjauh dan tidak menjawab Revan karena melihat murid itu adalah seorang perempuan. Diana takut perempuan itu adalah penggemar Revan. Kejadian selanjutnya tidak diduga Diana bahwa Revan tiba-tiba mengejarnya dan menarik tangannya. "Kau belum menjawab pertanyaan ku, apa kau tidak mendengar pertanyaanku?" tanya Revan menuntut jawaban. Diana yang kaget menjawab dengan gagap, "Eh.. itu.. kalau kau memang benar-benar tak tahu maksudku
"Sebagai pelajaran untuk mu, Diana Claire." Diana terdiam saat Michael menyebut namanya. Diana melihat Michael menyentuh papan pengumuman. Dia menyentuh salah satu pengumuman yang ditempel. Lalu menarik hingga kertasnya sobek dan terlepas semuanya. "Kau ingin melihat ini kan? Pengumuman olimpiade." Michael meremas kertas itu dihadapan Diana. "Kau harus pergi ke papan pengumuman yang lain untuk melihatnya." Diana hanya bisa melihat Michael melangkah pergi setelah mengatakan itu. Semuanya tahu papan pengumuman lain yang dimaksud Michael, dan itu jaraknya jauh karena berada di bangunan sekolah yang berbeda. Diana menghela napas, ia ingin mengusulkan adanya papan pengumuman utama di setiap kelas karena kejadian ini. Jadi semuanya hanya perlu melihat di kelas masing-masing.