Share

3. Wanita Pengganti

Sementara itu, Adriel langsung menuju ke rumahnya selepas mengantarkan Sandra. Wajahnya tampak lesu, jauh berbeda saat pertama dia keluar dari rumahnya. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi agar dapat segera sampai dan beristirahat. Entah mengapa, malam itu dia merasa lelah sekali.

Baru saja sampai di depan rumahnya, Adriel melihat sebuah sedan merah parkir di depan pagar. Tatapannya tajam ke arah mobil itu. Dia melepas napas dengan keras.

Seorang asisten rumah tangganya membuka pagar, Adriel langsung masuk ke dalam rumah. Pemilik mobil merah itu segera keluar dari mobil dan menyusulnua ke dalam.

"Sayang, aku minta maaf atas kejadian tadi." ujar wanita yang keluar dari mobil itu.  

Dia berlari mendapati Adriel yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Wanita itu masih mengenakan gaun merahnya, yang sengaja dibelikan Adriel untuk acara malam ini. Dengan riang, Adriel datang menjemput dan hendak membawanya ke hadapan kekuarga besarnya.

"Aku capek!" jawab Adriel tanpa menoleh pada wanita itu. Dia terus melangkah masuk.

"Aku tahu, kamu pasti kecewa banget. Tapi, aku bisa menjelaskannya. Aku harap kamu bisa mengerti untuk kali ini." Wanita itu memelas, berusaha meraih tangan Adriel, namun dia menepisnya.

"Bagiku semua sudah jelas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi." Adriel berbalik sebentar untuk menegaskan kalimatnya pada wanita itu.

"Semua ini gak seperti yang kamu pikirkan. Aku sangat mencintaimu, Sayang. Percayalah. Aku sangat ingin menjadi istrimu." Dia mengejar Adriel sampai ke pintu kamarnya.

"Cukup, Alena! Hubungan kita sudah berakhir. Aku sudah mendapatkan wanita penggantimu dan kami akan segera menikah." Adriel menekankan setiap kalimatnya.

"Mana mungkin kamu bisa mengubah keputusan besar dalam hitungan jam." Alena tertawa kecil, namun di dalamnya ada isak tangis.

"Bisa saja. Sama sepertimu yang bisa menolakku tiba-tiba." Adriel mengangkat kedua alisnya. "Sekarang, lebih baik kamu pulang. Aku mau beristirahat. Dan aku harap, jangan lagi menghubungiku atau menemuiku." Setelah mengucapkannya, Adriel langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu, meninggalkan Alena yang masih terpaku seorang diri.

Adriel langsung membersihkan dirinya, mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Kepala dan hatinya terasa sangat panas. Kekecewaannya pada Alena, wanita yang telah satu tahun menjadi kekasihnya itu, masih memuncak. Betapa tidak, rencana yang telah disusunnya, berantakan hanya karena alasan Alena yang tidak jelas.

Adriel merasa waktunya sudah tepat untuk memperkenalkan Alena pada kakek dan neneknya. Apalagi keduanya sudah sangat menginginkannya untuk menikah. Mendengar kabar kesiapan Adriel, Dewanda langsung menggelar pertemuan keluarga. Selain memperkenalkan calon istri, Adriel juga akan mengumumkan rencana pernikahannya. Namun, tidak disangka, Alena merusak semuanya.

***

"Kamu mau membawaku ke mana, Sayang?" Adriel sengaja tidak memberitahu Alena terlebih dulu soal rencananya itu. Dia bermaksud hendak membuat kejutan untuk wanitanya itu. Alena akan tersanjung ketika dia melamar di hadapan semua anggota keluarganya, begitu pikir Adriel.

"Kamu akan tahu nanti," jawab Adriel sambil senyum-senyum.

"Ke mana, sih?" desak Alena penasaran.

Tiba-tiba ponsel Adriel berdering. Dia langsung menerima panggilan masuk yang ternyata dari kakeknya.

"Iya, Kek," sahut Adriel lewat jaringan telepon.

"Iya, dia sudah bersamaku saat ini. Kami akan sampai." Setelah menyelesaikan percakapannya, Adriel memutus sambungan telepon.

"Kita akan menemui kakekmu, Sayang?" tanya Alena lembut.

"Bukan hanya kakek, tapi semua keluarga besarku. Aku akan mengumumkan rencana pernikahan kita," jawab Adriel puas.

"Apa?" Alena tidak dapat mengontrol suaranya karena terkejut.

"Kenapa, Sayang? Kamu senang, kan? Harusnya ini akan jadi kejutan, tapi kamu sudah terlanjur mengetahuinya." Adriel masih saja tampak bahagia.

"Aku gak bisa sekarang, Sayang," cegah Alena tak diduga.

"Kenapa?" Raut wajah Adriel langsung berubah.

"A-aku hanya belum siap." Alena takut melihat perubahan pada wajah Adriel.

"Kamu belum siap bertemu dengan keluargaku atau belum siap menikah denganku?" Pertanyaan Adriel berubah tegas.

"Dua-duanya, Sayang. Katamu, kakekmu ingin sekali kamu cepat menikah. Aku gak enak jika bertemu dia sekarang, di saat aku belum siap menikah denganmu. Aku masih ingin mengejar karir." Alena membelai lengan Adriel untuk meyakinkannya.

"Karir apa?" Adriel tahu, Alena bekerja sebagai seorang sekretaris di salah satu perusahaan kakeknya.

"Ya, memang karirku tidak tinggi. Tapi, setidaknya aku bisa puas dengan kerjaku sebelum mengabdi sebagai istrimu." Alena memegang dagu Adriel, mendekatkannya pada wajahnya.

"Sekarang kamu pilih, karir atau aku?" tegas Adriel.

"Tentunya kamu, Sayang. Tapi, saat ini aku pilih karir dulu." Alena mendekatkan wajahnya pada Adriel.

Mendengar jawaban Alena, Adriel menarik tubuhnya ke belakang, menjauhi wanita yang sedang duduk di sampingnya itu. "Aku sudah tahu pilihanmu. Tapi, aku tidak mungkin menarik ucapanku pada kakek." Adriel tampak kecewa sekali.

"Sayang, maafkan aku. Tidak lama lagi, kita akan menikah, OK. Beri aku waktu sedikit lagi." Alena masih keras dengan pendiriannya.

Adriel merasa ada yang aneh dengan keputusan kekasihnya itu, tapi dia tidak tahu apa. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Alena darinya. Di sisi lain, dia tidak bisa menarik ucapannya. Dia tahu bagaimana efek kepercayaan Dewanda nanti jika dia tidak menepati janjinya. Apalagi, banyak sepupunya yang berusaha mencari celah antara dia dan Dewanda.

"Sekarang, untuk yang terakhir kalinya. Kamu pilih, ikut bersamaku atau keluar dari mobil ini." Adriel menatap tajam pada Alena.

"Adriel, kamu kok tega banget?" Baisanya jika Alena ikut marah dan merajuk, Adriel akan luluh dan mengalah. Namun, tidak untuk kali ini. Dia hanya diam.

"Baik, aku akan keluar." Alena membuka pintu mobil dan dengan perlahan keluar.

Tidak seperti yang diharapkannya, Adriel akan menahan. Sampai dia menutup pintu kembali, tidak ada usaha Adriel untuk menahannya. Tanpa permisi, Adriel langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan meninggalkan Alena di pinggir jalan seorang diri. Siapa sangka, kekecewaannya pada Alena, justru mempertemukannya pada Sandra, gadis lugu dan sederhana, namun keras kepala.

Adriel langsung menghempas tubuhnyanke ranjang, melepas kelelahan raga sekaligus hati. Tak habis pikir pada apa yang baru saja dialaminya. Dia akan menikah dengan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.

Tiba-tiba, bibirnya melengkung ke atas. Dia teringat pada gadis pemilik bibir yang telah dirasanya tadi. "Awas saja dia memperalatku, dia akan menerima balasan dariku," gumamnya dengan senyuman dingin.

Tiba-tiba dia teringat pada ponsel gadis itu yang telah disitanya. Adriel memandang pose mereka di mobil tadi. Adriel kembali tertawa, entah apa artinya tawa itu. Dan entah apa yang mendorongnya untuk membuka ponsel gadis itu dan mencari tahu tentang kehidupannya.

Mungkin aku bisa mengetahui sebagian kepribadiannya lewat ponsel ini. Ini perlu, dia akan menjadi istriku untuk beberapa waktu. Batin Adriel.

Tidak dikunci. Dengan mudah, Adriel bisa melihat isi ponsel pintar itu. Tampilan pertama yang dilihatnya adalah foto gadis itu tengah tersenyum, manis sekali. Adriel mengangkat alis, menatapnya beberapa detik. Entah yang ke berapa kali, senyum kembali muncul di wajahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status