“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.
“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.
“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.
Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.
Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging asap.
Gwen menguap berulang kali. Dia sudah sangat mengantuk, mengingat untuk tidur siang sejenak pun ia tak punya waktu. Zeev Curtis tidak pernah membiarkan satu menit pun terlewati oleh Gwen untuk bersantai. Beruntung, Gwen tidak lupa cara untuk bernapas.
“Tidurlah ... biar aku yang kerjakan semuanya,” perintah Jupiter, menyikut lengan Gwen.
“Tidak bisa. Ini kan tugasku. Kau juga segera selesaikan dan ...” Gwen kembali menguap, menutup mulutnya, “pulanglah.”
Suara lemah Gwen membuat Jupiter menghentikan jari-jarinya bekerja, ia menatap Gwen dari sisi samping. “Hei kau, tidurlah di sini.” Jupiter menepuk pangkuannya.
Gwen menatap pangkuan Jupiter, kemudian menggeleng pelan, ia ingat, meski Alexi mungkin sekarang sedang tidur bersama Zanna, tetap saja ia ingin menjaga hatinya untuk pria itu.
“Apa kau yakin?” Ada nada mengejek dari pertanyaan itu.
Gwen memilih hanya kembali fokus pada pekerjaannya. “Aku yakin. Aku juga tahu tawaranmu itu bisa menjebakku.”
“Menjebakmu? Hei ... apa-apaan kau ini,” gerutu Jupiter. Ia kesal sendiri karena tuduhan itu. “jika saja bisa, sudah dari dulu aku menjebakmu untuk tidur denganku,” gumam Jupiter, ia menoleh sekilas untuk memastikan bahwa Gwen tidak mendengarnya.
Gwen terus sibuk melanjutkan pekerjaan, sekaligus sibuk menahan kantuknya. Ia berulang kali harus menggeleng-gelengkan kepala juga mengerjap-ngerjapkan kedua matanya agar tak jatuh tertidur.
Sementara Jupiter, hanya bisa menahan tawa melihat tingkah sang sahabat. Ia merasa yakin bahwa sebentar lagi, pertahanan si seksi ini akan ambruk.
Jupiter menunggu diam-diam. Benar saja, beberapa menit kemudian, kepala Gwen terkulai dengan perlahan di atas meja.
Jupiter membiarkan Gwen tetap seperti itu. Ia melanjutkan pekerjaannya dan berniat menyelesaikan juga bagian Gwen.
Saat sudah mendekat ke meja untuk mengambil alih pekerjaan Gwen, mata Jupiter melihat bibir Gwen yang terbuka saat tidur, lengkap dengan dengkuran halusnya.
“Wah, hebat! Dia bisa langsung mendengkur dalam menit pertama,” batin Jupiter.
Ada perasaan menggelitik di perutnya, seolah menginginkan hal lebih dari sekedar hanya melihat.
Jupiter mengusap wajahnya, ia ragu, tapi akhirnya maju. Dengan lembut, mengecup bibir Gwen yang kecil dan tebal. Tak puas, Jupiter mengulanginya sekali lagi.
Beruntung, Gwen tak juga terbangun akibat kelelahan. Dalam mimpinya, ia justru melihat Alexi memeluk dan menciumnya dengan lembut.
*****
Zanna melirik jam weker jingga berbentuk hati di atas meja samping tempat tidur, untuk ke sekian kalinya. Lalu beralih menatap lembut dengan senyum tipis pada bayi merahnya yang cantik jelita, dalam dekapan kehati-hatian.
Namun ketika akhirnya yang ditunggu tiba, Zanna memudarkan senyum itu, menatap lekat pada pria yang baru saja menutup pintu kamar mereka.
“Kau baru tiba?” Zanna bertanya, meski ia sadar suaminya tidak akan menjawab.
Alexi menoleh sekilas, bukan pada Zanna, tapi pada bayi yang masih bersemu merah jambu itu.
“Benar-benar mirip Ibunya,” gerutu Alexi dalam hati.
Meski masih beberapa hari, tapi bayi cantik yang diberi nama Fabricia Rosalie Van Dick ini, sudah memperlihatkan kemiripannya dengan Zanna, sang Ibu.
Alexi segera mengambil tempat di sofa panjang berwarna abu tua. Sejak awal menikah, memang ini lah tempat kesukaan Alexi.
Tapi entah kenapa, malam itu, dia justru tersesat di bawah pengaruh alkohol, hingga lupa batas dan diri, menerjang sang istri yang dia pikir wanita idaman hati. Siapa lagi? Tentu saja, Gwen yang menguasai pikirannya.
Jika mengingat itu lagi, Alexi mendadak mual. Meski menikmati, tapi tetap terasa hambar. Ia ingat perasaan aneh yang menjalari hatinya.
Sejak kejadian malam itu, rasa tak suka Alexi pada Zanna semakin menjadi.
Setiap melihat wajahnya di rumah ini, dia akan menjauh sebisa mungkin. Atau bila perlu, ia akan keluar rumah berhari-hari dengan alasan pekerjaan.
Sikap Alexi berubah lembut dengan tutur kata yang baik saat kedua orang tua Zanna, terutama Ibunya—Dorita—berada di dekat sang Anak.
Selebihnya, Alexi tidak peduli jika wanita itu mengalami kesulitan di hadapannya sekalipun.
Tak ada keadaan yang bisa membuat hatinya lebih membaik setiap kali berada di rumah ini, kecuali, satu hal di mana ia tidak perlu terlihat berpura-pura saat Dorita masuk ke kamar mereka dan melihat Alexi tidur di sofa.
Alasan Alexi jelas, bahwa tidak mungkin berbagi tempat tidur dengan bayi yang masih bersemu merah jambu bersama satu pria dewasa.
Apa lagi, Alexi tidak sungkan menambahkan, bahwa ia selalu tidur dengan kebiasaan senang berguling-guling di ranjang.
Suami penuh sandiwara. Alexi ingat, Zanna pernah mengatakan hal itu padanya. Ia malah tertawa saat menuturkan tentang itu, yang justru membuat Alexi meradang. Pria ini benar-benar membenci istrinya.
Alexi tidak peduli dengan suara-suara percakapan angin yang dilakukan oleh istrinya bersama bayi Rosalie. Yang ada di pikirannya hanyalah Gwen.
Betapa wanita itu selalu mengusik Alexi hingga masuk ke dalam mimpinya, hampir tiap malam selama sebulan ini.
Setelah lebih dari tiga puluh menit, Zanna meletakkan bayi Rosalie yang sudah lelap sejak tadi ke ranjangnya. Membenarkan letak bantal dan guling-guling mungil di sekitar Putri kecilnya itu.
Kemudian setelah selesai, ia melihat Alexi yang melupakan selimut dan memilih meringkuk di sofa menahan dinginnya malam.
Setelah mengambil selimut paling tebal di dalam lemari, Zanna mendekati sofa dan mulai menyelimuti Alexi.
Zanna memperhatikan dan merasa yakin bahwa Alexi sudah nyenyak dalam tidurnya. Banyak yang Zanna ketahui tentang sang suami.
Ia juga tahu bahwa dalam tidurnya, Alexi kerap bermimpi. Memimpikan seseorang yang istimewa. Zanna menyadari hal itu.
Tanpa ragu, Zanna langsung mencium bibir Alexi. Ia berani, bahkan lebih pantas disebut nekat karena yakin bahwa suaminya ini mudah tertidur nyenyak dengan cepat. Cukup lima belas menit, maka ia akan langsung terbuai mimpi.
“Aku mencintaimu, tidak peduli siapa yang berada di dalam hatimu. Dan aku berani bersumpah, bahwa bayi ini adalah Anak kita berdua.
Darah dagingmu. Apa kau tak melihat? Bayi kita bahkan mewarisi lesung pipimu, Lexi,” gumam Zanna, begitu lirih, hanya untuk dirinya sendiri.
*****
Bukan sekali dua kali Alexi terbangun dengan tubuhnya yang berselimut. Ini perbuatan Zanna, pria ini mengetahuinya, tapi sama sekali tidak peduli.
Ia melihat Zanna masih tertidur dalam posisi melindungi bayi Rosalie. Tanpa memandang lebih lama, Alexi segera menuju kamar mandi, juga mengambil pakaian kerjanya di lemari, karena ia tidak senang mengenakan pakaian di hadapan Zanna, meski wanita itu sedang tertidur.
Bersambung.
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Eric mengusap-usap punggung Gwen yang tadi menangis keras di pelukannya.Eric tidak bertanya alasan di balik tangisan Gwen. Jelas dia mengenal Gwen lebih baik dari sahabatnya yang lain. Dia dan Gwen tidak hanya satu jurusan, tapi juga satu ruangan saat di Universitas.Mereka akrab. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sekilas terlihat, mereka serasi.“Maaf, membuatmu bingung.” Gwen menunduk. Kacau, kalut dan berantakan.Dia ingat bagaimana sejak pagi terkurung di ruangan Zeev hingga sore hari. Meski tak ada sesuatu yang salah, tapi Gwen merasa tertekan berada satu ruang bersama pria itu.Ketika semua penghuni kantor benar-benar bubar di sore hari, baru lah Zeev bersedia membiarkannya meninggalkan ruangan itu.Sepanjang perjalanan menuju halte, mendadak Gwen merindukan sosok Alexi yang
Eric dan Gwen saling melepas diri. Tapi Eric tidak membiarkan Gwen merasa malu karena perbuatan mereka. Dia kembali mendekap Gwen dengan lembut.“Eric ... a-aku ....” Gwen terdiam. Tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia hanya memegang erat lengan Eric yang memeluknya.“Tak apa, Gwen. Anggap ini sebuah kehangatan yang kuberikan dari rasa nyaman selama lima belas tahun bersama.” Eric mencium dengan pelan dan hati-hati di puncak kepala Gwen.“Jangan tinggalkan aku karena hal ini, hanya kau sahabat pria pertama yang paling kusayangi,” gumam Gwen. Perlahan air matanya menetes.“Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Lagi-lagi Eric memberi kehangatan di hati Gwen dengan mencium keningnya. “Ayo, kita ke kamarku. Kuberi kau pakaian ganti,” ajak Eric.Kedua mata Gwen membulat, dengan menggigil dia menatap Eric penuh curiga. Eric yang juga menggigil, langsung merangkul Gwen dengan tawa, menyer
Eric menggeleng. Meski sempat keheranan dengan pertanyaan balik dari Gwen, dia tetap bersedia menjawab dengan jujur. “Aku tidak menyesali semua yang telah terjadi semalam. Malah aku bersedia mengulanginya lagi sekarang.”Wajah Gwen bersemu merah di pagi hari yang cukup dingin ini. Dia bersembunyi di dada Eric yang putih dan kurus. Membenamkannya di sana. Ada sisa wangi parfum maskulin yang melekat di kulit Eric, membuat Gwen betah mengendusnya.“Lalu kau? Apa kau menyesalinya?” tanya Eric lagi, dia penasaran, bahkan rasanya berdebar menunggu jawaban dari wanita dalam dekapannya ini. Juga berharap, agar Gwen tidak mendengar degup jantungnya saat ini.“Tidak. Jujur, kukira aku akan menyesal. Ternyata tidak, karena aku menyukai perasaan ini.” Gwen berkata dengan jujur dan polosnya.Wajah Eric bersemu. Tentu saja Gwen tidak menyadari apa lagi melihatnya. Cepat-cepat Eric mendekap tubuh Gwen dengan lebih erat lagi.
Mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Jupiter dan Inez, tidak lah terlalu sulit. Karena Misca ikut ambil bagian dalam hal ini. Ibu setengah abad lebih itu, mempersiapkan dengan teliti dan sebaik mungkin pesta pernikahan Putra sulungnya.Meski banyak kalangan yang terkejut akan pernikahan mendadak ini, pesta mereka berakhir dengan meriah. Penuh kegembiraan palsu dari Jupiter maupun Inez.Bahkan ketiga sahabat pengantin—Alexi, Eric, dan Gwen—ikut hadir meramaikan pesta, meski mereka tak pernah tahu rencana rapi di balik pernikahan dua sejoli yang kerap terlihat seperti kucing dan tikus itu.Di benak masing-masing sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung. Tapi mereka memilih bungkam dan tak ingin ambil pusing mengenai hal itu.Terutama Gwen yang mengetahui segalanya. Dia justru merasa mungkin ini pilihan yang tepat. Jadi Gwen hanya perlu berlega hati akan keputusan yang telah diambil ol